[[ ꧓꧓ : H+4 ]] ✅

20 5 0
                                    

33. HARI KE EMPAT

           HASIL autopsi jenazah Bapak sudah keluar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


 
          HASIL autopsi jenazah Bapak sudah keluar. Pagi tadi John selaku ketua tim penyelidik yang menangani kasus Bapak menyambangi rumah, membagikan informasi mengenai kabar tersebut. Sekaligus juga menjelaskan kalau tadi malam salah satu pelaku perampokan malam itu sudah menyerahkan diri ke kantor dan mengakui semua perbuatannya. Pelaku tersebut mengaku dengan lantang dan penuh percaya diri, jika dia yang menghabisi nyawa Bapak.
 
John juga menerangkan, bahwa pelaku sengaja menganiaya secara membabi buta, lalu menusuk dan menggorok leher Bapak dengan tangannya sendiri menggunakan senjata tajam berupa celurit. Pelaku juga menyerahkan barang bukti berupa senjata yang digunakan untuk melancarkan aksi kejinya malam itu, setelah diperiksa hasilnya bukan main. Darah pada senjata tajam tersebut memang milik Bapak, terdapat sidik jari dari pelaku juga.
 
Ibu kembali histeris dalam pelukan Mas Yudis, Bulik Hanna dan Nada berpegangan tangan saling menguatkan, Mbah Gimbal dan Profesor Abdul menyeka wajah berulang kali tampak jelas menahan rasa sesak yang mengendap di dalam dada, sementara Pakde Satya sudah kembali ke Jakarta kemarin sore. Hanya Aryo yang tidak fokus dan atensinya teralihkan akan kehadiran John, lelaki itu belum bisa percaya apakah benar pelaku yang menyerahkan diri memang benar perampok jahanam itu atau hanya seseorang yang dipaksa mengakui perbuatan tersebut guna menyembunyikan pelaku sebenarnya. Percakapan Profesor Abdul dan Mas Yudis malam itu masih saja terngiang, ditatapnya wajah Kang Mas tirinya  dan Profesor Abdul secara bergantian dengan pandangan interogatif, pergerakan Aryo tertangkap oleh mata Nada.
 
“Dari hasil autopsi dan pengakuan tersangka sama,” ungkap John sembari meletakkan beberapa lembar dokumen hasil autopsi Bapak di meja. Bulik Hanna langsung meraih dokumen tersebut, Nada sampai membantu langkah sang ibu lantaran keseimbangan tubuhnya agak gontai. “Pak Gunandi meninggal akibat luka tusukan benda tajam di bagian dada, punggung, dan perut. Leher yang tergorok dilakukan tersangka setelah beliau sudah meregang nyawa. Terdapat lebam di bagian dada dan wajah karena sebelumnya pelaku menghajar korban secara brutal. Alat bukti yang kami terima sesuai dengan hasil dari tim forensik. Sebilah pisau berburu dan celurit. Motif pembunuhan masih dalam proses penyelidikan, pelaku belum bisa diajak berkomunikasi lagi. Akan saya infokan kalau sudah mendapat keterangan pasti.”
 
Tangis Ibu semakin pecah. Tidak mau membayangkan bagaimana tersiksanya Bapak waktu itu. Semua orang tidak menyangka pelaku tega berbuat bengis dan kejam, bahkan induk harimau saja tidak mau memakan anaknya sendiri, bahkan semut pun mau berbagi makanan kepada sesama dan saling bergotong royong. Namun, mengapa pelaku yang memiliki akal yang sehat justru tega berbuat jahat macam bagian tubuh bernama otak dan hati sudah tidak dimiliki.
 
“Kami akan melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap pelaku. Kami menduga masih ada pelaku lain, meski dia bersikukuh mengaku melakukan kejahatannya seorang diri.”
 
Kalimat yang disampaikan oleh John masih saja menggerayangi pikiran Aryo, walaupun hari sudah beranjak sore. Dia tidak sanggup menemui pelaku, sehingga Mas Yudis, Bulik Hanna, dan Profesor Abdul yang ikut bersama John ke kantor polisi tadi pagi.  Mendengar cerita dari Mas Yudis kalau pelaku yang menyerahkan diri ternyata masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga Widarus. Kepalanya semakin pusing karena harus menanggung beban baru.
 
