[[ ꧓꧒ ; Kasunyatan Kang Ala? ]]✅

26 7 0
                                    

32. Kasunyatan Kang Ala?

 MAS Yudis menyeka wajah, tidak lama setelahnya dia bertutur kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


 
MAS Yudis menyeka wajah, tidak lama setelahnya dia bertutur kata. “Profesor Abdul sudah menghubungi kamu, tetapi tidak ada respons. Untung saja saya sempat mengecek ponsel tadi sore beliau memberi kabar kalau akan terbang ke Jogja.”
 
Mas  Yudis membuka suara setelah Aryo melontarkan beberapa patah kata tentang bagaimana bisa Profesor Abdul akan segera tiba di Tanah Air. Padahal Aryo tidak mendapat kabar apa-apa dari beliau nyaris dua minggu ini, terakhir kali berkomunikasi saat beliau memberitahu kalau sudah sampai di Singapura.
 
Sekarang ini mereka sedang berdiri saling berhadap-hadapan di gazebo sisi timur. Setelah memberitahu informasi itu Aryo buru-buru mencari keberadaan ponselnya, setelah ketemu dia meminta agar Pakde Satya segera mengirimkan video yang sempat diperlihatkannya tadi. Begitu menerima pesan tersebut Aryo langsung mengajak Mas Yudis menjauh dari jangkauan orang-orang. Halaman belakang rumah ini cukup aman untuk mengutarakan kegelisahan yang sedang dia rasakan, saat ini orang-orang yang tidak memiliki kepentingan khusus tidak akan mungkin datang ke tempat ini, terlebih ini sudah malam.
 
“Saya tidak sempat memegang HP, Mas. Saya hanya fokus dengan acara hari ini, terlebih khawatir dengan keadaan Ibu.”
 
Bukan jawaban seperti itu yang Mas Yudis harapkan. Menariknya ke tempat ini bukannya buru-buru berangkat ke bandara untuk menjemput Profesor Abdul tentu ada sebuah alasan atau perkara genting karena dia sudah paham betul tabiat adik tirinya ini.
 
“Apa yang ingin kamu katakan, Ar? Kamu terlihat sangat gelisah.”
 
Aryo mengusap tengkuk beberapa kali. Mondar-mandir seperti itik kehilangan induk. Mas Yudis gerah melihatnya, lalu meminta Aryo agar menghentikan pergerakan konyol tersebut. “Ini tentang Profesor Abdul, Mas.” Aryo berkata seraya menatap wajah Mas Yudis lekat-lekat.
 
Alis Mas Yudis menukik tajam bersamaan dengan kokok ayam cemani dari dalam kandang. Cahaya yang agak temaram membuat Aryo tidak bisa melihat jelas raut dari Mas Yudis atas respons ucapannya barusan. “Memangnya ada apa dengan Profesor Abdul?” Suaranya terdengar sangat datar.
 
Bukan menyahut, Aryo justru melakukan gerakan seperti yang dilakukan Pakde Satya beberapa saat lalu. Bedanya Mas Yudis tidak dibiarkan mengambil alih ponselnya. “Mas Yudis tonton saja rekaman ini.”
 
Mas Yudis mendengkus. Menolak mengikuti permintaan Aryo dengan menepis ponselnya karena selain tidak tertarik juga menyilaukan mata. “Kita sudah tidak memiliki banyak waktu. Jangan membuat Profesor Abdul menunggu terlalu lama.”
 
“Lihat dulu, Mas.”
 
Mas Yudis mengembuskan napas panjang, menepis lagi ponsel dari hadapannya ketika Aryo bertindak memaksa. Baginya,  menonton video bukan perkara penting hal itu bisa dilakukan lain waktu atau nanti setelah pulang menjemput Profesor Abdul. “Kalau kamu tidak mau ikut, tidak apa-apa. Saya bisa pergi sendiri.” Setelah itu Mas Yudis bermaksud ingin mengambil ancang-ancang.
 
