[[ ꧓꧖ ; Mengatur Strategi ]]✅

39 6 0
                                    

36. Mengatur Strategi.

 LELAKI tua yang dikenal sebagai sosok baik hati, bijak, cerdas, dan terlihat selalu peduli terhadap sesama itu melayangkan pandangan lugu, tersenyum lebar yang menyiratkan makna tertentu kepada Mas Yudis yang tengah berdiri terpaku dari arah sebe...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

 
LELAKI tua yang dikenal sebagai sosok baik hati, bijak, cerdas, dan terlihat selalu peduli terhadap sesama itu melayangkan pandangan lugu, tersenyum lebar yang menyiratkan makna tertentu kepada Mas Yudis yang tengah berdiri terpaku dari arah seberang.
 
Mas Yudis spontan kikuk sekaligus bingung bukan kepalang lantaran beliau mengenal sahabatnya, John, lagi pula menurut informasi yang dikatakan Aryo seharusnya sekarang ini beliau sedang berada di Singapura. Kalaupun sudah kembali tentunya Aryo akan memberitahu dirinya juga.
 
Mas Yudis digiring oleh Profesor Abdul ke dalam sedan tua sementara John melenggang pergi bersama Yudistira, itu adalah nama samaran anggota timnya dan Mas Yudis mengenal sosok Yudistira karena beberapa kali pernah berkunjung ke rumah bersama John.
 
John tidak mengetahui keberadaan Mas Yudis, mereka pergi setelah berbincang sebentar dengan Profesor Abdul. Dalam benaknya agak gemetar karena dipaksa untuk ikut, gerangan ke mana Profesor Abdul akan membawa dirinya pergi.
 
Sedan berhenti di daerah jalan Pasar Kembang, kesunyian yang selama perjalanan menghampiri sekonyong-konyong berubah mencekam ketika suara Profesor Abdul mendominasi.
 
“Saya memang tidak terbang ke Singapura, kamu boleh memberitahu Aryo.” Beliau berujar tanpa menoleh ke arah Mas Yudis yang duduk di bangku penumpang, lelaki itu dapat melihat wajah Profesor Abdul melalui kaca tengah. Pada bangku di sebelah Profesor Abdul terdapat tumpukkan yang terbungkus plastik hitam. Menyebabkan pemuda itu duduk di belakang.
 
Tentu Mas Yudis bingung apa maksud atas semua ini. Lelaki tua yang ada di depannya ini seperti bukan sahabat mendiang Eyang Kakung. Arogan dan sinis padahal beliau dikenal dengan sifat tenang serta bijaksana.
 
“Apa maksud Anda, Prof?” Mas Yudis angkat bicara setelah diam agak lama.
 
Wajah Profesor Abdul mendadak kencang. Dengan nada suara berapi-api beliau menjawab, “Kamu lancang, ya. Orang tua sedang mengajak berbicara, tetapi kamu abaikan.”
 
Embusan napas panjang keluar dari lubang hidung Mas Yudis.
 
“Saya bukan tukang mengadu, lagi pula kenapa Anda menjadi sewot seperti itu. Sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan Anda, Prof?”
 
Bukan memberi jawaban pasti, kalimat yang dikatakan Profesor Abdul kontan membuat kedua alis Mas Yudis saling menukik.
 
“Aryo tentu pernah membahas tentang perjalanan waktu kepadamu, ‘kan?”
 
Tanpa berpikir panjang Mas Yudis mengangguk, mengiyakan begitu saja.
 
Mana mungkin Mas Yudis lupa ketika masih SMP Aryo kerap membahas tema tersebut saban hari, setelah membaca buku harian peninggalan Eyang Kakung. Aryo terobsesi dengan ilmu fisika seperti kesetanan. Namun, apa hubungannya masalah tersebut dengan Profesor Abdul? Logika Mas Yudis tidak sampai ke arah tersebut, kepalanya mendadak pening kalau mesti dipaksa untuk menduga-duga.
 
Seperti berdiri di atas jurang terjal, tahu-tahu Profesor Abdul secara terang-terangan meminta bantuan kepada Mas Yudis untuk mencari tahu keberadaan ruang rahasia di rumah Kasongan. Tentu saja dia bingung bukan main, pasalnya Mas Yudis sungguh tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Lagi pula mengapa mendadak Profesor Abdul membahasnya, kenapa tidak bertanya saja kepada Aryo?
 
