[[ ꧓꧕ ; Kilas Balik ]]✅

27 5 0
                                    

35.  Kilas Balik.

 Siang Hari Setelah Perbincangan di Kandang Ayam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

 
Siang Hari Setelah Perbincangan di Kandang Ayam.
 
“MEMINUMNYA sedikit tidak akan membuat candu, Le. Coba saja kalau tidak percaya.”
 
Profesor Abdul bertutur kata sambil menuangkan minuman beralkohol yang terbuat dari hasil fermentasi dan distilasi jus agave biru ke dalam gelas kosong di hadapan Mas Yudis, lalu beralih menuangkan ke dalam gelasnya sendiri.
 
Mas Yudis memang belum menjadi lelaki yang taat beragama, bukan lelaki baik-baik juga karena masih sering melakukan perbuatan dosa. Sekadar berusaha untuk menguatkan iman di dada agar tidak goyah dan menjauh dari segala hal yang dilarang Sang Pencipta tidaklah salah, bukan?  Jangankan mau menyentuh botolnya, mencicipi minuman bersoda saja belum pernah.
 
“Terima kasih, Prof, saya tidak tertarik untuk mencobanya.” Mas Yudis menanggapi dengan seulas senyum di akhir kata.
 
Sangat disayangkan tubuh bugar Profesor Abdul harus terkontaminasi oleh jenis minuman yang satu ini. Pasti beliau sering mengonsumsinya tanpa sepengetahuan Aryo. Jelas, di mata adik tirinya sosok Profesor Abdul adalah lelaki yang giat menerapkan pola hidup sehat, kalau sampai tahu pasti Aryo bisa mati berdiri. Mas Yudis saja kaget, mungkin juga tidak akan pernah tahu andai kata hari itu dia tidak membuntuti langkah John.
 
Profesor Abdul tertawa singkat dalam posisi duduk kaki bersilang sambil menggoyang-goyangkan gelas sloki heavy, membuat Mas Yudis mendadak agak pusing saat melihat taquila bergerak ke sana sini.
 
“Kamu tidak perlu khawatir mengenai Aryo, Le. Tenang saja dia bukan pemuda bodoh yang suka bertindak gegabah.”

Suara  Profesor Abdul kembali menggema memenuhi ruangan bernuansa putih gading ini. Lawan bicara mendengkus berkali-kali menanggapi ujaran tersebut tidak tertarik, malah seharusnya sejak awal menolak datang kemari andai kata memang bisa seperti itu.
 
Profesor Abdul kembali meminum taquila yang masih tersisa sedikit, lalu meletakkan gelas tersebut ketika sudah benar-benar tandas. Pandangan mata sayunya tidak lepas dari pemuda di hadapannya ini, waktu 10 menit lamanya mereka memilih untuk saling bungkam, sampai pada akhirnya Mas Yudis memberanikan diri bertutur kata.
 
“Sebenarnya apa yang sedang Anda rencanakan, Prof?” Sampai harus ikut terlibat sejauh ini, Mas Yudis belum bisa menebak pasti apa yang sebenarnya beliau inginkan. Kenapa sangat terobsesi dengan rumah Kasongan.
 
Mas Yudis heran lantaran beliau bisa bersikap tenang seperti air, padahal jelas sudah semalam Aryo mendengar percakapan mereka. Mas Yudis saja bingung bukan main dan memilih menghabiskan hari liburnya kali ini di luar rumah. Pokoknya menghindar dari jangkauan Aryo, rasanya dia sangat malu kalau harus bertemu dengan sang adik. Berbeda dengan Profesor Abdul yang masih berlagak manis, tadi malam pun masih mengajak Aryo berbincang-bincang. Seakan tidak ada beban sama sekali.
 
Alih-alih menangkis pertanyaan Mas Yudis, lelaki yang mengenakan piama ini malah bangkit dari tempatnya, kemudian berjalan ke arah laci dekat ranjang. Tidak lama setelah itu beliau kembali sembari menenteng amplop cokelat ukuran kertas folio.
 