“Profesor Abdul sudah membohongi kita,” seru Aryo. Kontan Mas Yudis yang ingin berbalik badan meninggalkan area gazebo tidak jadi melakukan pergerakan tersebut. Tatapan tidak percaya sekaligus bingung itu menjadi jalan bagi Aryo untuk melanjutkan kalimatnya yang belum rampung. “Saya tidak tahu alasannya, tetapi Profesor Abdul sudah tiba di Jakarta dari 3 hari lalu. Aneh rasanya kalau beliau mengabarkan baru terbang dari Singapura.”
 
“Kamu bicara apa, si? Bukankah beliau memang berada di Singapura setelah kalian liburan ke Malang.”
 
“Mangkanya kamu lihat dulu isi dari video ini, Mas.”
 
Mau tidak mau Mas Yudis menuruti perkataan Aryo. Dengan pergerakan lesu dialihkan pandangan matanya ke dalam ponsel tersebut. Ekspresinya sama persis seperti Aryo ketika baru pertama kali melihat rekaman itu, rasa bingung juga menggerogoti benak Mas Yudis. Meskipun tidak tahu apa yang sedang Aryo pikirkan, tetapi apa yang dikatakan adik tirinya itu benar kalau Profesor Abdul telah berbohong.
 
“Nanti akan saya jelaskan lebih detail. Pokoknya bersikap biasa saja seolah kita tidak tahu apa-apa.”
 
Mas Yudis membuang muka ke arah kanan sebelum membalas ucapan Aryo.
 
“Siapa saja yang sudah melihat rekaman ini.”
 
“Baru saya, kamu, dan Pakde Satya. Sekarang ini lebih baik kita fokus dengan kasus Bapak. Profesor Abdul biarkan menjadi urusan saya.”
 
“Kamu tahu sesuatu tentang Profesor Abdul, Ar?”
 
“Ceritanya panjang, Mas. Saya pun bingung harus memulai dari mana. Sudah saya katakan kapan-kapan akan  dijelaskan.”
 
Mas Yudis mengangguk tanda mengerti. Tidak ada yang mereka bahas setelah itu dan Aryo mengingatkan agar Mas Yudis tidak memberitahu siapa-siapa mengenai perkara ini, jangan sampai orang lain mendengar sebelum Aryo menemukan kejelasan pasti hal tersebut juga Aryo sampaikan kepada Pakde Satya sebelumnya. Semoga kakak dari Bapak itu sungguh-sungguh bersedia untuk diajak bekerja sama. Walaupun Aryo belum bisa sepenuhnya memercayai siapa pun meski bukti sudah ada di depan mata. Mereka pun segera bergegas pergi ke bandara karena Profesor Abdul kembali memberi kabar kepada Mas Yudis.
 
Waktu berganti begitu cepat. Siang harinya tamu yang datang melayat semakin banyak, mereka yang datang merupakan keluarga dan kerabat jauh, teman-teman sekolah Bapak dan Ibu serta pelanggan dan kolega Bapak dari luar kota. Kondisi Ibu sudah membaik meski masih terlihat pucat. Menyambut para tamu pun dipaksakan untuk mengulas senyum berusaha tidak menampilkan raut kesedihan. Profesor Abdul sedang berbincang dengan Wibisana yang baru saja tiba bersama Ahmad dan Mas Ibra, tidak lama setelah itu Mbah Gimbal hadir di tengah-tengah mereka.
 
Sebelumnya Aryo sudah bercengkerama dengan Mas Ibra guna melepas rindu. Setelahnya Aryo memilih untuk kembali mengasingkan diri.
 
Aryo sendiri duduk di ruang tamu seraya mengamati aktivitas orang-orang di luar dari jendela yang memang dibiarkan terbuka lebar, ruang tamu terlihat lenggang tidak seperti kemarin yang begitu penuh dan sesak, kalaupun ada orang lain mereka hanya mondar-mandir keluar masuk untuk mengambil barang atau sekadar lewat. Tadinya dia ditemani oleh Banyu, tetapi bocah ajaib itu sekarang sedang pergi bersama Nada ke rumah Poniyem.
 
