[[ ꧓꧔ ; Bencana Si Topeng Monyet ]] ✅

27 6 7
                                    

34. Bencana Si Topeng Monyet

 Bencana Si Topeng Monyet

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

 
LINTANG cantik, ya. Menarik, modis, modern, calon lulusan hukum pula. Tipikal idaman para kaum adam banget, tidak seperti saya yang lulusan SMA saja.”
 
Ayana tidak percaya diri, dia dan Lintang bagaikan bumi dan langit. Lintang memiliki kulit putih mulus bersih terawat. Tidak perlu pakai make up pun sudah mampu menyamarkan noda hitam, bekas jerawat, tekstur kulit, dan tampilan pori-pori. Rasa-rasanya Lintang tidak mengenal apa itu jerawat karena kulitnya mulus sekali, dibandingkan dirinya ada beberapa bekas jerawat yang sukar memudar meski sudah memakai skincare anti acne atau rangkaian produk yang bisa membikin kulit tampak lebih cerah seketika.
 
Kalau disandingkan duduk bersama sudah pasti seperti mutiara dan batu kali, putih dan gelap amat kentara. Lintang akan tampak berkilau dalam sekejap mampu menenggelamkan pancaran dalam diri Ayana.
 
Gelojak api cemburu seakan merambat menusuk-nusuk relung hatinya, pasalnya Aryo tidak memberitahunya kalau Lintang akan datang ke mari hari ini, biasanya perkara Lintang tidak pernah lupa Aryo menceritakannya. Ayana harus mendengar dari mulut Lintang sendiri mengatakan, kalau sudah memberi kabar kepada Aryo jauh-jauh hari.
 
Ayana tahu Aryo sedang disibukkan dengan hal-hal penting, tetapi apa susahnya menceritakan perkara tersebut meskipun sepele padahal mereka sering bersama dan mengobrol menceritakan banyak hal. Tidak mungkin Aryo lupa.
 
Perasaannya bertalu-talu ketika pagi tadi Lintang tiba-tiba datang menyambangi rumah,  Ayana terkejut bukan main karena dia orang pertama yang menemui perempuan yang sekarang ini sedang bermain-main di gazebo bersama Banyu dan Aryo. Sebenarnya tadi dia dan Nada juga ada di sana, sebelum memutuskan mencuci bahan-bahan untuk membuat lotis Mendadak Banyu mau memakan hidangan tersebut, Ayana mengalah karena tidak mungkin menyuruh tamu melakukan hal yang sedang dia kerjakan saat ini.
 
“Cantik itu relatif, Mbak. Semua perempuan cantik tidak ada yang jelek, jelek itu sifat dan perbuatannya. Kalau dirawat dan menerapkan pola hidup sehat dengan baik siapa saja bisa menjadi cantik, glowing, langsing, dan menarik. Lagi pula kecantikan yang hakiki itu bukan pada rupa, tapi di sini.” Nada mengarahkan jari telunjuknya ke arah dada Ayana, maksudnya menunjuk ke hati. “Serta perempuan yang berakhlakul karimah,” sambungnya yang kemudian mengusap bahu Ayana sembari melayangkan seutas senyum.
 
Ayana membalas senyuman gadis bermata belo ini lebih hangat. Namun, tetap saja kegundahan masih terasa melihat kedekatan Lintang dan Aryo secara nyata. Meskipun berulang kali Aryo menegaskan kalau hubungannya dengan Lintang sebatas sahabat, karena amanah Papa yang menitipkan Lintang kepada lelaki calon suaminya ini. Hati perempuan mana yang tidak risau kalau hubungan sahabat itu bisa dianggap lebih apabila orang awam yang menyaksikannya.
 
Nada yang habis mencuci cabai rawit kontan terkekeh memerhatikan tampang Ayana, hidungnya kembang kepis, tampak menggemaskan.
 
“Mbak Aya cemburu, ya?” Nada berujar seraya mengambil cobek dari lemari di bawah wastafel. Mulut kembali komat-kamit saat menuangkan garam dan gula merah ke cobek. “Tidak perlu khawatir, Mas Aryo tidak mungkin kepincut sama modelan perempuan seperti Kak Lintang. Percaya sama aku.”
 