Apa yang harus dia lakukan sekarang karena ternyata Mas Yudis juga ikut terlibat, kendati dia belum memiliki bukti terkait hal tersebut. Konsentrasinya terpecah belah mengingat keadaan Ibu yang kembali memburuk membuat gemuruh dalam hatinya semakin membuncah, malah rasanya ingin menempeleng Profesor Abdul andai kata istilah adab dan etika tidak ada.
 
Setelah bercengkerama dengan Lintang melalui video call beberapa menit lalu, lelaki bermata elang ini duduk seorang diri di gazebo sebelah barat. Menilik kolam ikan dan tanaman hidroponik membuat dentuman kecamuk di dada bertambah, seperti mendapat sosok Bapak tengah berdiri di bibir kolam sembari menabur pakan untuk para ikan, membayangkan sudut bibir Bapak yang menembang meninggalkan kesan keteduhan. Kini, semua itu tinggal kenangan menjelma menjadi ilusi bermakna sepanjang hidupnya.
 
“Apa yang sedang kamu lakukan, Aryo?”
 
Segera diseka kelenjar yang diproduksi oleh proses lakrimasi yang sempat merembes cepat ini, begitu mendengar suara Profesor Abdul dari arah belakang. Kegundahan kembali dirasa niat hati mau menghindar dari sosoknya, tetapi apalah daya Gusti Allah memang Maha Mengetahui.
 
Menolehlah Aryo ke arah Profesor Abdul yang sedang melangkah dengan satu tangan menggenggam di balik pinggang, raut semringah jelas terpatri Aryo membalas dengan senyuman seadanya. Orang bilang, sabarnya seseorang bisa dinilai saat masih bisa tersenyum meski tahu telah dijahati berulang-ulang kali.
 
“Sedang menunggu waktu magrib, Prof. Minggu depan saya tidak bisa ke sini lagi karena kita harus kembali ke Jakarta, kan?”
 
Profesor Abdul hanya mengangguk seraya mengambil tempat di sisi kanan Aryo, dia agak menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang lebih banyak untuk beliau.
 
Sekuat tenaga Aryo menahan gejolak dalam diri agar tidak membara, jika sedang berhadapan dengan api jangan sekali-kali turut menjadi api pula, jadilah air agar hati tenteram dan segala masalah dapat diselesaikan dengan kepala dingin.
 
Mereka duduk dalam kesunyian. Profesor Abdul tersenyum tipis waktu pandangan mengarah ke kandang ayam, teringat akan peristiwa malam itu ketika sedang bercengkerama dengan Mas Yudis. Beliau tahu Aryo ada di sana, pancingannya berhasil karena pasti sekarang ini Aryo berpikir kalau Kang Masnya seorang pengkhianat. Dia bersyukur karena Aryo datang di saat yang tepat bukan saat mereka sedang membicarakan hal yang jauh lebih penting. Dia bersyukur Aryo hanya mendengar sebatas itu saja.
 
Profesor Abdul mengaku kepada diri sendiri karena dia memang bukan orang baik-baik. Namun, masa bodo dia hidup untuk dirinya sendiri semua dia lakukan demi mendapat keadilan yang seadil-adilnya. Di lain sisi tidak tahu saja kalau sebenarnya Aryo sudah mengetahui jauh dari perkiraan Profesor Abdul.
 
“Kita jarang mengobrol padahal berada di dalam lingkungan yang sama.” Suara Profesor Abdul memecah keheningan.
 
Terdengar embusan napas pendek yang keluar dari lubang hidung Aryo. “Disibukkan dengan urusan masing-masing, Prof. Saya maklum sama sekali tidak mempersalahkannya.”
 
“Bagaimana perasaanmu, sudah jauh lebih lega atau malah semakin gundah gulana?”
 
“Saya tidak tahu harus mendeskripsikan seperti apa. Berharap saja apa yang sudah terjadi hanya mimpi, semoga ada seseorang yang membangunkan saya dari mimpi buruk ini.”
 
“Kematian adalah takdir yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun. Saya tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang paling disayang, tetapi bagaimanapun kamu juga harus tetap melanjutkan hidup, Aryo. Gunandi akan sedih kalau tahu kamu masih belum bisa menerima semua ini.”
 
