0.0✅

201 48 20
                                    

PROLOG

TITIK ke empat ini memperlihatkan sebuah pendopo yang lebih kecil dari pendopo yang ada di depan sana, lalu di tengah-tengah ada sebuah umpak yang konon katanya umpak atau cagak bumi itu sebagai tempat mengikat gajah milik Mahapatih Gajah Mada

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TITIK ke empat ini memperlihatkan sebuah pendopo yang lebih kecil dari pendopo yang ada di depan sana, lalu di tengah-tengah ada sebuah umpak yang konon katanya umpak atau cagak bumi itu sebagai tempat mengikat gajah milik Mahapatih Gajah Mada. Aryo mengamati umpak tersebut bersamaan ketika Pak Sosro kembali menjelaskan.

"Pada masa itu umpak ini tidak boleh sampai terlepas atau tercabut, karena kalau sampai hal tersebut terjadi bisa menyebabkan runtuhnya kerajaan saat itu kerajaan adalah negara, ya. Jadi, kalau sampai cagak buminya ini tercabut negara bisa hancur mengingat kekuasaan Majapahit sampai ke Burma dan pusatnya ada di Wilwatikta ini."

Setelahnya Pak Sosro menunjuk pada lambang surya Majapahit tentu Aryo tidak asing dengan corak dari lambang tersebut.

"Nah, ini Mas Aryo yang sangat melegenda. Surya Majapahit yang bisa disebut sebagai lambang negara, ini surya Majapahit pada era Prabu Hayam Wuruk karena setiap era memiliki corak yang berbeda. Yang paling dikenal dan menjadi ikon Majapahit adalah surya pada era Prabu Hayam Wuruk karena surya ini menggambarkan alam semesta—"

Suara Pak Sosro terjeda ketika Aryo tiba-tiba memegangi kepalanya sembari merintih seperti kesakitan. "Lho, Mas Aryo kenapa?" katanya sedikit panik, lalu berjalan memutar menghampiri posisinya. Aryo menggeleng sembari mengibaskan tangan. Tenggorokannya sakit sekali sampai sulit untuk membuka mulut, kepalanya berdenyut-denyut macam orang yang memiliki riwayat vertigo tengah kumat, kakinya kram di tempat seperti lumpuh tidak bisa bergerak sama sekali.

Kendati demikian, Aryo masih melihat dengan jelas saat ini Pak Sosro sedang memegangi kedua bahunya, samar-samar dia masih bisa mendengar embusan angin yang begitu berisik dan lalu lalang langkah orang-orang di sekitarnya.

"Mas Aryo."

"Mas?"

"Mas Aryo."

Pak Sosro terus mengguncang bahu Aryo karena pemuda itu tak kunjung memberi respons. Sampai pada akhirnya, Pak Sosro membiarkan Aryo tergeletak begitu saja di dekat umpak guna mencari pertolongan. Sampai pada akhirnya, dada Aryo terasa sangat sesak hingga seperti ada yang berusaha menarik tangannya, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali.

Seharusnya sejak awal Aryo menolak ajakan Profesor Abdul yang telah membohonginya lalu menerima tawaran Surya dan Lintang untuk berlibur ke Pulau Dewata. Seharusnya dia tidak pergi ke Malang dan mengikuti rencana mendadak Profesor Abdul yang mengharuskannya mengunjungi situs kuno ini bersama Pak Sosro. Seharusnya dia tetap berdiam diri di Jakarta atau langsung pulang ke Jogja menemui Bapak.

Dunianya menjadi sangat gelap saat sepasang mata elangnya mulai memejam. Sungguh, Aryo menyesal.

*

Note; Karya ini merupakan karya fiksi berlatar belakang sejarah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Note; Karya ini merupakan karya fiksi berlatar belakang sejarah. Sejumlah tempat di dalam cerita ini menyesuaikan dengan data yang diperoleh. Adegan-adegannya pun merupakan buah imajinasi author, sehingga hargai :)

The Last SecondWhere stories live. Discover now