Melihat Profesor Abdul yang bisa tertawa lepas tanpa beban itu membuat pikiran Aryo merajalela, padahal Aryo ingat betul tadi pagi beliau menangis tersedu-sedu saat sedang berziarah ke makam Bapak. Ah, mungkin senyum lebarnya itu sekadar formalitas saja karena tidak enak menampilkan muka masam ketika menyambut para tamu. Pikir Aryo demikian.
 
Akan tetapi, gulat amarah jelas terpatri andai kata ada seseorang yang berkenan suka rela melonggok ke dalam dasar hatinya. Kecurigaannya terhadap Profesor Abdul semakin menggebu-gebu, bahkan kata kecewa tidak cukup untuk mendeskripsikan perasaannya atas bagaimana bisa lelaki tua ini melakukan hal sejahat itu. Berani bermain api hanya untuk memuaskan nafsu para ular putih. Aryo pernah berpikir bagaimana kalau semua itu tidak benar, lantas apa yang harus dia lakukan.
 
Tadi malam pun saat dalam perjalanan dari bandara mereka lebih banyak mengancing mulut, dibandingkan membahas hal-hal acak. Aryo merasa enggan terlebih Profesor Abdul seperti sengaja membuat benteng agar mulutnya terus terkunci. Profesor Abdul memperlihatkan ekspresi sangat kelelahan berbeda dengan apa yang Aryo lihat siang ini, padahal sebenarnya ada banyak hal yang ingin dia katakan kepada sahabat mendiang Eyang Kakung itu.
 
“Wajah Profesor Abdul lama-lama bisa bolong kalau kamu pelototin terus, Ar!”
 
Suara Mas Yudis menggema memenuhi gendang telinga Aryo. Sontak lelaki itu memutar posisi ke arah kang masnya yang sudah mendudukkan diri di samping kirinya. “Saya tidak hanya memerhatikan Profesor Abdul saja, kok.”
 
“Kamu tidak pandai berbohong, Ar,” sela Mas Yudis cepat. Dia memandangi Aryo dengan tatapan menyelidik sementara Aryo membalasnya seolah dia baru saja melihat hantu. Tidak menyangka pergerakannya sedari tadi diamati oleh Mas Yudis. “Masih memikirkan soal rekaman video itu?”
 
Tidak mungkin Aryo memberitahu segala kegundahannya kepada Mas Yudis karena dia sendiri belum memiliki bukti kuat. Terlebih Aryo meragukan kepercayaan kakak tirinya ini, mengingat pesan Bapak saja untuk saat ini agar tidak membagi apa yang dia tahu kepada siapa pun, walaupun mereka adalah keluarga sendiri. Terlebih sikap Mas Yudis terlihat aneh belakangan ini.
 
Terdengar Aryo mendengkus panjang, tetapi suara embusan napasnya seperti orang yang habis berlari maraton. Seperti helaan napas kelelahan. “Menurut Mas Yudis saya harus bagaimana? Apa tanya langsung saja biar tidak berprasangka buruk terus seperti ini.”
 
“Saya rasa itu ide yang buruk,” balas Mas Yudis seraya bersedekap dada. “Bagaimana kalau beliau tersinggung. Biarkan saja sampai beliau sendiri yang memulai. Toh, seperti yang pernah kamu bilang kalau beliau lelaki yang sangat baik. Tidak mungkin berbohong dan berbuat hal mengerikan di belakang kita semua.”
 
