[[ ꧒꧗ ;Rahasya kakSa ]] ✅

37 11 4
                                    

27. Ruang Rahasia.

             ARYO ingin menyerah, tetapi sudah terlanjur basah kalaupun memilih mentas tentu semuanya menjadi sia-sia

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.


 
            ARYO ingin menyerah, tetapi sudah terlanjur basah kalaupun memilih mentas tentu semuanya menjadi sia-sia. Bukan malah menemui titik terang justru rahasia demi rahasia muncul ke permukaan, seakan-akan Aryo sosok genius luar biasa yang bisa memecahkan teka-teki dengan petunjuk minim. Tidak tahu mengapa Profesor Abdul harus membohonginya mengenai kertas dalam amplop cokelat yang ada di genggamannya saat ini. Apakah benar apa yang pernah Mbah Gimbal katakan, Profesor Abdul sebenarnya bukan orang baik-baik. Lelaki tua itu sebatas manusia yang pandai memanipulasi dan berkamuflase?
 
            Aryo menatap gamang pada selembar kertas usang yang menurutnya sangat tidak masuk akal.
 
            Untung saja Aryo mengikuti saran Pakde Satya untuk jangan terlalu memercayai lelaki tua itu. Benar saja kebohongan yang dia lontarkan saat masih berada di guest houses tempo hari membuahkan hasil. “Profesor Abdul telah mencuri amplop itu dari Hassan.” Penuturan Mbah Gimbal masih jelas terngiang. Andai kata waktu itu Aryo berbicara jujur, mungkin amplop ini tidak lagi ada padanya.
 
            Sekarang apa yang harus dia lakukan, sampai saat ini pun belum menemukan cara untuk bisa mengetahui isi dari kertas kosong ini. Terlebih pikiran kembali terkontaminasi oleh pengakuan Mbah Gimbal beberapa hari lalu. “Rumah Kasongan menyimpan rahasia besar. Mbah tidak tahu pasti di mana letaknya, Hassan hanya mengatakan kalau di sana ada sebuah ruang rahasia yang tidak boleh sembarangan orang tahu.”
 
            Ternyata Mbah Gimbal juga mengetahui ruang rahasia tersebut. Aryo juga belum mengetahui di mana letaknya sejauh ini hanya kamar rahasia yang tidak nyentrik yang sudah bisa dipecahkan.
 
            “Memangnya ruang rahasia apa, Mbah?”
 
            Mbah Gimbal agak mendekatkan bibirnya ke kuping Aryo, lalu berbicara dengan setengah berbisik. “Tempat di mana Hassan dan Profesor Zain Tojo menjelajah waktu. Kamu tentu tahu akan hal itu, bukan?” Sial kalau saja Mbah Gimbal ada dalam daftar pencariannya, mungkin Aryo tidak perlu bersusah payah memecahkan misteri ini seorang diri. Namun, meskipun begitu Aryo masih belum bisa memercayai siapa pun kendati mereka adalah keluarga sendiri. Kebohongan Profesor Abdul membuatnya trauma untuk menaruh kepercayaan atas fakta-fakta yang didengar. Sekarang ini Aryo baru akan percaya kalau melihat dengan mata kepala sendiri, setidaknya hal tersebut cara menguatkan diri untuk menghadapi situasi mendadak yang akan terjadi di masa mendatang.
 
            Jujur saja mendengar pernyataan Mbah Gimbal, Aryo tercengang di tempat saat itu. Rasanya tubuh Aryo terpelanting jauh ke udara. Aryo hanya bisa membisu tanpa berkenan menanggapi barang sepatah kata, sialnya rasa penasaran itu terus berkecamuk hingga sekarang, lantaran belum selesai Mbah Gimbal bercerita salah satu pengrajin gerabah memanggilnya untuk urusan mendesak. Mau tidak mau cerita tersebut harus terjeda sampai tiga hari ini Aryo belum bisa menemui beliau lagi. Mbah Gimbal semakin disibukkan perkara gerabah, Aryo tidak enak kalau harus mengganggu waktu bekerjanya.
 
