[[ ꧓꧘ ; D-day Penangkapan Si Topeng Monyet ]] ✅

21 4 0
                                    

38.  D-day

ARYO meminta bantuan Mas Alam agar disediakan ruangan khusus untuk bisa berbicara empat mata dengan Profesor Abdul

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

ARYO meminta bantuan Mas Alam agar disediakan ruangan khusus untuk bisa berbicara empat mata dengan Profesor Abdul. Apabila lelaki dengan jenggot tipis yang mulai memutih itu terbukti bersalah, Aryo sudah bersumpah tidak akan pernah mau lagi bertemu dengan beliau.
 
Mas Alam menyetujui sebelum Profesor Abdul dibawa untuk diinterogasi, pihak berwenang memberikan waktu 20 menit kepada mereka untuk berbicara, ruangan yang digunakan tetap dalam pengawasan Mas Alam. Sementara John dan Arta sudah diamankan dan saat ini sedang berada di ruangan yang lain.
 
Dua lelaki berbeda zaman ini duduk berhadap-hadapan, posisi kedua tangan Profesor Abdul yang masih diborgol membuatnya tidak leluasa dalam bergerak. Aryo menampilkan aura datar, walaupun amarah amat berkecamuk ingin dikeluarkan. Menghadapi monster seperti beliau ini harus dengan kepala dingin, kalaupun dengan api membara harus benar-benar menggunakan teknik yang tepat.
 
Sementara Profesor Abdul menunjukkan wajah yang bijak, tetapi Aryo tahu di balik tampang tersebut menyembunyikan wajah yang lain. Serigala berbulu domba. Dalam diam itu beliau masih saja tidak merasa bersalah sedikit pun, malah bersikap santai seakan perbuatannya bukan tindakan yang buruk dan wajar.
 
Tidak mau membuang-buang waktu lagi, Aryo bergerak merogoh saku hoodie yang dikenakannya, Mas Alam yang mengamati dari balik kaca mengerutkan dahi saat melihat pergerakan Aryo yang mengeluarkan sebuah jam tangan.
 
“Anda mencari ini, bukan?” ucap Aryo sembari menyodorkan  jam tangan model kalkulator casio kepada pria di hadapannya ini. Tentu Profesor Abdul tahu jam tangan ini bukanlah jam yang dia berikan kepada Aryo malam itu.
 
“Andai saja Anda meminta secara baik-baik, saya akan memberikan dengan suka rela, Prof. Anda tidak perlu menjadi seorang pembunuh.”
 
Bola mata Profesor Abdul membulat ketika mendengar kalimat tersebut. Beliau masih terdiam lantaran tahu Aryo belum menyelesaikan ucapannya.
 
Benar saja sesaat setelah membuang muka guna mencari pasokkan oksigen, Aryo kembali bertutur kata. “Apa yang Anda harapkan dari semua ini? Ruang rahasia? Teleportasi seperti Eyang Kakung atau apa?” Guratan kesal jelas terpatri menghiasi wajah tampan bak Adipati Dolken ini.
 
Kontan Profesor Abdul mengerjapkan mata beberapa kali, beliau mengulas senyum miring sebelum menanggapi pertanyaan tersebut.
 
Kedua tangan beliau tumpukan di meja, tubuhnya agak dicondongkan ke arah depan dengan tatapan seperti hendak menikam mangsa, suara halus bin menyesatkan itu mulai menggerayangi gendang telinga Aryo.
 
“Omong kosong!” Suara Profesor Abdul sangat lembut, tidak tersirat luapan emosi sedikit pun. Mata teduhnya jelas terlihat. “Kamu berbohong akan menyerahkan dengan suka rela sementara perkara amplop cokelat itu saja kamu tidak berterus terang.”
 
Sudah Aryo duga sejak lama, Profesor Abdul bukan lelaki bodoh dan tidak teliti. Kebohongannya yang satu ini tentu sudah bisa diendus oleh lelaki bermata sayu ini, tetapi beliau malah berlagak seperti tidak tahu apa-apa. Andai kata Bapak tidak meninggal, mungkin beliau masih akan berusaha mencari keberadaan amplop cokelat itu.
 
Lelaki dengan bulu mata panjang dan lentik serta kulitnya yang sedikit cokelat ini kontan menaikkan sebelah alis. Lalu mengembuskan napas kasar.
 