Apa yang dikatakan Mas Yudis ada benarnya bagaimana kalau sebenarnya Profesor Abdul tidak berniat berbohong atau ada alasan lain mengenai hal itu, tetapi andai saja Mas Yudis tahu beberapa kebohongan yang pernah Profesor Abdul lakukan selama ini, mungkin moncongnya tidak akan enteng mengungkapkan kalimat seperti tadi. Sejenak Aryo berpikir apakah lebih baik dia katakan saja kepada Mas Yudis, tetapi dia tidak memiliki nyali yang cukup untuk menceritakan semua itu.
 
Aryo teringat akan pesan Pakde Satya agar perihal kebohongan Profesor Abdul jangan sampai banyak orang yang tahu. Terlebih Mbah Gimbal juga sudah mengetahui sebuah fakta mengenai kebohongannya tentang Ahmad dan keluarganya. Sampai saat ini pun Aryo belum bisa menemukan jawaban mengenai teka-teki tersebut. Bapak sudah tidak ada padahal Aryo yakin Bapak pasti mengetahui sesuatu.
 
Terlebih Aryo masih sering memikirkan hal tidak masuk akal yang pernah dia alami selama liburan kemarin. Mas Yudis belum tahu cerita selengkapnya, mungkin hal tersebut yang membuat Mas Yudis beranggapan, jika Profesor Abdul adalah lelaki tua yang sangat baik sekali hatinya. Lain sisi Aryo tidak mungkin diam saja apalagi bukti sudah ada di depan mata, sikap Profesor Abdul juga mencurigakan beberapa waktu belakangan ini.
 
“Rasanya malah tidak enak kalau diam terus seperti ini.” Aryo kembali membuka suara. “Saya harus menanyakannya kepada beliau. Saya butuh penjelasan dari mulut beliau sendiri, kenapa harus berbohong seumpama memang sudah tiba di Jakarta beberapa hari lalu.”
 
Tahu-tahu Aryo bangkit dari tempat duduknya tanpa menunggu respons Mas Yudis terlebih dahulu, tetapi pergerakan tersebut terjeda karena Mas Yudis mencekal lengannya. Mas Yudis menggeleng pelan seraya menampilkan sebuah isyarat agar Aryo tidak melakukan hal tersebut. “Waktunya tidak tepat, Ar. Jangan sekarang. Kita semua sedang dalam suasana berkabung.”
 
Sebenarnya Aryo merasa tidak senang dengan jawaban tersebut, tetapi juga enggan kalau harus menanggapi. Mas Yudis memandangnya dengan sorot penuh harap, Aryo bisa merasakan ada hawa agak lain dari tatapan kang masnya kali ini. Aryo bukan hanya melihat sebuah jawaban dari pernyataannya, tetapi dia seolah bisa merasakan kalau sedang ada yang disembunyikan oleh Mas Yudis.
 
“Mas——“
 
“Mas Yudis.”
 
Seketika mulut Aryo mengancing, lalu menoleh ke sumber suara yang kemudian disusul oleh Mas Yudis——kepalanya menyembul dari sisi kiri lantaran sumber suara itu terhalang oleh tubuh Aryo. “Iya, Ay,” sahut Mas Yudis seraya menampilkan seutas senyum.
 
Ayana tampak heran karena kedua kakak beradik itu terlihat tegang saat menyadari kehadirannya. Sebenarnyalah dari arah luar sedari tadi Ayana sempat memerhatikan interaksi mereka, Ayana merasa mereka sedang membicarakan hal yang sangat serius tampak dari air muka keduanya yang lebih sering menampilkan aura ketegangan. “Mas Yudis ditimbali Ibu, disuruh keluar sebentar. Lalu Aryo disuruh ambil dandang di rumah Mbah Poniyem.” Sejujurnya bukan kalimat itu yang terlebih dahulu ingin Ayana lontarkan.
 
Sebelum Mas Yudis beringsut dari hadapan mereka untuk memenuhi panggilan Ibu, dia sempat berbisik kepada Aryo sekaligus memberi peringatan untuk kedua kali, bahwa jangan menanyakan perihal rekaman video yang diberikan Pakde Satya kepada Profesor Abul. Biarkan lelaki tua itu yang membuka mulutnya sendiri, meski Aryo tidak suka. Namun, dia hanya mengangguk pasrah begitu saja.
 