            Mengingat penuturan Profesor Abdul dan Pakde Satya kalau ternyata Bapak juga mengetahui mengenai arca oplosan, besar kemungkinan Bapak juga mengetahui tentang kertas kosong ini. Tidak mau membuang-buang waktu lagi Aryo merasa tengah dikejar kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, terlebih tidak lama lagi dia harus kembali ke Jakarta. Terlebih obrolannya malam itu tidak membuahkan hasil padahal Aryo sudah berusaha memancing, ternyata perkara Si Kaktus lebih menarik perhatian Bapak. Malah Aryo sempat curiga kalau sebenarnya Bapak tengah berusaha menghindar seperti yang sudah-sudah. Padahal sebelumnya Bapak sudah berani membuka diri dengan memberitahu mengenai rahasia di kamar peninggalan Eyang Kakung.
 
Sore ini Bapak sedang mengopi di ruang tamu rumah Kasongan, Ayana pun sedang pergi bersama Banyu misalkan Aryo mengutarakan kegundahan perkara kertas kosong ini tentu akan aman-aman saja.
 
            Tanpa tedheng aling-aling Aryo memberi unjuk kertas kosong itu tepat di depan wajah Bapak. Datarlah wajah Bapak ketika melihat tindakan tersebut, malah semakin menikmati kopi tubruk seolah tidak melihat apa-apa. “Bisa Bapak jelaskan apa maksud kertas kosong ini?” Bertanya Aryo dengan suara tegas.
 
            Bapak tersenyum hambar sesaat seraya kembali meneguk kopi. Aryo terheran-heran lantaran tindakannya tidak diindahkan seperti ini, sekali lagi dia bertanya dengan kalimat sama. Namun, alih-alih memberi jawaban, Bapak justru merampas kertas dari tangannya lalu meletakkan di meja dan dibuka lebar-lebar, karena sebelumnya kertas tersebut dalam keadaan terlipat dua. Meradang Aryo, bahkan otot-otot matanya nyaris merah tercengang melihat sikap Bapak yang justru menumpahkan sisa air kopi di cangkir ke atas kertas kosong itu. Basahlah! seru Aryo dalam hati.
 
            Semakin terkejut ketika Bapak mencekal lengan Aryo ketika hendak melakukan pergerakan, sebagai isyarat agar tidak mengambil kertas tersebut. “Kertasnya menjadi basah. Apa Bapak bercanda? ” Aryo tidak bisa menahan amarahnya. Kalaupun tidak mau memberitahu, tidak apa-apa. Kalaupun tidak suka karena Aryo masih mencari tahu kepingan puzzle, tidak apa-apa. Setidaknya jangan menghancurkan satu-satunya petunjuk yang dia punya saat ini.
 
            Masih dengan menggenggam lengan Aryo, mimik wajah Bapak semakin datar. Rasanya memang sengaja membisu dan membuat Aryo bingung kepalang. “Kamu ingin tahu bagaimana kertas ini menunjukkan rupa aslinya? Biarkan saja, sebentar lagi juga akan tampak.” kata Bapak setelah lama membungkam.
 
            I solemnly swear that i am up to no good. Air kopi yang ditumpahkan oleh Bapak bak sebuah mantra pada serial Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Ketika George memberi unjuk kepada Harry peta buta kemudian tidak lama setelah itu memunculkan Map, mantra tersebut yang dikatakan oleh George.
 
            Tidak berbeda jauh. Rasa-rasanya Aryo tengah berhalusinasi. Beberapa detik setelah kertas kosong itu tersiram air sekonyong-konyong memunculkan warna hitam pekat, jika memang sesederhana itu mengapa cara tersebut tidak pernah terpikirkan oleh Aryo sejak dulu.
 
            “Jadi, Bapak sudah tahu?” Berucap Aryo dengan kedua bola mata yang membelalak sempurna. Bapak hanya tersenyum tipis, lalu memberi perintah agar Aryo segera melihat apa yang terjadi.
 