“Saya harap pelaku dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.” Aryo menyahut sembari menatap bola mata Profesor Abdul lekat-lekat, tidak lupa dengan senyuman khasnya yang mampu memabukkan jiwa siapa saja. “Andaikan membalas dendam bukan perbuatan dosa, mungkin lebih baik tangan saya sendiri yang membalas perbuatan pelaku. Apakah Anda akan melakukan hal demikian seumpama kerabat Anda mengalami peristiwa getir macam Bapak?”
 
Nerimo ing pandum. Bersikap legowo dan ikhlas itu sudah lebih dari cukup. Andai kata pelaku tidak mendapat sanksi yang sesuai, ingat dia tidak akan pernah luput dari pengadilan dari yang Maha Kuasa.”
 
“Amin. Semoga para pelaku benar mendapat pengadilan yang seadil-adilnya dari Gusti Allah.” Ketika membalas dengan ucapan tersebut mimik wajahnya berubah menjadi tanpa ekspresi. Bergetar dada Profesor Abdul secara tiba-tiba, agak merinding. Beliau seperti merasakan ada kehadiran orang lain di tengah-tengah mereka.
 
Pandangan Aryo kembali menengok ke arah kolam ikan sementara Profesor Abdul berusaha menata diri menghadapi situasi mendesak ini.
 
“Oh, saya pernah melihat kamu sedang mencari istilah kata Et tu Brute, kamu tertarik dengan sejarah Romawi?” Profesor Abdul sengaja mengalihkan topik pembicaraan agar suasana kembali normal.
 
“Kata tersebut diucapkan oleh tokoh diktator Romawi Yulius Kaisar kepada kawannya Marcus Brutus pada saat dia sedang dibunuh. Istilah tersebut kini digunakan dalam konteks pengkhianatan yang terduga dari seorang teman.” Kepala Aryo kembali menoleh ke arah Profesor Abdul. “Kisah tersebut mengingatkan akan sebuah peristiwa, bahwa saya pernah dikhianati oleh seorang teman yang paling saya sayangi, rasanya pahit sekali melebihi menelan bratawali.”
 
Walaupun agak bingung karena Aryo memberi tanggapan di luar konteks pertanyaannya, Profesor Abdul tidak mau membicarakan hal tersebut terlalu jauh. Beliau hendak membuka suara lagi, tetapi urung ketika Aryo terlebih dahulu angkat bicara.
 
“Bagaimana perkembangan pencarian mengenai Ayah Anda, Prof? Apakah sudah membuahkan hasil?”
 
Agak gugup Profesor Abdul mendengar pertanyaan tersebut, tetapi mencoba menyembunyikan rasa penasaran, tidak mau Aryo curiga akan perubahan respons tubuhnya kalau diperlihatkan secara gamblang.
 
Beliau menggaruk sebelah pelipis seraya menjawab pertanyaan Aryo. “Belum menemui titik terang, mungkin benar kalau beliau sudah mati terbunuh oleh waktu.”
 
Aryo mengangguk-angguk. Lagi-lagi Profesor Abdul dihadapkan oleh situasi aneh, rasanya lelaki yang sedang mengobrol dengannya ini bukan Aryo. Karena tidak terlalu menggebu-gebu ketika menanggapi ucapannya. Sebenarnya kamu mau apa, Aryo? Atau jangan-jangan dia sudah tahu. Ah, rasanya tidak mungkin.
 
Giliran Aryo yang mengubah topik obrolan. Kalimat yang dilontarkan membuat jantung Profesor Abdul rasanya mau copot.
 
“Prof, sebenarnya apa isi di dalam arca oplosan itu? Saya pernah bertanya kepada Bapak, tetapi beliau bilang tidak tahu menahu. Jika memang benda tersebut menyimpan rahasia besar, saya tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau sampai jatuh pada orang yang salah dan serakah.”
 
Profesor Abdul tetap membungkam lantaran tahu Aryo belum menyelesaikan kalimatnya. “Meski tidak dikatakan oleh siapa pun, pencuri itu telah mengambil buku peninggalan Eyang Kakung yang tersimpan di rumah Kasongan.”
 