Jendela di depan wastafel yang terbuka lebar ini langsung memberi pemandangan ke arah kolam ikan, di mana mereka bertiga sedang bersenda gurau memperlihatkan Banyu yang cekikikan setelah Aryo melontarkan guyonan singkat, lalu disusul oleh Lintang yang ikut terpingkal sampai memegangi perut.
 
Seraya mengamati pergerakan Lintang yang terus memepet Aryo, Ayana menerangkan. “Dalamnya hati seseorang tidak ada yang bisa menebak, Nad. Sebagai seorang perempuan saja saya mengagumi kecantikan Lintang, bagaimana dengan lelaki?”
 
“Kalau Mas Aryo mau pasti sudah dijadikan pacar sejak dulu, Mbak,” sahut Nada saat sedang mengulek kacang dan gula merah bumbu rujak untuk Banyu. “Hubungan mereka sebatas sahabat, lagi pula Mas Aryo lebih memilih Mbak Aya ‘kan meskipun di depan mata ada perempuan yang jauh lebih cantik. Namun, bukan berarti Mbak Aya tidak cantik, ya.” Napas Nada megap-megap seperti kehabisan pasokan oksigen lantaran ulekan milik Ibu cukup menguras tenaganya, ulekan tersebut berbentuk agak bulat dan terbuat dari batu biasanya Nada menggunakan ulekan dari bahan kayu.
 
Nada berhenti dari aktivitas tersebut rasanya mau menyerah, padahal tadi dia yang keras kepala mau membuat bumbu sementara Ayana mengupas buah. Menarik napas lalu mengembuskan berulang kali guna mengumpulkan tenaga, selang beberapa detik dia menoleh ke arah Ayana yang sedang menatap dengan pandangan sinis ketika Lintang kepergok sedang memukul bahu Aryo, tampak perempuan itu juga tersenyum malu-malu. Nada geleng-geleng karena jarang sekali menyaksikan momen Ayana cemburu buta dan misuh-misuh.
 
Ayana mengatur napas, lalu mempertimbangkan kosa kata yang akan dia luncurkan menanggapi ucapan Nada.
 
“Iya, Aryo memang sudah memilih saya, tetapi orang bilang kalau hubungan persahabatan antara perempuan dan lelaki tidak mungkin tidak melibatkan perasaan, kalau tidak mengharap, ya, memendam rasa,” balas Ayana yang sehabis mencuci timun dan pepaya muda, lalu langkahnya tengah beranjak untuk mengambil talenan didekat kompor.
 
“Halah! Kuno.” Nada menyela sambil mengibaskan tangan, sorot matanya berpaling kepada Lintang yang sedang berlari mengejar Banyu. “Tidak semua persahabatan antara lawan jenis berakhir seperti itu. Aku dengar dari Mas Aryo, Kak Lintang sudah punya pacar. Jadi, Mbak Aya tidak perlu risau soal perasaan mereka.”
 
“Bagaimana kalau dia dan pacarnya putus? Saya tidak bisa mengawasi Aryo 24 jam, bagaimana kalau— “
 
Buru-buru Nada menyela memberi peringatan agar Ayana tidak berpikir terlalu jauh bin ngawur. “Nyebut, Mbak. Tidak boleh menduga-duga. Khawatir boleh, tapi memikirkan hal di luar kendali kita lebih baik jangan nanti malah buat overthingking. Kalau prasangka Mbak Aya salah malah bisa jadi bumerang buat diri Mbak Aya sendiri.”
 
Dapur mendadak hening dari suara keduanya, kalau berisik lantaran ulekan yang berpadu dengan cobek serta pisau dan talenan. Ayana malas menanggapi lebih baik segera menyelesaikan pekerjaan ini agar bisa bergabung dengan mereka, supaya tidak panas dingin melihat interaksi Lintang dan Aryo yang membuat kepala mendidih.
 
20 menit berlalu, dua bumbu lutis dan buah-buahan dalam wadah sudah tertata rapi di gazebo. Mereka duduk melingkar, Banyu berada di tengah-tengah di sisi kanannya ada Aryo dan Lintang, sementara Nada dan Ayana di sisi kiri.
 
Banyu menyengir kuda ketika mengunyah kedongdong padahal sudah diperingatkan oleh Ayana kalau buah tersebut sedikit asam, bocah ajaib ini tetap saja batu untuk menyantapnya. Tidak lama setelah itu Banyu dipanggil Maknya, mau tidak mau dia beranjak pergi dari gazebo yang ditemani Ayana membawakan bumbu dan beberapa potong buah.
 