“Mas Yudis bilang apa?” Ayana bertanya sesaat setelah Mas Yudis menghilang dari pandangan mereka. Aryo menelan ludah susah payah karena bahunya dan Ayana saling menempel, bahkan embusan napasnya menggelikan lubang telinganya lantaran Ayana sedikit mendekatkan wajah ketika melontarkan pertanyaan tersebut.
 
Aryo berdehem seraya spontan menjaga jarak dari perempuan yang digadang-gadang akan menjadi calon istrinya ini. Ayana tidak menyadari respons tubuh Aryo yang sedang menahan salah tingkah setengah mati. “Ah, tidak bilang apa-apa. Mbak Aya kalau begitu saya ke rumah Mbah Poniyem dulu, ya. Atau Mbak Aya mau ikut?”
 
Ayana sontak menggeleng. “Tidak. Saya mau memenuhi panggilan alam dulu. Kamu sendiri berani ‘kan?”
 
“Berani ‘kan sudah besar ini.” Tampak senyum bak iklan pasta gigi setelah Aryo menimpali ucapan Ayana.
 
Ayana terkikik. Sebenarnya masih ingin mengobrol banyak dengan Aryo mengingat sejak pemuda ini kembali pulang kemari tidak banyak waktu bagi mereka untuk berduaan seperti ini. Semua disibukkan dengan urusan masing-masing sekaligus mengurus Ibu yang hari kemarin keadaannya benar-benar memprihatinkan.
 
Ayana sudah tidak lagi bisa menahan, tidak sempat membalas ucapan Aryo perempuan itu langsung buru-buru berlari ke belakang yang disambut oleh gelak tawa oleh Aryo. Dia meninggalkan ruang tamu dengan perasaan gelisah, mau bagaimanapun dia harus bisa mencuri waktu untuk bisa mengobrol dengan Profesor Abdul. Empat mata.
 
Rasanya hari ini waktu bergerak amat cepat, hingga tidak terasa malam kembali menyapa. Udara di bumi Kemusuk terasa menusuk-nusuk padahal musim kemarau sudah tiba, sampai malam seperti ini pun Aryo belum bisa menemui Profesor Abdul karena lelaki tua itu disibukkan dengan kehadiran para tamu, sempat berada di ruangan yang sama, tetapi tidak ada kesempatan untuk mengobrolkan hal penting beliau sekadar basa-basi saja dengan Aryo. Tamu yang datang untuk melayat Profesor Abdul banyak yang mengenal, sehingga mau tidak mau menemani walau sekadar untuk basa-basi belaka. Malah sekarang ini Aryo tidak melihat keberadaan Profesor Abdul sejak magrib tadi.
 
Saat tahlilan para perempuan sedang berlangsung Aryo dikejutkan dengan situasi di luar nalarnya. Tidak tahu mengapa seakan ada seseorang yang mendorong langkahnya untuk bergerak ke halaman belakang rumah, padahal sebenarnya tidak ada yang memintanya untuk melakukan hal tersebut. Betapa tercengangnya Aryo saat melihat Profesor Abdul dan Mas Yudis sedang bersitegang didekat kandang ayam. Ada sebuah sekat berupa tumpukan jerami dan rak-rak tempat menyimpan barang serta peralatan kandang milik Mas Yudis sebelum benar-benar memasuki area kandang.
 
Profesor Abdul dan Mas Yudis sedang berdiri berhadap-hadapan di dalam kandang ayam cemani. Aryo bisa melihat wajah mereka dari sela-sela rak meski tidak terlalu jelas lantaran pencahayaan yang remang-remang. Kendati jarak sedikit jauh suara mereka bisa terdengar jelas oleh Aryo.
 
