[[ ꧒꧙ : Asatya]] ✅

32 8 2
                                    

29. BOHONG.

Bagian ini lebih dominan ke narasi. Mohon lebih bijak lagi dalam memberi tanggapan ❣

           PETRICHOR menguar di udara, Aryo sangat suka dengan bau dari partikel tersebut tidak mengganggu dan sangat menenteramkan jiwa, padahal hujan deras disertai angin kencang sudah berakhir lima menit lalu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

 
          PETRICHOR menguar di udara, Aryo sangat suka dengan bau dari partikel tersebut tidak mengganggu dan sangat menenteramkan jiwa, padahal hujan deras disertai angin kencang sudah berakhir lima menit lalu.
 
            Siang itu seperti biasa setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di Kasongan, lelaki dengan postur tinggi tegap itu segera pergi ke ladang jagung. Sekadar mencari angin atau melihat apakah ada jagung yang sudah siap dipanen atau belum. Siang itu Mbah Gimbal tidak pergi ke ladang seorang diri sekonyong-konyong Aryo merengek ingin ikut, katanya mau memetik jagung andai kata sudah ada yang siap panen.
 
            Akan tetapi, saat tiba di tempat Aryo malah rebahan dengan posisi terlentang karena capek padahal dia hanya duduk manis membonceng pada sepeda ontel yang dikayuh Mbah Gimbal. Kakek itu hanya geleng-geleng menengok kelakuan lelaki yang sudah dianggapnya sebagai cucu. Mbah Gimbal mengitari area kebun jagung sementara Aryo menunggu di gubuk.
 
Ketika dua matanya ingin merem, tahu-tahu ada suara embusan napas megap-megap seperti orang  habis lari mengelilingi lapangan Gelora Bung Karno di saat matahari sedang terik-teriknya. Aryo berusaha tak mengindahkan situasi tersebut karena angin sepoi-sepoi ini sangat memanjakan tubuh, mata ingin sekali memejam menikmati situasi yang begitu damai. Namun, indra pendengaran kembali terusik saat samar-samar suara halus nan merdu begitu mendayu-dayu terdengar amat sangat syahdu.
 
            “Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani setya budya pengekese dur angkara.
 
            Aryo ingat betul itu merupakan lirik tembang macapat pocung. Bapak sering menyanyikan tembang tersebut sebagai pengantar tidur kalau dia atau Mas Yudis sedang mengalami insomnia. Yang membuat janggal adalah lantaran suara tersebut bukan milik Bapak maupun Mbah Gimbal dengan sangat terpaksa Aryo membuka mata, lalu beranjak dari posisi semula. Dia terkejut karena melihat sesosok asing. Lelaki tua dengan postur tubuh seperti Mbah Gimbal. Dahi Aryo tampak mengerut menelisik busana yang dipakai lelaki tua di hadapannya ini, dia mengenakan ihram seperti busana laki-laki apabila sedang melakukan ibadah haji di Tanah Suci.
 
            Dari mana datangnya lelaki tua ini padahal Aryo ingat belum lama merebahkan diri, atau jangan-jangan Aryo sedang berhalusinasi.
 
            “Tembang macapat yang mendeskripsikan tentang perjalanan hidup manusia paling akhir di dunia,” kata Si Kakek tanpa memandang ke arah Aryo. Jelas Aryo semakin bingung lantaran dia sedang tidak bermimpi. “Anak zaman sekarang mana tahu tembang macapat, padahal itu merupakan warisan budaya bangsa yang harus mesti kudu dilestarikan,” sambungnya. Kali ini berbicara seraya menatap wajah Aryo yang sedang terlihat seperti kambing congek.
 
            Sontak saja Aryo tidak terima dengan pendapat lelaki tua tidak dikenalnya ini. “Anda salah. Tidak semua anak zaman sekarang memiliki sifat seperti itu, termasuk saya,” balasnya dengan nada menggebu-gebu. “Saya tahu tembang macapat ada 11 macam, masing-masing menceritakan perjalanan manusia dari alam kandungan sampai meninggal dunia dan menjadi pocong.”
 
            Lelaki tua itu tertawa menyiratkan hasrat rasa bangga mendengar jawaban Aryo. Sikap tidak mau kalahnya mirip dengannya semasa masih belia dulu. “Bagus kalau kamu sudah tahu, tetapi sekadar tahu saja tidak cukup. Kamu harus benar-benar paham maknanya bukan sekadar tahu sejarahnya saja.”
 