            Tidak mampu berkata-kata. Kertas kosong yang sudah ingin Aryo buang ternyata justru memunculkan sesuatu. Sebuah lukisan arca Dwarapala mirip seperti dalam foto milik Profesor Abdul, serta pada pojok kanan bawah terdapat gambar yang sangat tidak asing di mata Aryo. “Bukankah ini meja yang ada di kamar rahasia, Pak?” tanpa Aryo tanpa berpaling sedikit pun dari kertas dalam genggaman.
 
            Aryo sungguh tengah memastikan kalau tidak salah melihat. Memang benar gambar tersebut merupakan sketsa denah kamar rahasia yang hanya memperlihatkan meja serta tembok dengan warna berbeda. “Terlalu rumit kalau Bapak harus menjelaskan dari awal.” Berkata kemudian Bapak, tetapi Aryo masih enggan beranjak membalas tatapan Bapak. “Le, sebenarnya Bapak sudah tahu dari dulu kalau Profesor Abdul bukan orang baik. Bapak menitipkanmu kepada beliau agar kertas itu kembali kepada kita.”
 
            Kembali kepada kita. Aryo mengulang kalimat tersebut dalam benak. Satu detik kemudian dia berpaling menatap wajah Bapak, tidak lama setelah itu Bapak kembali menjelaskan kalau sebenarnya Profesor Abdul tengah memburu harta benda yang disimpan oleh Eyang Kakung, harta benda yang setelahnya ditutup rapat-rapat oleh Paklik Erik sampai harus meregang nyawa.
 
            Bapak tidak menerangkan banyak hal hanya memberitahu, kalau pergerakan Profesor Abdul dilakukan oleh orang-orang elite di atas sana, tidak dijelaskan pula gerangan siapa orang elite yang dimaksud karena Bapak sendiri juga tidak tahu menahu.
 
            Sekarang, Aryo paham mengapa Profesor Abdul tahu-tahu memberitahu tentang foto arca Dwarapala dan jam tangan, lalu meminta tolong Aryo agar membantu mencari tahu keberadaan arca oplosan. Ternyata hal tersebut dilakukan lantaran adanya perintah, bisa Aryo simpulkan kalau Profesor Abdul kaki tangan dari para cukong yang pernah beliau sampaikan tempo hari. Cukong-cukong yang merupakan bandar dan pemburu barang kuna untuk kepentingan perut pribadi mereka. Tidak Aryo sangka ternyata Profesor Abdul bagian dari cukong itu.
           
            Benar kata Ibu, seseorang yang datang-datang berbuat sangat baik tentu tidak melakukan kebaikan tersebut secara cuma-cuma. Tanpa Aryo sadari selama ini dia telah dimanfaatkan.
 
            “Jadi, apa yang dikatakan oleh Mbah Gimbal benar, beliau mencuri kertas ini dari tangan Eyang Kakung?”
 
            Dari sekian riuh yang bertengger memenuhi isi kepala, Aryo hanya mampu melontarkan pertanyaan tersebut. Kemelut amarah yang sudah membelenggu hati sudah tidak bisa ditahan lagi, bahkan sampai bingung harus menyikapi lelaki tua itu dengan cara seperti apa selain mengembuskan napas panjang-panjang, guna menghalau rasa kesal.
 
            Bapak mengangguk, raut wajahnya menampilkan sebuah kekecewaan yang tidak bisa dilontarkan walau sepatah kata. Bapak mengembuskan napas panjang sebelum kembali angkat bicara. “Beliau memang mencuri kertas tersebut, tetapi Bapak yakin kalau tindakan tersebut bukan atas kemauan beliau sendiri.”
 
            Mulut Aryo membungkam. Rasanya malas untuk bertutur kata apalagi menjawab lalu membenarkan kalau ucapan Bapak benar adanya. Aryo memilih untuk fokus pada kertas yang tintanya sudah mulai memudar.
 