Sekuat tenaga Aryo menenteramkan diri. “Anda yang membunuh Bapak, bukan? Kini semakin jelas terlihat belang Anda, Profesor Abdul,” kata Mas Yudis——suaranya terdengar parau sekaligus sinis.
 
Seharusnya kalimat tersebut meluncur dari bibir Profesor Abdul karena bagaimanapun Mas Yudis juga pengkhianat sesungguhnya. Selama ini Mas Yudis yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu sementara Profesor Abdul sebenarnya juga tidak berbeda jauh——Dia juga pengkhianat dan pembohong ulung.
 
 “Kamu dan saya tidak ada bedanya. Setelah Gunandi memberimu hati, tetapi kamu sebagai anak angkat justru berkhianat. Tidak sadar diri dan tidak tahu malu!”
 
Alih-alih langsung memberi balasan Mas Yudis justru terdiam——Mengunci mulut rapat-rapat beberapa saat. Bagaimanapun apa yang dikatakan Profesor Abdul ada benarnya dia pembohong ulung yang tega mengkhianati orang sebaik Bapak. Tidak bisa dia bayangkan bagaimana nasibnya sekarang andai kata dulu Bapak tidak mengambilnya sebagai anak.
 
Mas Yudis membalas tatapan Profesor Abdul yang meremehkan sekaligus sinis. “Anda tidak tahu apa-apa,” sahut Mas Yudis penuh percaya diri.
 
Bukan takut atau merasa terpojok Profesor Abdul justru tertawa. “Menyerahlah!” ujar lelaki tua itu penuh penekanan bola mata yang selalu memancarkan ketenangan kini terlihat berapi-api. “Jangan menjadi duri dalam daging keluargamu sendiri, jika tertangkap kamu tidak bisa kabur lagi.”
 
Edan!” umpat Mas Yudis lantang. “Anda pikir saya lelaki pengecut yang pandai melarikan diri?”
 
Profesor Abdul lantas memandang langsung ke jantung mata Mas Yudis, berjalan mendekat kemudian berbisik lirih—Mas Yudis sempat ingin bergerak mundur, tetapi langkahnya dicekal cepat oleh Profesor Abdul. Mas Yudis membelalak sempurna sesaat lelaki tua itu membisikkan beberapa patah kata, anak angkat Bapak ini diam membeku tidak lama setelah itu Profesor Abdul beringsut pergi dari tempat tersebut dengan berjalan mengambil arah berlawanan. Sengaja menjauh untuk tidak melewati persembunyian Aryo.
 
Mas Yudis tegak tersentak di tempat berharap semoga saja Aryo tidak mendengar perbincangannya dengan Profesor Abdul. Terlebih Mas Yudis menyesal setengah mati karena belum menyampaikan inti pertemuan diam-diam mereka, kalau Pakde Satya memiliki sebuah bukti dan bukti tersebut sudah diketahui oleh Aryo. Jantung Profesor Abdul tidak akan aman kalau mendengar berita tersebut, andai kata Mas Yudis lebih cepat mungkin Profesor Abdul tidak akan meremehkannya apalagi mengucapkan kalimat yang cukup membuat ginjalnya tersentil jauh.
 
Dari tempatnya Aryo menatap jerami dengan pandangan tidak percaya. Berharap apa yang baru saja dia dengar hanya mimpi dan seseorang segera membangunkannya. Namun, sepertinya semua ini bukan ilusi jelas ketika tubuh Profesor Abdul mulai menghilang dari pandangan, serta suara gagak kembali menggelegar padahal semua orang pikir gagak-gagak itu tidak pernah kembali lagi.


Terima kasih kepada Kak jendelaa_kamar yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca dan memberi dukungan cerita The Last Second sampai sejauh ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terima kasih kepada Kak jendelaa_kamar yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca dan memberi dukungan cerita The Last Second sampai sejauh ini. Betah-betah ya, Kak. Hehe

The Last SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang