[[ ꧑꧑ ; Banyu Abdi Sagara ]] ✅

30 14 0
                                    

SUATU gerak mencurigakan membikin ia memegangi halu senjatannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SUATU gerak mencurigakan membikin ia memegangi halu senjatannya. Ia angkat pandangannya ke tebing di samping kanannya, di atas sebuah batu berdiri seorang berkumis sekepal, berdestar hitam dan berpenutup dada hitam pula.
 
Pada tangannya ia membawa trisula. Ia tahu benar itu bukan trisula berkelahi, tapi untuk upacara keagamaan orang-orang Syiwa. Cawatnya berwarna cokelat dan nampak sudah tua. Terompah tapas dikenakan pada kakinya.
 
“Siapa yang kau cari, Akuwu Tumapel?” tegur orang berkumis sekepal itu.
 
“Siapa kau?” bentak kepala pasukan yang segera datang untuk melindungi Akuwu.
 
“Diam kau, prajurit. Tidakkah kau tahu aku sedang bicara dengan Akuwu Tumapel? Jangan terlalu dekat. Daging kalian bisa buyar di bawah seratus lima puluh mata tombak. Siapa kau cari Akuwu? Aku?”
 
Dari atas kudanya Tunggal Ametung menggerang.
 
“Kau! Borang, Arih-Arih, Santing. Melihat dari kekurangajaranmu, kaulah Borang.”
 
“Siapa kau?”
 
“Brahmana dari utara.”
 
“Tak ada tempat untuk brahmana di Tumapel—"
 
Sek, Mas, Kenapa tidak ada tempat untuk kaum brahmana di Tumapel?”
 
Mas Yudis semula hendak membuka mulut untuk melanjutkan cerita  novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer spontan mengancing mulut, lalu mengalihkan pandangan kepada bocah berpupil putih yang memiliki hidung seperti tomat. Banyu Abdi Sagara namanya.
 
Banyu membalas tatapan Mas Yudis sembari melayangkan ekspresi yang tampak menggemaskan seolah sepasang matanya sungguh bisa melihat ekspresinya jua dengan jelas.
 
Banyu merupakan cicit Mbah Gimbal yang terlahir kurang normal. Banyu lahir sebagai bayi prematur, kala itu berat badannya hanya mencapai 1,5 kilogram dan ukuran badannya nyaris setara dengan botol sirup marjan. Banyu harus diletakkan di dalam inkubator selama dua minggu, ketika dibawa pulang ke rumah harus selalu diberi botol berisi air panas di sisi kanan dan kiri selama empat puluh hari.
 
Cobaan Banyu tidak hanya sampai di situ saja, ketika umur enam belas bulan Banyu divonis oleh dokter menderita low vision. Keadaan di mana kedua mata Banyu mempunyai kemampuan penglihatan yang terbatas, tetapi tidak sepenuhnya buta. Sangat panjang kalau harus diceritakan, mungkin Mas Yudis akan menceritakan kapan-kapan.
 
Orang desa menyebut Banyu sebagai bayi emas, karena dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat sampai sekarang. Itu semua atas rahmat dari Gusti Allah yang memberikan kesehatan kepada Banyu, meskipun dikaruniai keterbatasan.
 
Setiap Sabtu Banyu ikut Mbah Gimbal ke Kasongan karena setiap Sabtu sore Mas Yudis akan membacakan cerita-cerita sejarah dari koleksi novelnya, kegiatan tersebut sudah berlangsung sejak satu tahun lalu dan atas permintaan Banyu sendiri. Dia malah tidak mau dibacakan cerita macam dongeng kancil nyolong timun, katanya cerita tersebut bisa dia dengar dari siapa saja dan baginya cerita tersebut sudah tidak ngetren lagi.
 
Sejauh ini sudah ada tiga novel dari pengarang yang berbeda mengenai sejarah Nusantara yang sudah dibacakan oleh Mas Yudis, hebatnya bocah itu memiliki ingatan yang tajam serta detail. Bisa dikatakan kalau Banyu diminta untuk kembali menjelaskan dia bagaikan mesin fotocopy dari setiap kata yang terlontar dari moncong Mas Yudis.
 