“Gusti Allah maha melihat, Dia selalu berpihak kepada kebenaran,” ujar Aryo dengan nada sedikit tertahan.
 
“Jangan sombong kamu, Le,” seru Profesor Abdul amat lantang. Nada bicaranya terkesan meremehkan. “Gusti Allah sedang tidak berpihak kepadamu, melainkan Dia sedang memberikan azab kepada orang-orang serakah macam kamu.”
 
Aryo tersenyum sinis, lalu melipat kedua tangan di depan dada seraya mengempaskan tubuhnya hingga punggung bersentuhan dengan badan kursi. Mas Alam yang mendengar ucapan Profesor Abdul ikut terbawa emosi, tetapi tetap menahan diri lantaran teringat akan pesan Aryo, kalau apa pun yang mereka bicarakan Mas Alam tidak diperkenankan ikut campur.
 
“Azab? Anda pikir ini sinetron? Anda sedang membicarakan diri Anda sendiri, ya?”
 
Profesor Abdul tersenyum hangat. “Kamu salah memilih lawan, Le.”
 
Wajah Aryo memerah, bahkan tubuhnya seolah bergetar kencang. Dia sampai menggebrak meja menggunakan telapak tangannya. Melihat respons Aryo yang sudah mulai emosi membuat Mas Alam khawatir, tetapi timbal balik tersebut justru menjadi buah keuntungan bagi Profesor Abdul sendiri.
 
“Aryo?” ujar Profesor Abdul dengan suara agak serak. Beliau kembali memainkan peran dengan berlagak seolah tidak mengatakan kalimat apa-apa sebelumnya.
 
Pemilik nama hanya mendongak seraya menatap dengan pandangan nanar.
 
“Saya mengaku bersalah.”
 
Sekilas Aryo dapat melihat sorot mata Profesor Abdul yang merasa bersalah sekaligus kasihan, tetapi Aryo tahu hal tersebut hanya pura-pura.
 
“Saya duduk di sini bukan untuk mendengar permintaan maaf Anda. Saya mau mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan Anda selama ini, terima kasih sudah mau berjuang demi menguak rahasia Eyang Kakung. Saya berharap hukum betul-betul mengadili Anda seadil-adilnya.”
 
Bibir Aryo bergetar, dadanya menggebu-gebu melontarkan kata demi kata seperti diburu api membara. Profesor Abdul jadi teringat obrolannya dengan Aryo di gazebo tempo hari.
 
Setelah mengungkapkan kalimat tersebut, Aryo beranjak bangkit di mana sebelumnya dia kembali menyimpan jam tangan milik Eyang Kakung ke dalam saku hoodie. Profesor Abdul pun tidak ada niatan mencegah pergerakan pemuda itu. Malah menatap dengan pandangan amat datar mengamati kepergian Aryo, tetapi tidak lama setelah itu beliau tersenyum sinis hal tersebut tertangkap jelas oleh mata Mas Alam.
 
“Saya pikir kamu meminta waktu mengobrol dengan beliau lantaran mau memaki-maki.”
 
Mas Alam berkata ketika mereka sedang berjalan menuju anak tangga ke lantai dua. Pemuda itu buru-buru mengejar langkah Aryo sesaat setelah keluar dari ruang interogasi.
 
“Mulut saya menjadi tidak sopan ketika marah, itulah sebabnya untuk sekarang saya tidak mau berdebat dengan beliau,” sahutnya sembari terus melangkah tanpa memedulikan wajah lawan bicara.
 
“Lantas, jam tangan itu untuk apa?”
 
Mas Alam yang penasaran tidak dapat menahan gejolak itu, kontan saja mempertanyakan walaupun tahu hal tersebut pasti privasi bagi Aryo.
 
Spontan Aryo menghentikan langkahnya tepat setelah selesai menuruni anak tangga, kini keduanya tengah berdiri di ujung lorong yang menghubungkan dengan anak tangga yang lain. Namun, belum sempat menjawab pertanyaan tersebut, atensi mereka teralihkan saat melihat dua orang hendak naik ke lantai tiga, satu orang di antaranya berjalan dengan posisi tangan diborgol.
 