            “Akan Bapak jelaskan kapan-kapan. Kamu boleh kecewa dengan beliau, tetapi apa pun yang akan terjadi jangan pernah sekalipun kamu membencinya. Profesor Abdul memang bukan orang baik, tetapi bukan berarti dia orang yang jahat,” ungkap Bapak beberapa detik kemudian.
 
            Banyak pertanyaan yang ingin Aryo lontarkan, tetapi lidah terasa amat kelu karena tidak tahu harus bertanya bagaimana. Hatinya tengah berkecamuk ditambah desiran dalam dada yang meronta-ronta. Amat sangat senang lantaran salah satu teka-teki berhasil terpecahkan, kertas kosong itu ternyata berisi petunjuk selanjutnya yang entah mengapa justru dideskripsikan melalaui sebuah lukisan.
 
            Bapak bercerita sedikit mengenai kertas tersebut yang hanya bisa memunculkan batang hidungnya kalau disiram menggunakan air. Memang semua terkesan tidak masuk akal, bahkan orang-orang akan menganggap cacat logika. Namun, kalau yang mendedikasikan hal tersebut adalah Hassan, maka mau tidak mau Bapak memercayai. Bapak tidak tahu pasti bagaimana kertas tersebut bisa dibuat, yang pasti adalah kala itu Hassan meminta kepada Paklik Erik untuk melukis gambar tersebut dan hanya Bapak, Paklik Erik, serta Mbah Gimbal saja yang mengetahui arti dari gambar yang dibuat Paklik Erik.
 
            Bapak tertawa sebentar. Menertawakan rupa Profesor Abdul ketika diberi unjuk kertas palsu. “Kertas palsu?” tanya Aryo dengan mimik wajah heran sekaligus penasaran.
 
            Bapak kembali mengangguk. “Jadi, Eyang Kakung pernah memberitahu beliau denah seperti ini, tetapi berupa angka dan tulisan yang tidak memiliki arti apa-apa. Namun, entah bagaimana caranya kertas yang asli ini bisa ada di tangan beliau.”
 
            Aryo tidak habis pikir, bahkan tidak percaya lelaki sekelas Profesor Abdul bisa tertipu dengan trik Eyang Kakung. Pantas saja Profesor Abdul tidak tahu caranya bagaimana kertas ini bisa memunculkan isinya. Aryo semakin penasaran, sebenarnya apa yang sedang lelaki tua itu rencanakan. Semakin penasaran pula apa yang sedang beliau lakukan di Negeri Singa, apakah benar untuk mengurus pekerjaan? Atau hal tersebut hanya dalih semata.
 
            “Erik yang membuat denah tersebut. Orang awam tidak akan pernah tahu kalau sebenarnya lukisan tersebut memiliki sebuah makna, bahkan bisa mengubah akal waras seseorang,” ujar Bapak ketika mereka sedang melangkah menuju kamar rahasia. Aryo hanya menerka maksud ucapan tersebut tanpa berkenan untuk mengetahui lebih jauh. “Jangan beritahu Nada masalah ini, belum saatnya untuk dia tahu,” sambung Bapak mewanti-wanti. Bapak tahu Aryo sangat dekat dengan Nada. Aryo hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.
 
            Ketika Bapak sedang membuka gembok, Aryo bertanya, “Jadi, di dalam kamar ada ruangan rahasia yang digunakan Eyang Kakung dan Zain Tojo untuk menjelajah waktu?”
 
            Nyaris saja Bapak menjatuhkan gembok yang dipegang, dadanya mendadak berdesir tidak menentu. “Kamu sudah tahu, bukankah dalam buku peninggalan Eyang Kakung tidak dijelaskan?”
 
            “Saya tahu dari Mbah Gimbal, tetapi beliau tidak tahu pasti di mana letak ruang rahasia itu. Saya hanya asal menebak.” Aryo menyengir kuda setelah melontarkan kalimat tersebut.
           