“Saya bisa mati berdiri kalau sampai bertanya kepada Aryo,” sahut Profesor Abdul lugas setelah Mas Yudis melontarkan pertanyaan. Mengerut dahi Mas Yudis, wajahnya seolah menggambarkan banyak pertanyaan. “Saya melakukan semua ini tanpa sepengetahuan Aryo. Sebenarnya, saya sangat membenci adik tiri kamu itu.”
 
Dada Mas Yudis berdesir. “Anda membenci Aryo? Kenapa?”
 
“Tidak harus ada alasan pasti untuk membenci seseorang,” sahut Profesor Abdul amat datar.
 
Mas Yudis sungguh bingung dengan situasi ini. Tidak lama setelah itu beliau menunjukkan tiga lembar foto kepada Mas Yudis. Mas Yudis tentu ingat peristiwa apa yang telah terjadi dari foto tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah, dari mana Profesor Abdul mendapatkan potret dirinya?
 
Satu bulan lalu Mas Yudis mengalami kejadian naas karena tidak sengaja berhubungan dengan para pengedar, yang Mas Yudis tidak tahu menahu kalau salah satu temannya adalah bagian dari mereka. Atau jangan-jangan Profesor Abdul juga demikian? Memiliki hubungan mengenai para pengedar itu?
 
“Bantu saya mencari tahu keberadaan ruang rahasia itu. Saya akan tutup mulut dan memberi perhitungan kepada teman yang telah menjebak kamu.”
 
Bak disambar puting di siang bolong. Sebenarnya siapa lelaki tua yang ada di hadapannya ini, mengapa beliau tampak sangat berbeda.
 
Mas Yudis tidak mau memikirkan hal yang membuat pening. Dia menyeka wajah seolah keringat banyak bercucuran menghiasi wajah tampannya. “Sepertinya, Anda sudah salah paham. Apa yang tercetak di dalam gambar itu tidak sesuai asumsi Anda.”
 
Profesor Abdul tersenyum sinis sebelum memberi tanggapan. “Saya tidak peduli, paling penting dua orang yang ada di foto ini adalah incaran para polisi. Tentu, jika saya menyerahkan ini kepada mereka, kamu akan terseret juga. Tidak bisa saya bayangkan wajah Gunandi seperti apa kalau tahu kamu terlibat dengan para pengedar ini.”
 
“Saya dijebak. Saya sungguh tidak tahu kalau barang itu berisi narkoba!”
 
“Mudah bagi saya membuat kamu untuk menjadi tersangka. Le, pilihanmu hanya ada dua. Mengikuti perintah, maka akan saya bantu membersihkan nama baikmu atau melanggar perintah, tetapi usaha gerabah Bapakmu yang harus menanggung risikonya.”
 
Mas Yudis mengingat hari sial itu, di mana salah satu teman SMA meminta tolong kepada dirinya mengantar ke suatu tempat, si teman bilang kalau mau mengambil barang, tanpa disangka ternyata barang yang ingin diambilnya itu ternyata berisi narkoba.
 
Mas Yudis nyaris saja diringkus oleh polisi andai kata tidak buru-buru pergi dari tempat tersebut. Si teman juga berhasil lolos, sejak saat itu dia tahu kalau si teman adalah seorang pengedar dan pemakai sabu-sabu.
 
“Kenapa Anda berbohong kepada Aryo, malah sekarang berani memunculkan diri di tempat di mana Aryo bisa saja mengetahui keberadaan Anda.”
 
“Setelah dari sini saya akan kembali ke Ibu Kota, seolah-olah saya sedang berada di Singapura.”
 
Sedan kembali melaju membelah wilayah Pasar Kembang, dalam aksi jalan-jalan tanpa arah tujuan itu Profesor Abdul menceritakan segala hal, tidak tahu mengapa beliau mengatakan perkara acak kepada dirinya paling sering menerangkan tentang arca Dwarapala dan kisah sang ayah yang merupakan orang paling berhak atas semua harta yang tersimpan di rumah Kasongan.
 
Awalnya Mas Yudis tidak mengerti, sepanjang mulut Profesor Abdul bercerita bak terhipnotis oleh sebuah mantra lantaran sedikiti pun bibirnya tak berkenan menanggapi atau memotong kalimat beliau, mengangguk saja seraya mendengarkan penuh suka cita.
 
Hari berlalu begitu saja. Tidak Mas Yudis sangka, bahwa momen ini adalah hari di mana peristiwa kelam sepanjang hidupnya itu terjadi.
 