Profesor Abdul menyerahkan amplop tersebut kepada Mas Yudis, lelaki dari dusun Kemusuk ini agak mendongak lantaran posisi Profesor Abdul yang tengah berdiri di depannya. Mau tidak mau dengan ekspresi bingung dia mengambil alih benda tersebut dari tangan Profesor Abdul.
 
“Bukalah, kamu akan tahu isinya,” pinta Profesor Abdul sambil kembali mendudukkan diri. Mengawasi pergerakan Mas Yudis yang masih ragu-ragu mengiyakan perintahnya, Profesor Abdul kembali menuangkan taquila ke dalam gelas, tetapi tidak menenggak dibiarkan tergeletak di meja begitu saja.
 
Selang beberapa detik setelah membuka amplop tersebut, aliran darah dalam tubuh Mas Yudis berdesir kencang. Lima lembar foto yang cukup menarik atensi pemuda dengan kaus oblong merah cabai ini. Potret berisi jam casio model kalkulator, arca Dwarapala, dan sebuah tabung berukuran besar malah tak dihiraukannya.
 
“Sebagai guru sejarah kamu tentu tahu benda-benda apa itu,” celetuk Profesor Abdul di tengah-tengah Mas Yudis mengamati satu persatu foto dari dalam amplop cokelat itu.
 
“Uang emas dan logam yang besar kemungkinan dipakai pada masa kerajaan Kediri, tombak, tembikar, piring emas.” Mas Yudis menjeda kalimatnya, lalu mengarahkan pandangan menatap wajah Profesor Abdul. “Apakah ini semua hasil dari ekskavasi Anda, Prof?”
 
Profesor Abdul cepat-cepat menggeleng, alis Mas Yudis saling bertaut. “Bukan, benda-benda kuna itu tersimpan di tempat rahasia yang ada di rumah Kasongan. Bapakmu dan Aryo tahu tempatnya, benda-benda tersebut milik Ayah saya. Tidak ada salahnya bukan kalau ingin mengambil yang seharusnya sudah menjadi hak saya.”
 
Walaupun tidak mengerti arah bicara beliau, Mas Yudis tidak memperlihatkan respons tersebut. Serta tidak mau tahu menahu perkara yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupannya di masa mendatang.
 
Memang Mas Yudis tidak pernah tahu kalau rumah Kasongan ternyata menyimpan misteri sejarah, bahkan sejak dulu memang tidak pernah tertarik akan hal-hal seperti itu. Tentang kamar rahasia yang diwariskan oleh Bapak saja dia tidak acuh.
 
Daripada itu Mas Yudis malah melontarkan pertanyaan dengan intonasi yang terdengar sinis. “Dengan membunuh Bapak? Di depan mata saya sendiri? Itu cara Anda mengambil hak?”
 
Secepat kilat Profesor Abdul menyahut dengan nada santai, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Dada Mas Yudis kian bergemuruh melihat moncong pemuda di depannya ini koar-koar amat kurang ajar. “Sebenarnya, Gunandi tidak akan mati andai kata tetap bungkam. Seharusnya hari itu kamu tidak mengikuti John.”
 
“Lantas, Anda mau memojokkan saya? Begitu?”
 
Mas Yudis melempar semua foto dalam genggamannya ke meja, hingga kertas-kertas itu berantakkan dan berceceran ada yang terbang ke bawah sofa juga.
 
Sembari beranjak bangkit, Mas Yudis menerangkan. “Saya tidak peduli kalau harus berhadapan dengan mereka, bahkan saya tidak takut apabila dituduh sebagai kaki tangan Anda atas kematian Bapak. Satu hal yang harus Anda ingat, saya lebih baik mati dibandingkan harus bertekuk lutut dengan orang macam Anda. Saya tidak akan pernah sudi!”
 
Profesor Abdul agak jengkel, belum pernah sebelumnya ada orang yang berani berbicara lancang seperti ini. Terlebih yang baru saja berkoar-koar adalah Mas Yudis, anak angkat Bapak yang sangat tidak tahu diri. Bagi Profesor Abdul, Mas Yudis tidak akan menjadi seperti sekarang kalau dulu Ibu tidak kekeh mengambilnya sebagai anak. Malah paling sudah mati karena kelaparan. Walaupun dari luar tampang beliau tampak tenang, tetapi sebenarnya hatinya mengumbar sumpah serapah teruntuk Mas Yudis.
 