Saat memberi keterangan kepada tim penyelidik, Aryo mengatakan tidak tahu menahu tentang kamar rahasia karena hanya Bapak yang sering memasuki ruangan tersebut. Namun, Aryo menyadari buku bersampul hitam yang berisi kisah Poniyem telah raib. Tidak mungkin disembunyikan oleh Bapak, pastilah pencuri itu yang sudah mengambilnya.
 
Untuk kali ini Profesor Abdul tidak dapat menyembunyikan ekspresinya. “Buku peninggalan Hassan? Bukankah buku-buku itu kamu yang menyimpannya?”
 
Tampak Aryo menggeleng sebelum menyahut.
 
“Bukan buku harian yang ditulis Eyang Kakung, melainkan buku dengan sampul hitam seperti yang ada di perpustakaan Anda, Prof.”
 
“Jadi, buku itu tersimpan di rumah Kasongan? Berisi tentang apa buku itu, Aryo?”
 
“Jangan beritahu siapa-siapa kalau saya tahu tentang buku itu. Karena saya tidak melaporkan hal tersebut kepada tim penyelidik.”
 
Sekali lagi Profesor Abdul melayangkan pertanyaan yang sama mengenai isi dari buku yang diambil oleh perampok itu. Aryo terdiam sebentar sebelum memberi jawaban.
 
“Ya, tersimpan di kamar Bapak. Saya tidak tahu pasti apa isinya.”
 
“Tapi pelaku mengatakan tidak mencuri apa pun dari sana. Bagaimana bisa kamu menyimpulkan kalau buku tersebut dicuri oleh mereka?”
 
“Tidak ada orang lain selain para perampok biadab itu. Sehari sebelumnya Bapak memberitahu saya di mana letak buku tersebut, tetapi setelah peristiwa malam itu bukunya sudah tidak ada.”
 
Rasa-rasanya Profesor Abdul sudah tidak nafsu untuk membahas perkara tersebut. Rasa-rasanya sudah tidak memedulikan kertas dalam amplop dengan lambang garuda muka kencana yang belum dia temukan, amplop tersebut sama sekali tidak ada di kamar Aryo, dia sudah berusaha mencari malah mendapat hasil nihil. Sekarang ditambah persoalan baru tentang buku bersampul hitam yang sebenarnya selama ini juga dicarinya.
 
“Aryo, obrolan ini kita lanjutkan nanti saja. Saya baru ingat kalau harus pergi di Pasar Beringharjo, pinjam si jali, ya.”
 
“Padahal saya ingin menceritakan tentang arca oplosan itu, Prof.”
 
Tawaran Aryo sejujurnya sangat menarik, tetapi urusannya kali ini jauh lebih penting. “Kita bahas nanti saja.”
 
“Baiklah, kalau seperti itu. Kunci motornya ada di tempat biasa, Prof.” Profesor Abdul tersenyum dan mengangguk, lalu perlahan meninggalkan gazebo. “Tolong sampaikan salam saya kepada teman yang akan Anda temui.”
 
Profesor Abdul berhenti melangkah, tidak lama setelah itu membalikkan badan jarak antara dirinya dan Aryo hanya 10 langkah orang dewasa. “Baik, akan saya sampaikan.” Setelah melontarkan kalimat tersebut beliau kembali berbalik badan untuk melanjutkan langkahnya yang sempat terjeda.
 
Dalam langkahnya Profesor Abdul menyadari ada sesuatu yang janggal. Terlihat saat tiba-tiba dia menghentikan diri tepat di depan pintu belakang rumah, lalu kembali mengingat kalimat perpisahan yang baru saja Aryo ucapkan. “Tunggu, bukankah saya tidak mengatakan kalau mau menemui seorang teman?” Monolognya. Wajah Profesor Abdul mendadak pucat pasi, mau menoleh rasanya amat berat sehingga berdiam diri seperti menunggu sesuatu yang tidak pasti menjadi jalan ninjanya.
 
Dari gazebo Aryo tersenyum dengan memperlihatkan mata yang agak menyipit dan bibir yang terbuka sedikit, layaknya senyum yang bisa dilihat dalam film atau serial psikopat dengan tokoh villain yang sangat sadis. Seperti itu penampakan senyum yang sedang lelaki itu tampilkan.

The Last SecondWhere stories live. Discover now