            Hampir saja jantung Bapak merosot dari tempatnya andai kata Aryo mengetahui dari orang lain. Malah sempat ketakutan kalau isi dari buku harian Hassan yang menjelaskan tentang ruang rahasia itu bocor kepada orang lain, Bapak ingat betul sudah menghancurkan buku tersebut sesuai perintah Hassan sendiri.
 
            “Oalah, dari Mbah Gimbal. Bapak pikir baca dari buku harian.”
 
            “Tunggu sebentar. Jadi, masih ada buku harian Eyang Kakung yang lainnya, Pak?”
 
            “Masih, tetapi buku itu sudah tidak lagi ada. Kamu tidak akan pernah menemukannya.”
 
           “Menceritakan kisah apa buku harian itu, Pak?”
 
            “Awal mula Eyang Kakung bisa menulis cerita seperti nyata tertuang pada buku harian yang diwariskan kepadamu.”
 
            Melongo seperti sapi ompong. Diamnya Bapak, keras kepalanya Bapak selama ini bukan karena tidak sayang terhadap Aryo, semua pertentangan dan aturan yang Bapak terapkan kepadanya ternyata sudah direncanakan dengan amat matang. Kalau seperti ini kenapa tidak diberitahu sejak dulu, kenapa tidak Bapak bahas agar Aryo tidak pusing tujuh keliling memikirkan hal tidak masuk akal ini.
 
            Bapak menutup pintu rahasia lalu mengunci dari dalam, takut-takut ada orang lain masuk ketika melihat kamar rahasia ini terbuka lebar. Sebagai jaga-jaga saja karena situasi yang sudah tidak cukup aman, apalagi sekarang ini Profesor Abdul sudah bertindak semakin jauh.
 
            “Tolong kamu geser meja itu.” Bapak memberi perintah seraya mendudukkan diri di tepi ranjang. Aryo mengangguk kemudian melakukan apa yang Bapak suruh, menggeser meja yang sejajar dengan tembok dengan warna berbeda.
 
            Pikiran Aryo berkelana saat sedang memindahkan meja tersebut, menduga-duga saja jangan-jangan di balik tembok ini ada pintu rahasia yang menunjukkan ruang rahasia yang lain. Tempat Eyang Kakung bisa melakukan perjalanan melintasi waktu misalnya.
 
            “Lalu setelah ini apa, Pak?” Aryo sudah menyelesaikan tugas dari Bapak. Bertanya, tetapi pandangan menjurus pada warna tembok yang paling berbeda di kamar ini.
 
            Terdengar suara dipan yang berderit ternyata Bapak bangkit, lalu melangkah menuju posisi Aryo. Disenggol tubuh Aryo agar menyingkir dari tempatnya, sontak saja Aryo terkejut lantaran Bapak sudah berdiri tegak di sampingnya. Aryo menoleh ke belakang memastikan kalau lelaki di sisinya ini memang benar Bapak, takut saja kejadian di Sumberasih kembali terulang.
 
            “Jangan berdiri di situ. Bapak ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.”
 
            Bapak agak mendorong betis Aryo tanpa disadari Bapak sudah dalam posisi jongkok. Mau tidak mau Aryo sedikit bergeser dari tempatnya. Aryo mengamati pergerakan Bapak yang tengah meraba-raba lantai beberapa petak keramik bermotif kayu. Kedua alis Aryo sedikit mencuat saat melihat tingkah Bapak yang seperti sedang mencari sesuatu. Tidak lama setelah itu diketuk-ketuk keramik tersebut beberapa kali. “Bapak ini sebenarnya sedang apa?” Aryo bertanya lantaran sudah tidak sabar sebenarnya apa yang ingin Bapak tunjukkan.
 
            “Bapak lupa, sudah lama tidak membukanya.”
 
            “Membuka apa maksud Bapak?”
 
            “Nah, ketemu!” seru Bapak setelah berhasil menemukan keramik yang dimaksud. Aryo kembali bertanya, tetapi alih-alih menjawab malah Bapak kembali meminta bantuannya. “Le, tolong ambilkan linggis di bawah kolong tempat tidur. Cepat!”
 
            Dengan sigap Aryo menuruti perintah Bapak, melongoklah dia ke bawah tempat tidur dan benar saja terdapat linggis yang dimaksud Bapak. Segera Aryo memberikan benda tersebut kepada Bapak. Aryo pikir Bapak mau mencungkil tembok dengan warna cat berbeda, tetapi justru yang dilakukan oleh Bapak adalah mencungkil salah satu keramik yang sejajar dengan tembok berwarna merah ini.
 
            Membelalak Aryo saat Bapak membuka keramik itu bak sebuah lemari. Kian tercengang lagi ketika dari balik keramik itu ada sebuah lubang yang mengarah ke dalam. Aryo hanya mengamati pergerakan Bapak tanpa berkenan membuka suara. Tidak lama setelah itu dijulurkan kedua tangan Bapak ke dalam lubang berukuran persegi sesuai dengan ukuran keramik. Tidak Aryo sangka dari dalam sana Bapak mengeluarkan suatu benda yang terbungkus oleh sehelai kain.
 
            Tidak menunggu lama Bapak membuka kain tersebut. Menegang di tempat sekujur tubuh Aryo ketika melihat benda yang baru saja Bapak keluarkan dari dalam kain. “Itu arca Dwarapala?” tanya Aryo seketika. Mulutnya tampak masih menganga saking tidak percayanya. Mimpikah dia? Arca tersebut sama persis seperti dalam foto yang pernah Profesor Abdul tunjukkan. Arca Dwarapala yang selama ini Profesor Abdul cari.
           
            “Ini adalah arca oplosan yang sedang diburu oleh Profesor Abdul,” ujar Bapak seraya menggotong arca tersebut untuk dipindahkan ke kasur. Aryo mengikuti langkah Bapak dengan perasaan campur aduk. “Di dalam arca ini menyimpan sebuah rahasia yang diincar oleh para elite itu. Le, maafkan Bapak karena baru memberitahumu sekarang. Maafkan Bapak karena harus menyeretmu dalam lingkaran Profesor Abdul. Kamu yang bisa menyelamatkan kami semua, jangan sesekali beritahu siapa pun mengenai apa yang Bapak tunjukkan padamu hari ini. Cukup disimpan untuk dirimu sendiri.”
 
            Selain mengangguk tidak ada yang ingin Aryo ucapkan. Jiwanya merasa amat terguncang mengetahui fakta mengejutkan ini. Sejujurnya banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan, tetapi Aryo sadar sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu semua. Paling penting arca oplosan yang membuatnya pusing tujuh keliling sudah ada di depan mata, hanya perlu memikirkan sikap seperti apa andai kata Profesor Abdul kembali menyinggung perkara tersebut, karena saat ini Aryo mesti ekstra hati-hati. Profesor Abdul sudah menunjukkan belangnya.
 
            “Bapak akan menunjukkan sesuatu lagi.” Seiring kalimat tersebut terlontar dengan amat pelan Bapak memutar kepala Dwarapala itu. Dari dalam kepala arca tersebut tersimpan sebuah kunci yang terbungkus daun jati yang sudah mengering. “Mari, menjelajah waktu bersama Bapak.”
 
            Aryo terdiam. Rasa terkejut mendominasi terlihat dari raut wajah yang ditonjolkan sekarang ini.
 
            Bapak tersenyum lebar kepadanya seolah habis memenangkan hadiah lotre. Meski diganduli perasaan heran Aryo memilih untuk tetap bungkam. Bapak semakin melebarkan senyum, kemudian mengatakan kalimat yang sama agar Aryo ikut bersamanya untuk menjelajah waktu.

*

Kamis, 03 Desember 2020Bagaimana sudah jatuh cinta?

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

Kamis, 03 Desember 2020
Bagaimana sudah jatuh cinta?

The Last Secondحيث تعيش القصص. اكتشف الآن