Mas Alam berbisik ketika pandangan Aryo fokus berserobok dengan lelaki yang diborgol itu. “Dia Satria, mau dipertemukan dengan Mas John dan Pak Arta.”
 
Aryo sekalipun belum pernah melihat tampang pemuda dengan kumis tipis itu, tetapi pandangan mata Satria seolah kalau mereka adalah kawan yang sangat akrab. Tatapan mata Satria seakan mengisyaratkan sesuatu, tetapi Aryo tidak dapat menerjemahkannya begitu saja. Kepala mendadak kembali pening tepat ketika Satria menghilang menaiki anak tangga menuju lantai tiga.
 
“Sudahlah, saya sedang tidak mau membahas apa pun,” kata Aryo lalu mengibaskan tangan. “Saya serahkan perkara ini kepada Mas Alam, segera hubungi saya kalau ada informasi terbaru.”
 
Mas Alam hanya mengangguk, kemudian mengucapkan salam perpisahan untuk hari ini dan berjanji akan segera memberitahu informasi terbaru. Meminta tolong juga kepada Aryo agar disampaikan kepada Mas Yudis untuk mempersiapkan diri karena bisa saja setelah ini Kang Masnya yang akan mendapat surat perintah penangkapan andai kata mereka sudah buka suara. Aryo mengiyakan, lalu membalikkan badan untuk berjalan ke lantai satu sementara Mas Alam hendak kembali ke ruangan timnya.
 
Akan tetapi, baru beberapa jengkal melangkah, Mas Alam kembali membalikkan badan kemudian mengejar langkah Aryo.
 
“Aryo.”
 
Aryo kembali menghentikan langkah saat mendengar suara yang familier. Belum sempat menoleh ke sumber suara, Mas Alam sudah mendekatkan wajahnya tepat di sisi kanan kuping Aryo, tanpa menunggu waktu sahabat dari Mas Yudis ini mengucapkan kata-kata.
 
Hana sang atapa gupta carana, gurukula singgihing wulat mwang nayakan siràdi pùrwaka, ikang wihikan ing wahya byantara.”*
 
Kalimat tersebut dicetuskan dengan gaya dan nada bicara seperti Sybill Trelawney ketika sedang kerasukan sesosok dementor, berbicara kepada Harry Potter saat dia hendak mengembalikan bola yang dibuang oleh Hermoine. Aryo sampai memelotot kejam ke arah lelaki itu.
 
Namun, bak ada mantra sihir yang berhasil memupuk kesadaran Mas Alam. Lelaki itu kebingungan karena seharusnya dia kembali ke lantai tiga. Mimik bingung jelas memenuhi pandangannya, apalagi saat melihat dua alis tebal milik lelaki di sampingnya ini saling bertaut.
 
Aryo berjalan mendekat ke arah Mas Alam, lalu menepis tangannya yang masih bertengger di bahunya, bahkan Mas Alam tidak menyadari pergerakan tersebut. “Mas Alam bicara apa?” Aryo bertanya ketika jarak mereka sudah mulai terkikis.
 
Tentu saja Mas Alam kikuk. Seingatnya dia tidak mengucapkan apa-apa, malah bingung karena seperti ada yang menekan-nekan rongga dadanya beberapa saat lalu, tetapi lebih memilih untuk tidak menghiraukannya, mungkin sekadar perasaannya saja karena terlalu lelah memikirkan pekerjaan yang tak kunjung usai.
 
“Saya tidak mengatakan apa-apa. Memangnya saya bicara apa, Ar?” Suaranya agak gugup dan terbata-bata.
 
Kontan dahi Aryo mengerut, dia tidak mungkin salah mendengar, suara yang baru saja menyapa jelas keluar dari mulut Mas Alam dengan menggunakan bahasa Kawi. Aryo tahu betul apa artinya.
 
Namun, Mas Alam tidak memberi jawaban pasti, dia tergesa beringsut dari hadapan Aryo lantaran mendapat panggilan dari anggota tim yang lain. Aryo tegak tersentak di tempat dalam beberapa saat, apa maksudnya dengan semua ini. Lamunannya seketika terhenti ketika saku celananya bergetar, dia merogoh benda tersebut lalu memperlihatkan nama Nada tertera jelas pada layar ponselnya.

The Last SecondWhere stories live. Discover now