Lamunan Mas Yudis tersadar ketika Banyu kembali melontarkan pertanyaan yang sama sembari mengguncang lengannya dengan pelan. Tiada henti tanpa mengagumi Banyu, meskipun memiliki keterbatasan fisik rasa haus untuk terus belajar dan menggali pengetahuan yang belum dia ketahui semakin hari kian menggebu-gebu padahal usianya baru menginjak tahun ke empat, tetapi antusias untuk memenuhi ketidaktahuan tentang sejarah sudah diasah sejak dini, bahkan mengalahkan semangat belajar murid didiknya yang sudah mengenyam bangku SMA.
 
Rasa terkejut menggerogoti batin Mas Yudis karena seperti biasa Banyu akan menyela di tengah cerita ketika ada sesuatu hal yang menyentil indra pendengaran. Banyu sontak tersenyum simpul membuat Mas Yudis mengerutkan dahi. Wajah Banyu tampak manis kalau tersenyum seperti itu apalagi lesung pipi di sebelah kiri membuat bocah itu semakin tampak menawan.
 
“Bisakah Mas Yudis menjelaskan barang sedikit saja. Nanti setelah itu baru dilanjut lagi membaca cerita.” Gaya bicaranya bukan seperti bocah empat tahun, kalau sedang mengobrol dengan Banyu rasanya Mas Yudis sedang mengobrol dengan pemuda seusia Aryo.
 
Giliran Mas Yudis yang tersenyum lebar memperlihatkan susunan gigi yang rapi, terdapat gigi ginsul di sebelah kanan. Mas Yudis meminta Banyu agar duduk di pangkuannya saja sontak bocah berambut pirang itu tersenyum girang.
 
“Jadi, mengapa tidak ada tempat bagi kaum brahmana di Tumapel itu maksudnya bukan berarti tidak ada kaum brahmana di sana, tetapi sejak Kadiri di bawah kepemimpinan Baginda Sri Kertajaya sebagian hak-hak kaum brahmana dicabut, hal tersebut dilakukan karena raja khawatir kalau kaum brahmana diberi tempat secara penuh mereka akan ikut campur dalam urusan politik kerajaan. Raja takut posisinya terancam  kalau sampai melibatkan kaum brahmana. Karena pada masa itu kaum brahmana sangat dihormati kedudukannya.”
 
“Karena keputusan tersebut banyak kaum brahmana yang meninggalkan Kadiri. Mereka berbondong-bondong mencari tempat tinggal baru karena merasa sakit hati dengan keputusan raja, mereka menyebar ke wilayah aliran Kali Brantas hingga Ujung Galuh.”
 
Mas Yudis terdiam tatkala menyadari pipi Banyu sekonyong-konyong basah oleh air mata. Pemuda itu seketika panik karena Banyu mendadak menangis. Tampak mata putihnya itu siap untuk kembali meneteskan cairan mata dari kelenjar yang diproduksi oleh bagian lakrimasi itu. “Lho, kamu kenapa, Nyu, kok malah menangis, tho?” katanya sembari mengusap air mata Banyu menggunakan punggung tangan.
 
Sontak Banyu menggeleng, menyingkirkan tangan Mas Yudis yang tengah bersiap menyentuh pipinya lagi. Bocah itu malah tersenyum menampilkan deretan gigi yang tampak mobrak-mabrik. “Saya tidak apa-apa, Mas Yudis, hanya terharu mengingat sejarah kerajaan Kadiri yang harus berakhir pada perang saudara, mungkin hal itu yang menyebabkan Baginda Sri Kertajaya takut kalau kaum brahmana ikut andil urusan di istana, meskipun pada akhirnya perang harus terjadi lagi ketika Ken Angrok memberontak dan perang itu tidak lepas dari dukungan kaum brahmana yang sakit hati atas tindakan Sri Kertajaya di masa lalu terhadap golongan mereka.”
 
Menakjubkan.

The Last SecondWhere stories live. Discover now