            Aryo tidak suka basa-basi apalagi dengan orang yang sama sekali tidak dia kenal sebelumnya. “Sebenarnya, Anda ini siapa? Kenapa tiba-tiba ada di sini.”
 
            “Loh, ini rumah saya. Setiap hari saya di sini kadang di Kasongan.” Lelaki tua itu berkata sangat santai seperti tidak menopang beban apa pun.
 
            Melongo Aryo, bahkan mulutnya sampai menganga lebar. Rasanya sangat aneh kalau tinggal di gubuk ini sementara ladang jagung dan ladang yang menjulang luas itu milik Mbah Gimbal dan keluarga Bapak. Bukan hanya penampilannya yang aneh, tetapi sikapnya juga demikian.
 
            Lagi-lagi Si Kakek berceloteh, membicarakan kalau beliau ini amat sangat mengenal sosok Mbah Gimbal. Menceritakan semasa masih kecil dulu suka mandi di kali bareng-bareng, berangkat sekolah berjalan kaki sembari menenteng sepatu karena solnya sudah jebol. Lantas Aryo hanya celingak-celinguk karena Mbah Gimbal tak kunjung datang, tidak tertarik dengan ucapan si lelaki tua. Apa-apaan tidak saling mengenal sudah bercerita panjang lebar. Tidak jelas.
 
            “Saya sama Si Gimbal dulunya sahabat karib,” ujar Si Kakek lagi, kali ini sembari mengaitkan dua jari kelingkingnya seolah sedang membuat janji. Aryo mendengkus, benar-benar tidak menarik perhatiannya sedikit pun.
 
            Tiba-tiba Si Kakek berkata lagi. “Sepertinya kehadiran saya sangat mengusik kamu.” Nada bicaranya terdengar amat lesu. “Baiklah lebih baik saya pergi saja dari sini. Lain kali kita akan bertemu lagi.” Lelaki tua itu bangkit, Aryo bergegas bergerak kemudian membantu tubuh renta itu yang sudah tidak sinkron menopang beban tubuhnya sendiri. Lelaki tua itu tersenyum sembari mengelus beberapa kali puncak kepala Aryo. Selang beberapa detik, dia berujar, “Hati-hati dengan orang yang gemar menirukan suara-suara, baik manusia maupun hewan. Bukankah itu sangat aneh karena terkadang kemampuan malah digunakan untuk hal tidak masuk akal.” Setelahnya lelaki tua membalikkan badan lalu berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya meninggalkan area gubuk.
 
            Aryo membeku di tempat tidak langsung bisa mengerti apa maksudnya. Ketika otak sudah selaras dengan logika barulah sadar kalau ucapan tersebut mengandung sebuah makna. Walaupun fisik terlihat sudah tua, tetapi cara berjalannya amatlah cepat Aryo sudah tidak melihat keberadaan lelaki tua itu padahal belum lama dia menunduk.
 
            Saat berusaha mengejar dan mencari keberadaannya, tahu-tahu suara cemeti dewa yang amat menggelegar memenuhi gendang telinga siapa saja. Aryo sampai meringkuk saking kagetnya, setelah itu angin berembus dengan kencang membuat tubuh menggigil seketika.
 
            Tubuh Aryo macam terpelanting jauh ke udara, kepalanya sangat berat sampai penglihatan temaram. Ada suatu gerak dengan kecepatan melebihi kilat menariknya cepat-cepat, bahkan sampai tidak bisa bernapas dalam beberapa detik. Aryo kembali tersadar kalau sekarang ini sedang duduk di gazebo rumah Kemusuk, tatapannya kosong serta ling-lung bak dibangunkan secara paksa dari tidur singkatnya.
 
            Kepala Aryo sangat pusing dua hari ini sampai tidak mengindahkan kehadiran Banyu dan Mas Yudis. Baginya, apa yang Bapak perlihatkan malah semakin menambah kegelisahan diri. Aryo penasaran sebenarnya apa yang sudah Hassan lakukan di masa lalu, benarkah Eyang Kakung berhasil melakukan perjalanan waktu atau ada hal lain yang belum Aryo tahu. Benda-benda kuna yang Aryo lihat tidak sepenuhnya hasil pencurian seperti yang dikatakan Bapak, tetapi Bapak masih enggan untuk menceritakan semuanya kepada Aryo. Lagi-lagi dia harus berhadapan dengan perkara pelik.
 