Setelah itu Mas Yudis segera menarik diri. Ada senyum sinis di sudut mulut Mas Yudis ketika melangkah di depan Profesor Abdul.
 
Profesor Abdul tidak mau membuang waktu.
 
“Kamu sudah terlanjur basah, kalaupun memilih mundur saya tidak bisa menjamin nasibmu bisa saja seperti Gunandi.”
 
Mas Yudis terlonjak. Sekonyong-konyong kedua kakinya lemas seperti tidak kuat lagi menopang beban tubuhnya sendiri.
 
“Anda sedang mengancam saya?” sahut Mas Yudis tanpa berkenan membalikkan badan. Sangat tidak sopan lantaran sengaja memunggungi lelaki yang saat ini tengah berdiri tegak di belakangnya dengan raut berapi-api.
 
Kontan Profesor Abdul tertawa. “Sama sekali tidak. Itu bukan ancaman atau peringatan, tetapi perintah.”
 
Dengan perasaan sungguh tidak nyaman itu Mas Yudis menyahut dengan bola mata yang membelalak sempurna saat berbalik badan, membuat lelaki tua ini tersenyum penuh kemenangan dalam benak.
 
“Atas dasar apa Anda memberi perintah seperti itu kepada saya?”
 
Ucapan Mas Yudis membikin pandangan Profesor Abdul menjelajah setiap sudut ruangan dengan tajam, layaknya ada gerombolan api membara dari kedua bola mata tuanya. Beliau tahu Mas Yudis belum menyelesaikan bicaranya terang-terangan mulutnya menerobos dan berseru amat lantang, guru muda ini pun diam seribu bahasa.
 
“Atau kamu mau, Aryo mengikuti jejak Bapakmu ke alam baka? Saya bisa melakukannya saat ini juga.”
 
Tidak menyangka kalimat tersebut dengan entengnya diluncurkan oleh lelaki tua tidak tahu diri ini. Mas Yudis menggeram menahan kesal. Sama sekali tidak menyesal karena telah mengikuti langkah sahabatnya, John, hari itu.
 
Tidak peduli harus berlagak tidak tahu menahu tentang kematian Bapak, padahal dia adalah saksi kunci dalam kasus tersebut. Mas Yudis hanya tidak menyangka lantaran harus ikut terseret sejauh ini. Ruang rahasia di Kasongan bukan menjadi ranahnya, kalaupun Profesor Abdul mau mengambil haknya tidak seharusnya memberi perintah demikian, bahkan sampai menghabisi nyawa Bapak.
 
Namun, saat nama Aryo disebut Mas Yudis gamang bagaikan sedang berjalan di persimpangan. Kalau terus berjalan lurus akan menemui sekelompok perampok lengkap dengan celurit dan pistol, kalau berbelok ke arah kiri akan menemui jurang terjal dan di bawahnya ada bongkahan batu amat runcing, berbelok ke arah kanan menemui tebing tinggi di bawahnya terdapat aliran sungai amat deras. Berbalik arah? Itu lebih parah karena bukan berhadapan dengan Profesor Abdul saja, melainkan para ular putih. Meskipun pilihan terakhir tidak terlalu mengambil risiko, tetapi Mas Yudis tahu bagaimana cara bermain orang-orang di belakang Profesor Abdul.
 
“Jadi, mau tidak mau kamu harus bersedia membantu saya mencari ruang rahasia itu.”
 
“Sadarlah. Anda sudah terlalu mabuk, Prof.”
 
Tidak menunggu respons lawan bicara setelah Mas Yudis melayangkan kalimat tersebut. Dengan sangat enteng dia bergegas meninggalkan kamar hotel yang tempo hari pernah dia sambangi bersama John.
 
“Keparat!” umpat Profesor Abdul ketika punggung Mas Yudis sudah menghilang dari pandangan.

The Last SecondWhere stories live. Discover now