[[꧓꧑ ; H+1 ]]✅

23 5 7
                                    

        SEMUA orang yang mengenal keluarga Bapak  tidak menyangka, kalau Bapak meninggal dengan cara tragis seperti ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

        SEMUA orang yang mengenal keluarga Bapak  tidak menyangka, kalau Bapak meninggal dengan cara tragis seperti ini. Ayana, orang pertama yang menemukan jasad Bapak sudah tergeletak kaku serta bersimbah darah di dalam kamar rahasia di Kasongan, untuk kali pertama perempuan itu bisa melihat isi dalam kamar tersebut. Hari ini kebetulan para pengrajin diliburkan karena sebelumnya mereka bekerja lembur siang malam untuk mengejar waktu tenggat pesanan gerabah para pelanggan.
 
Perempuan dengan bibir tebal ini terkejut bukan main ketika melihat pintu utama dalam keadaan tidak terkunci, lebih parahnya lagi sudah terbobol seperti dibuka secara paksa menggunakan suatu benda. Lebih mengejutkan lagi adalah kondisi dalam rumah yang cukup berantakan, tetapi dia dapat menebak kalau kekacauan ini memang disengaja bukan terjadi saat keadaan panik atau sedang mencari sesuatu, layaknya perampok yang menjarah harta benda para korban mereka, jika benar semalam ada komplotan pencuri yang datang ke rumah ini.
 
Mendapat keadaan yang sangat kacau ini Ayana buru-buru menghubungi Aryo alih-alih pihak berwajib. Pembawaan Ayana terlihat tenang meski sebenarnya dia tersentak setengah mati terdengar dari suaranya yang gemetar ketakutan ketika menelepon Aryo tadi.
 
Tidak lama setelah itu Aryo mengajak Mas Yudis ke Kasongan, terkejutlah mereka ketika tiba Ayana sudah terduduk lemas di depan pintu kamar rahasia, tatapannya kosong tidak berani beranjak satu inci pun dari tempat tersebut. Kakak adik itu kaget bukan main melihat panorama di depan mereka. Ayana yang tidak bisa diajak berkomunikasi membuat Aryo kebingungan keringat dingin kontan bercucuran membasahi sekujur tubuh.
 
“Mbak Aya apa yang sudah terjadi di sini?” Aryo bertanya sembari mengguncang bahu Ayana, tetapi calon istrinya malah diam seribu bahasa. Aryo menangis sejadi-jadinya melihat keadaan Bapak yang sangat mengenaskan, penyesalan tiba-tiba menyergap tahu seperti ini jadinya tadi malam dia menginap di Kasongan saja.
 
Aryo beranjak hendak mendekati jasad Bapak, tetapi ditahan oleh Mas Yudis begitu saja. “Jangan coba menyentuh apa-apa, kalau sampai ceroboh bisa jadi kamu yang dianggap sebagai tersangka.”
 
Aryo memelotot belum bisa mencerna maksud perkataan Kang Masnya. Pikiran Aryo kacau, dunianya runtuh dan hancur lebur.
 
Tidak lama setelah itu rumah Kasongan ramai, para penduduk berbondong-bondong menuju Tempat Kejadian Perkara setelah berita kematian Bapak terendus oleh mereka. Garis polisi juga sudah terpasang di area tersebut. Sampai saat ini Ayana masih diam membisu yang terduduk lemas di ruang tamu, sementara Aryo sudah tidak sadarkan diri di pangkuan Mas Yudis.
 
“Apa yang terjadi dengan Pak Gunandi?”
 
“Benarkah tadi malam ada perampok? Aku tidak mendengar keributan apa-apa. Semalam aku sempat mengecek saat keliling ronda bersama Dullah.”
 
“Dibunuh perampok? Apa yang perampok itu curi?”
 
“Apa semua ini ada hubungannya dengan suara gagak tadi malam?”
 
“Sungguh malang nasib Pak Gunandi.”
 
Ucapan para warga yang berdiri tidak jauh dari lokasi perkara. Mereka bergosip dengan tetangga seraya menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi malah ada yang mengaitkan dengan kehadiran gagak yang secara tiba-tiba itu. Pasalnya, peristiwa ini baru pertama kali terjadi meski Bapak salah satu pengrajin gerabah yang sangat sukses tidak pernah sekalipun perampok mengusik kehidupannya, tetapi malam tadi peristiwa malang tersebut justru menimpa Bapak.
 
Ibu dan Mbah Gimbal datang tidak lama setelah para anggota dari kepolisian berada di TKP. Ibu menangis histeris melihat jasad Bapak, kaget seperti mau mati ketika tahu dada bidang Bapak nyaris robek, leher Bapak nyaris putus kalau boleh menebak perampok biadab itu sengaja menggorok lehernya.
 
Mas Yudis sebisa mungkin bersikap tegar dan kuat untuk membantu proses penyelidikan, dia yang bisa diandalkan dibandingkan yang lain. Terlebih Ayana masih seperti orang ling-lung dan Aryo masih belum sadar dari pingsannya. Mas Yudis ikut bersama tim penyidik ke Forensik Rs Bhayangkara untuk mengantar jenazah Bapak guna diautopsi. Hal tersebut dilakukan lantaran Bapak terindikasi sebagai korban kejahatan dan pembunuhan bukan sekadar korban perampokan saja.
 
Autopsi berlangsung nyaris setengah hari, hasil baru akan keluar esok atau lusa. Namun, salah satu dari tim penyidik sudah menarik kesimpulan, bahwa kematian Bapak disebabkan oleh tusukkan dari benda tajam serta sebelumnya terjadi penganiayaan yang dilakukan lebih dari satu orang, paling banter pendapat mereka telah terjadi peristiwa lebih dari sekadar perampokan di rumah ini tadi malam, kesimpulan tersebut merujuk pada kondisi Bapak yang cukup tidak wajar kalau sekadar terkena bogem semata. Selengkapnya akan terus diselidiki untuk mengetahui sebab pasti serta benda apa yang telah raib diambil oleh para pencuri. Salah satu dari mereka berpendapat kalau kasus ini bukan sekadar perampokan semata, tetapi anggota paling muda di timnya itu tidak berani mengutarakan hal tersebut kepada atasannya atau siapa pun.
 
Waktu beranjak dengan cepat semua anggota keluarga inti sudah tiba di Kemusuk—Pakde Satya, Bulik Hanna, dan Nada datang serempak mereka berangkat sama-sama dari Jakarta sesaat setelah mendapat berita kematian Bapak sementara keluarga dari Ibu baru akan tiba sore nanti. Semuanya sudah berkumpul, hanya Profesor Abdul saja yang belum bisa datang dan tidak bisa dihubungi lantaran masih berada di Singapura. Pemakaman Bapak dilakukan sore itu juga.
 
Bulik Hanna yang selalu menjaga jarak dengan keluarga Bapak setelah kematian Paklik Erik terlihat histeris ketika jenazah Bapak akan dikebumikan, lebih parah lagi Ibu yang berkali-kali jatuh bangun karena pingsan. Alhasil ketika Aryo sedang mengazani jasad Bapak, Ibu terpaksa dibopong oleh beberapa warga untuk dibawa pulang kondisi Ibu sangat tidak memungkinkan kalau harus terus berada di area pemakaman hingga rampung.
 
Nada menopang tubuh Bulik Hanna yang mulai limbung. Pundaknya naik turun lantaran tangis semakin menggugu seperti ada sesuatu hal yang ingin pengacara kondang itu lontarkan, tetapi sudah tidak bisa. Nada juga terisak sampai rasanya air matanya tidak bisa lagi keluar. Apalagi menyaksikan Aryo yang sekuat tenaga menahan tangis saat berada di sisi Bapak untuk yang terakhir kali. Apalagi membaca nama yang tertulis pada nisan di samping kanan makam Bapak, tangis Nada semakin pecah.
 
Terlihat Banyu yang juga menangis dalam pangkuan Maknya. Padahal pekan depan Bapak sudah berjanji akan mengajak Banyu berkarya wisata ke Candi Prambanan. “Bapak mau ketemu sama Allah ya, Mak?” kata Banyu setengah berbisik kepada Mak. Mak mengangguk seraya berkata iya membalas pertanyaan Banyu. Setelah itu Banyu kembali terisak.
 
Pemakaman Bapak usai tepat lima menit sebelum azan magrib berkumandang. Semua orang yang ikut melayat berbondong-bondong meninggalkan gundukan tanah yang masih basah ini, tetapi dari banyaknya pelayat yang ikut ada satu orang yang tersenyum sinis melihat Bapak telah tiada. Orang tersebut pergi sebelum prosesi penguburan selesai benar,  lalu menaiki sedan tuanya yang terparkir tidak jauh dari salah satu rumah warga. Tanpa dia sadari kehadirannya tak luput dari penglihatan Nada. Adik sepupu Aryo ini heran lantaran melihat cowok aneh itu ada di tempat ini.
 
“Bagaimana?” Bertanya lelaki yang duduk di bangku kemudi suaranya terdengar serak bergetar.
 
“Satu tikus sudah mati,” ujar lelaki bermata amber. Usia lelaki pengemudi itu terpaut sangat jauh dari lelaki bermata amber. Dia terlihat masih sangat muda, bahkan masih seperti murid SMA.
 
“Tapi benda yang dicari bos tidak ada di rumah itu,” balas lelaki pengemudi seraya bersiap-siap meninggalkan tempat tersebut. “Tua bangka itu memang tidak bisa diandalkan,” sambungnya.
 
Lelaki bermata amber menyeringai, enggan menanggapi orang misuh-misuh tidak jelas seperti itu. “Bukankah si tua bangka itu tahu?” Nada bicaranya seolah berkata kepada diri sendiri, tetapi juga seperti bertanya kepada lawan bicara. “Kita cari saja keberadaan wanita bernama Poniyem, seperti yang tertulis di dalam buku ini.” Lelaki bermata amber memberi unjuk buku bersampul hitam pekat yang dia ambil dari dalam dasboard. Sontak lelaki pengemudi memicing bersamaan dengan menginjak rem, untung saja jalanan desa ini terlampau lenggang, sehingga tidak membahayakan siapa-siapa.
 
“Dari mana kamu mendapatkan buku itu?”
 
Lelaki bermata amber terdiam sengaja mengulur waktu untuk memberi jawaban, lelaki pengemudi menggeram lalu melontarkan kalimat pertanyaan yang sama untuk kedua kali. “Hm ... saat si tua bangka menghabisi tikus itu, saya menemukan sebuah kamar yang mencurigakan tidak saya sangka di dalam sana tersimpan buku ini. Saya yakin pemuda bernama Aryo itu menyimpan buku yang lainnya, bahkan bisa jadi benda yang kita cari ada pada salah satu buku-buku itu.”
 
“Gila! Kamu benar-benar gila!” Ucapan tersebut bukan mengumpat, melainkan pujian untuk lelaki bermata amber karena berani mengambil langkah yang melenceng jauh dari rencana. “Kalau begitu mari kita cari wanita bernama Poniyem ini, bahkan sampai ke kuburannya sekalipun.” Lelaki pengemudi berkata dengan semangat kian membara. Lelaki bermata amber kembali tak acuh kemudian memilih untuk membaca buku bersampul hitam pekat pada genggamannya ini.
 
 
*
 

The Last SecondWhere stories live. Discover now