Apa yang baru saja terjadi bukan mimpi, tetapi merupakan sepenggal ingatannya di masa lalu, lelaki itu adalah dirinya ketika masih bocah. Peristiwa pergi ke ladang jagung bersama Mbah Gimbal pun pernah dia alami. Aryo tidak mungkin lupa, itu momen dirinya yang bertemu dengan sosok Hassan. Aryo ingat betul wajah lelaki tua itu, mirip seperti foto Hassan yang terpajang di buku Ya-sin. Siapa gerangan orang yang dimaksud oleh Hassan. Apakah Mas Yudis yang memiliki kemampuan untuk menirukan suara burung atau ada orang lain?
 
Ah, kenapa ketidakmasuk akalan selalu menghampiri hidupnya.
 
            Sekilas Aryo tidak mau berburuk sangka. Tidak mungkin kakak tirinya tega berbuat curang apalagi menjadi duri dalam daging keluarga sendiri, untuk apa Mas Yudis melakukan itu semua terlebih kang masnya itu tidak pernah tertarik dengan buku harian peninggalan Eyang Kakung. Bahkan sempat tidak acuh saat Aryo membahas perjalanan waktu beberapa tahun lalu. Sangat tidak mungkin orang tersebut adalah Mas Yudis.
 
            Aryo menengadah memandang langit yang masih tampak cerah padahal sudah pukul lima sore. Ada yang aneh dengan pemandangan kali ini lantaran gagak terlihat terbang menghiasi cakrawala, ada 10 gagak yang terbang beriring-iringan. Momentum tersebut tidak biasa terjadi. Lagi, Mas Yudis menirukan suara gagak yang membuat Banyu tertawa terbahak-bahak. Suara tawa tersebut justru menambah perasaan gelisah sampai campur aduk dalam benak Aryo.
 
            Kemampuan Mas Yudis memang patut diacungi sepuluh jempol lantaran suara yang dihasilkan sama persis seperti gagak-gagak di atas sana. Tidak tahu bagaimana cerita awal mula Mas Yudis bisa memiliki kemampuan tersebut, karena semua terbongkar begitu saja secara alami.
 
            Kalau diingat-ingat lagi sepertinya mimpi yang kadang menghampiri itu bukan sebatas mimpi belaka, tetapi berasal dari ingatan alam bawah sadarnya. Sebagian dari mimpi aneh tersebut Aryo memang pernah mengalaminya, tetapi bagaimana mungkin?
 
            Banyu berteriak memanggil nama Aryo untuk ikut bermain. Namun, Aryo menolak dengan menggeleng pelan lalu berkata kalau dia mau duduk di sini saja. Ketika Mas Yudis membawa Banyu ke kolam ikan, Aryo kembali memikirkan hal-hal tidak wajar itu.
 
            “Aryo sudah saatnya untukmu kembali.”
 
            Aryo mengedarkan pandangan ke penjuru arah, tetapi tidak ada siapa-siapa. Mas Yudis masih asyik bermain dengan Banyu tidak mungkin suara tersebut berasal salah satu dari mereka, di gazebo ini hanya ada mereka bertiga. Suara yang baru saja dia dengar tidaklah asing. Namun, mendadak ingatan menjadi menumpul karena tidak bisa mengingat dengan baik.
 
            Aryo berpikir, mungkin dia salah mendengar. Pasalnya pening kembali melanda rasanya malah seperti mau pecah, Aryo terpaksa beranjak dari tempat duduknya dengan berwudu mungkin pusing akan segera hilang, mengingat sebentar lagi azan magrib pasti bersahut-sahutan. Pikirannya terlalu diforsir untuk hal-hal tidak masuk akal, ruang bawah tanah, harta incaran para ular putih, dan perkara Profesor Abdul. Sialnya, dia harus menanggung beban itu seorang diri karena pesan Bapak yang tidak boleh memberitahu siapa pun, meski mereka adalah keluarga sendiri.
 
            Tidak lama setelah itu Banyu dan Mas Yudis menyusul langkah Aryo yang sudah terlebih dahulu masuk ke rumah. Banyu tersenyum gembira lantaran berhasil menggali jahe dan kunyit katanya mau dibuat empon-empon, di dapur Ibu sudah ada serai, temulawak, dan gula batu. Sehabis salat magrib dan mengaji Banyu akan membuat minuman tersebut bersama Aryo dan Mas Yudis.
 
 
*
 

The Last SecondWhere stories live. Discover now