Tidak Mas Yudis sangka hari di mana tidak sengaja melihat keberadaan Profesor Abdul justru ikut membawanya masuk ke lubang neraka. Dari peristiwa tidak sengaja tersebut Mas Yudis menjadi tahu siapa Profesor Abdul yang sebenarnya. Belang sahabat mendiang Eyang Kakung itu muncul ke permukaan. Andai kata malam itu Mas Yudis tidak mengekori pergerakan beliau, mungkin tidak akan pernah tahu kalau beliau dalang atas meninggalnya Bapak. Namun, menyesal juga seharusnya dia tidak perlu terlalu ikut campur.
 
Fenomena burung gagak yang terbang di langit Kemusuk beberapa hari itu membuat perasaan Mas Yudis gelisah, terlebih malam itu gagak juga tampak di langit Kasongan. Setelah pertemuan tidak sengaja itu, Profesor Abdul selalu menyuruh ini dan itu sampai puncaknya adalah malam itu.
 
Mas Yudis tidak dapat menolak lantaran beliau memiliki kelompok berpengaruh yang bisa menghancurkan usaha Bapak, diancam seperti itu tentu Mas Yudis ketakutan setengah mati. Mau tidak mau menuruti permintaan beliau, malam itu masuk ke rumah Kasongan melalui pintu belakang kebetulan Mas Yudis menyimpan kunci cadangan. Memilih masuk melalui pintu belakang lantaran area tersebut paling aman dari jangkauan warga yang sedang melakukan aktivitas meronda.
 
Belakang rumah Kasongan merupakan tanah kosong dengan diselimuti tembok buntu, serta dikelilingi pohon pisang. Tanah tersebut milik keluarga Bapak.
 
Dia tidak pergi berdua saja, melainkan pergi dengan dua orang lainnya. Satu di antara dua orang itu Mas Yudis sangat mengenalinya. Dia adalah John. Mereka seakan sudah mempersiapkan segala sesuatunya tampak karena busana yang dikenakan terlihat nyentrik. Sarung tangan berbahan latex telah menghiasi kedua tangan mereka serta alas kaki yang biasa digunakan oleh tim forensik saat sedang melakukan penyelidikan di TKP.
 
 Satu orang lagi tidak memperlihatkan rupanya dengan jelas lantaran mengenakan slayer sebagai penutup wajah. Mas Yudis masih belum mengerti kenapa John jua turut di sini, sahabatnya itu dingin sekali malah seperti tidak mengenali dirinya. Sejak bertemu di hotel dua hari lalu, sikap John mendadak berubah 180 derajat, sosoknya bukan seperti John yang selama ini Mas Yudis kenal.
 
“Kamu mau tahu kenapa harus menuruti perintah saya?” Ucapan yang mendarat dari bibir Profesor Abdul ini tertuju kepada Mas Yudis. Kontan dia menggeleng tanpa berkenan membalas tatapan beliau.
 
Tidak lama setelah itu beliau mengetuk pintu kamar Bapak, tidak ada respons sampai ketukan kedua dilayangkan. Barulah terdengar suara Bapak dari dalam.
 
“Siapa?”
 
“Ini Mbah Gimbal. Tolong bukakan pintunya sebentar, Le.”
 
Tercengang Mas Yudis mendengar suara tersebut. Dia menoleh menjelajah penjuru ruangan memastikan barangkali Mbah Gimbal ada di sini, malah yang dilihat sosok John yang sedang duduk di sofa tengah seraya memandanginya dengan tatapan tajam sementara lelaki dengan penutup wajah ini berdiri tegak di sisi kanan Profesor Abdul.
 
Gila, Profesor Abdul bisa menirukan suara Mbah Gimbal sama persis. Beberapa kali Mas Yudis menabok lalu mencubit pipinya, siapa tahu semua ini hanya mimpi.
 
Bapak menampakkan diri dari balik pintu, wajahnya sangat tegang saat melihat kehadiran Mas Yudis, putra sulungnya itu kini sudah terduduk dengan posisi bertimpuh seraya menunduk.
 
Atensi Bapak tidak tertuju pada Mas Yudis, melainkan kepada Profesor Abdul dan John. “Sepertinya kamu belum menyadarinya, Gunandi!”
 
Setelah suara tersebut didengar yang Mas Yudis lihat adalah Bapak terpental keluar kamar. Profesor Abdul menghajar Bapak tanpa ampun, Mas Yudis hendak beranjak, tetapi satu-satunya lelaki yang mengenakan penutup wajah ini kontan menahan sebelah bahunya, lalu memperingatkan agar tidak melakukan pergerakan barang sejenak. Mas Yudis dapat melihat sorot mata Bapak yang menyiratkan agar dia menuruti perintah tersebut.
 
Mas Yudis mengangguk kecil sembari menahan tangis mengamati Bapak yang tengah dihajar Profesor Abdul. Bapak telah terkapar tidak berdaya, John melangkah menghampiri posisi mereka. Dari dalam saku jaket kulitnya, John mengeluarkan alat suntik yang sudah diisi suatu cairan, Mas Yudis tidak tahu apa cairan tersebut.
 
Menyerahkan kepada Profesor Abdul, kemudian lelaki tidak tahu diri ini menyuntikkan alat tersebut tepat di ujung kuku kelingking kanan Bapak dengan sangat hati-hati. Profesor Abdul bangkit, lalu bergegas membuat jarak dengan Bapak.
 
Mas Yudis masih mengamati dengan perasaan campur aduk. Tidak mengerti mengapa beliau melakukan hal seperti itu. Mas Yudis seperti kesulitan dalam bernapas melihat Bapak yang mengigil kesakitan, kedua matanya memelotot hingga menutup dengan sendirinya.
 
Membelalak Mas Yudis menyaksikan itu semua. Apa yang sudah Profesor Abdul lakukan? Benarkah apa yang dilihatnya ini? Profesor Abdul berbuat keji seakan-akan merasa tidak ada siapa pun di ruangan ini.
 
Semakin memelotot Mas Yudis ketika melihat darah mengucur dari dalam tubuh Bapak berwarna hitam pekat, tetapi selang beberapa detik John kembali memberikan alat suntik baru. Seperti awal Profesor Abdul kembali menyuntikkan alat tersebut, tetapi titik kali ini berbeda bukan lagi pada ujung kuku, melainkan pada punggung kaki.
 
Dalam sekejap warna darah yang merembes dari tubuh Bapak sekonyong-konyong berubah warna menjadi merah tua.
 
“Le, karena kamu sudah terlanjur melihat semua ini. Bagian penutup kamu saja yang melakukan.”
 
Tegak tersentak Mas Yudis mendengar ucapan tersebut. Profesor Abdul memberi isyarat kepada John dengan gerakan dagu, dari salah satu saku celana Cargo yang dia kenakan dikeluarkanlah sebilah pisau berburu. “Berikan pisau itu kepada Yudis!” perintah tersebut keluar dari moncong Profesor Abdul.
 
Namun, sebelum diberi pisau tersebut lelaki dengan penutup wajah melemparkan sepasang sarung tangan. “Gunakan sarung tangan dulu,” ujar si lelaki. Mau tidak mau Mas Yudis menuruti perintah itu lagi. Seraya memandangi wajah Bapak yang sudah kaku, Mas Yudis mengenakan sarung tangan.
 
Mas Yudis tidak mau mengingat bagaimana detailnya. Peristiwa itu terjadi begitu cepat.
 
“Jadi, kamu membunuh Bapak? Luka tusukkan itu kamu yang melakukannya, Mas?”
 
Mas Yudis mengaku, memang dialah yang menusuk dada, perut, dan punggung Bapak dua kali itu pun karena desakan dari Profesor Abdul. Beliau lebih parah dalam keadaan Bapak yang sudah berlumuran darah masih ditusuk satu kali lagi.
 
Mas Yudis sampai mual di tempat menyaksikan kekejian Profesor Abdul yang mata hatinya telah dibutakan oleh nikmat duniawi.
 
Seketika Aryo bangkit dari tempat duduknya, melangkah dengan rasa menggebu-gebu saat menghampiri posisi Mas Yudis. Ditinjunya bagian perut Kang Masnya itu dua kali tanpa adanya perlawanan. Mas Yudis pasrah, walau sempat meringis menahan nyeri. “Pukulan saya belum seberapa seperti yang Bapak rasakan.” Bibir Aryo bergetar saat mengatakan kalimat tersebut.
 
Aryo tahu Mas Yudis melakukannya atas dasar rasa terpaksa, tetapi bagaimanapun dia juga menusukkan pisau ke tubuh Bapak. Aryo benar-benar marah kepada Profesor Abdul dan sekarang ini hanya bisa melampiaskan kepada Mas Yudis.
 
“Saya melakukan itu karena terpaksa. Setidaknya salah satu dari kami harus tetap hidup. Sebelum saya menusukkan pisau itu, Bapak sudah tidak sadarkan diri. Profesor Abdul masih mengeksekusi dengan menggorok leher Bapak menggunakan celurit yang beliau ambil dari dapur. Peristiwa itu begitu cepat, Ar. Saya tidak sanggup untuk mengingatnya lagi.”
           
            Semua sudah Mas Yudis ceritakan tanpa ada satu pun bagian yang terlewatkan atau ditutup-tutupi. Aryo sempat tidak percaya karena secara tidak sengaja Mas Yudis juga ikut terlibat, jika diposisi Mas Yudis tentu Aryo akan melakukan hal serupa. Tentu saja takut ikut terseret dengan kasus Bapak, padahal kalau dicerna  saat pikiran sedang jernih Mas Yudis sama sekali tidak terlibat malah bisa dijadikan sebagai saksi kunci. Namun, ketika Profesor Abdul memberitahu kalau memiliki hubungan yang dekat dengan salah satu pihak berwenang, Mas Yudis menurut saja agar tutup mulut dan seakan tidak melihat apa-apa.
 
            Semakin tercengang Aryo karena Profesor Abdul bisa membuat orang yang tidak bersalah menjadi tersangka utama. Tidak Aryo sangka, bahwa sebenarnya Profesor Abdul juga termasuk cukong yang serakah dan memiliki kuasa.
 
            Yang lebih mencengangkan lagi adalah pengakuan Mas Yudis mengenai Profesor Abdul bisa menirukan suara orang lain, bahkan suara Eyang Kakung yang Aryo sendiri tidak tahu. Ekspresi Aryo sama persis seperti Bapak saat Profesor Abdul menirukan suara Mbah Gimbal untuk memancing Bapak keluar dari kamar malam itu. Aryo kini menemukan jawaban, bahwa peringatan agar berhati-hati dengan seseorang yang bisa menirukan suara orang lain, ternyata orang tersebut adalah Profesor Abdul.
 
            Profesor Abdul berani berbuat nekat sampai sejauh ini lantaran ingin mencari tahu keberadaan ruang rahasia yang ada di rumah Kasongan, ingin mengambil yang sudah menjadi haknya. Aryo juga tidak menyangka kalau Profesor Abdul pernah berusaha ingin memasuki kamar rahasia, tetapi tidak bisa karena kunci kamar tersebut disembunyikan oleh Bapak, saat ini Aryo simpan tanpa ada orang yang tahu di mana keberadaan kunci tersebut. Aryo menutup rapat mulutnya agar tidak keceplosan mengungkapkan hal itu.
 
            Walaupun Mas Yudis berani mengambil risiko menjadi pengkhianat lagi. Mengkhianati kesepakatan yang sudah dibuat bersama Profesor Abdul. Kalau sampai beliau tahu tentu Mas Yudis akan mengalami nasib sama seperti Bapak. Ya, Mas Yudis sadar betul mau mengkhianati beliau ataupun tidak suatu saat nanti jika sudah tidak dibutuhkan, dia akan dibinasakan guna mengubur fakta mengerikan tersebut.
 
Tidak mudah bagi Aryo memercayai cerita tersebut. Pasalnya, keterlibatan Mas Yudis sangat di luar asumsi. Bagaimana bisa Profesor Abdul tanpa aba-aba apa pun menunjukkan belangnya kepada Mas Yudis.
 
“Semua yang terjadi di rumah Kasongan dapat dengan mudah dibersihkan oleh Mas John dan lelaki misterius itu.” Mas Yudis kembali berkata-kata. “Mereka sudah merencanakan semua ini matang-matang, bahkan saya tidak tahu cairan apa yang sudah mereka gunakan untuk menghilangkan jejak kami.”
 
Di lain sisi Aryo terkagum-kagum dengan sikap Mas Yudis. Mentalnya begitu kuat dan tahan banting. Walaupun pasti batinnya amat shock, tetapi masih bisa bersikap biasa-biasa saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Sejak dulu Mas Yudis memang santai menghadapi persoalan pelik, tidak seperti dirinya yang akan kalang kabut mencari solusi.
 
“Ya, sudah. Kita kesampingkan dulu masalah kamu dan si pengedar. Sekarang, bisa kamu katakan apa rencana beliau selanjutnya?”
 
            Tidak membutuhkan waktu lama bagi Mas Yudis menjawab pertanyaan tersebut. “Percaya sama saya, lusa salah satu anggota penyelidik yang menangani kasus Bapak akan datang ke rumah ini, lalu memberitahu kami semua, bahwa mereka berhasil menangkap perampok. Kamu akan mendengar kabar yang lebih mengejutkan lagi.”
 
            “Jadi, maksud kamu oknum1 kepolisian bekerja sama untuk menutupi fakta? Anggota tersebut merupakan kaki tangan Profesor Abdul.”
 
            Mas Yudis mengangguk, mengiyakan pertanyaan yang Aryo ucapkan.
 
“Sudah menjadi rahasia umum, tetapi tidak semua tim mau melakukan hal kotor seperti itu. Masih ada segelintir anggota tim yang jujur, mereka terpaksa mengiyakan semata-mata sekadar menuruti perintah dari atas.”
 
            “Benarkah beliau sekejam itu?”
 
            “Kamu boleh percaya atau tidak, tetapi memang seperti itu faktanya. Lihat saja beliau akan kembali memainkan peran.”
 
“Mas, semua ini terlihat tidak masuk akal. Kenapa kamu begitu mudah menuruti permintaan beliau. Kamu sedang mencoba menipu saya lagi, ya?”
 
Mas Yudis menyeka wajah frustrasi. “Saya juga tidak mengerti, di pikiran saya waktu itu adalah hanya Bapak. Melihat langkah beliau yang nekat membohongi kamu, saya takut terjadi apa-apa dengan Bapak. Mau tidak mau saya membantu beliau mencari tahu keberadaan ruang rahasia itu.”
 
“Sungguh? Kamu melakukan hal konyol itu demi Bapak, tidak ada tujuan lain?” Aryo bertanya dengan sorot mata penuh curiga.
 
“Demi Allah, Ar. Saya melakukan itu semua karena khawatir dengan ucapan beliau, saya tidak menyangka beliau akan nekat dan berbuat gila seperti itu. Sungguh, sejak awal tahu kalau rumah Kasongan menyimpan sejarah misteri tidak sedikit pun saya tertarik mencari tahu.”
 
            Aryo tahu Profesor Abdul melakukan semua ini tidak seorang diri. Aryo menerka kalau sepertinya beliau hanya kaki tangan. Ada segelintir orang di atas sana yang memberikan perintah sehingga seolah-olah semua ini hanya Profesor Abdul sendiri yang melakukannya. Memang seperti di film-film yang terkesan monoton dan tidak masuk akal, tetapi kembali Aryo tegaskan kalau semua itu fakta dan nyata dalam dunianya.
 
            Sambil mengelus-elus dagu dengan pandangan mengarah menjurus pada pintu kamar, Aryo berujar, “Jadi, selama ini saya tinggal bersama seorang monster?”
 
            “Ya, mau menampik pun rasanya tidak mungkin karena memang seperti itu kenyataannya.”
 
            Tidak lama setelah itu azan subuh berkumandang. Bersamaan dengan itu Mas Yudis kembali menegaskan kepada Aryo agar menjaga sikap seolah dia benar tidak tahu apa-apa. Untuk menangkap ikan besar tentu harus mempersiapkan umpan yang tepat bukan sekadar besar saja, Aryo mengerti apa maksudnya.
 
            Lantas sebelum Mas Yudis beranjak untuk mengambil wudu, tetapi menahan sebentar pergerakan tersebut. Tidak lama setelah itu dia memberikan diska lepas berbentuk seperti kartu ATM kepada Aryo.
 
Hari berlalu begitu saja. Benar apa yang dikatakan Mas Yudis, dua hari setelah perbincangan di kamar hari itu, John datang ke rumah serta menerangkan hasil autopsi Bapak. Semua orang tidak mengira kalau sebenarnya Mas Yudis sudah membocorkan langkah Profesor Abdul. Pelaku yang menyerahkan diri merupakan alibi dan buah campur tangan Profesor Abdul.
 
Sejak hari itu kakak beradik juga memainkan peran masing-masing, menjalankan strategi sesuai dengan rencana yang sudah diatur. Melakukan pergerakan penuh kehati-hatian, mengandalkan kecermatan, kecerdasan, dan ketepatan waktu mengumpulkan bukti-bukti guna meringkus Profesor Abdul ke dalam jeruji besi.

 Melakukan pergerakan penuh kehati-hatian, mengandalkan kecermatan, kecerdasan, dan ketepatan waktu mengumpulkan bukti-bukti guna meringkus Profesor Abdul ke dalam jeruji besi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Holla, bagaimana? Apakah belum jatuh cinta?
Pesan dan kesan pada bagian ini apa, bisa kalian ceritakan?

Senin, 07 Desember 2020.

The Last SecondWhere stories live. Discover now