“Ini yang buat bumbu siapa, ya?” Sekonyong-konyong suara Lintang memecah kesunyian tetap ketika Ayana kembali mengisi ruang kosong di sisi kanannya, Aryo dan Nada yang sedang sibuk menikmati rujak spontan menoleh ke sumber suara.
 
Kontan Nada mengangkat sebelah tangan ke udara sementara tangan kanannya memasukkan potongan timun ke mulut. “Aku yang buat, Kak. Kenapa memangnya?”
 
Lintang bergumam sebelum memberi jawaban. “Enak. Perpaduan manis, gurih, dan pedasnya pas. Apalagi kalau dimakan pakai buahnya, langsung meleleh di mulut.” Lintang mengacungkan kedua ibu jari ke arah Nada sebagai tanda kalau dia benar-benar menikmati sambal rujak bikinannya. Ayana dan Aryo mengangguk, amat setuju dengan kalimat Lintang sontak saja Nada menunduk seraya tersenyum malu-malu mendengar pengakuan Lintang yang menurutnya terlampau hiperbola.
 
“Terima kasih, ya.” Nada menyahut setelah beberapa detik bungkam.
 
Daripada itu, Ayana menyodorkan beberapa potongan timun ke sisi Aryo, tetapi tanpa dugaan siapa saja timun tersebut malah disingkirkan oleh Lintang. “Aryo tidak suka mentimun, Mbak.” Bengkoang yang baru saja melintasi kerongkongan rasanya nyaris kembali keluar, Aryo memukul-mukul dada bidangnya pelan-pelan sontak dengan sigap Lintang mengambil air mineral yang ada di sisi kanan Nada, lalu memberikan botol tersebut kepada Aryo. Pergerakan cepat itu tidak lepas dari perhatian Ayana, bahkan dia baru tahu kalau Aryo tidak suka buah timun.
 
“Pelan-pelan, Ar. Kebiasaan kalau lihat makanan enak makannya buru-buru.” Lintang berkata sambil mengusap-usap punggung Aryo. Tentu saja Ayana tidak suka melihat pemandangan tersebut, tetapi berusaha untuk tidak menampilkan ekspresi yang membikin orang lain tidak nyaman. Nada mendapati Ayana sempat mengubah raut wajahnya menjadi murung sebelum kembali menjadi netral.
 
“Sejak kapan kamu tidak suka mentimun, Ar?” Ayana bertanya ketika keadaan sudah kembali normal.
 
“Dari dulu Aryo memang tidak suka mentimun, kan?” Moncong Lintang yang menyahut sementara wajah Aryo memerah seperti tengah menahan buang air besar, menatap ke arah Ayana seolah ada suatu hal yang ingin lelaki bermata elang itu katakan dari sorot yang memancarkan sebuah makna.
 
“Kalian tahu tidak.” Lintang kembali angkat bicara. Perempuan itu menatap Aryo sejenak sebelum mengalihkan perhatiannya kepada dua orang di hadapannya. “Aryo pernah cerita, dulu ada orang yang memberinya mentimun padahal dia tidak suka, tetapi demi menghormati si pemberi dia rela memakannya. Konyol ‘kan? Bagaimana saya tidak kagum coba sama lelaki seperti Aryo ini.”
 
Ayana terpana. Pasalnya, orang yang dibicarakan Lintang adalah dirinya. Dia yang pernah memberi mentimun kepada Aryo dan lelaki itu mau memakannya, tidak mengatakan kalau tidak suka. Kenapa hal sepele seperti ini Ayana harus tahu dari orang lain, terlebih orang tersebut adalah Lintang.
 
Seakan tidak memedulikan perubahan raut wajah Ayana, Aryo malah menyentil kening Lintang yang membuat gemuruh dalam dada Ayana semakin berkecamuk. Perempuan berambut lurus itu meringis sambil mengusap jidatnya seakan kesakitan padahal Aryo tidak melakukan menggunakan tenaga responsnya saja yang terkesan berlebihan.
 
“Ingat, kamu ini sudah punya pacar,” ucap Aryo dengan nada memperingatkan.
 
“Kalau masih pacar bolehlah. Lagi pula mumpung kamu masih jomlo tidak masalah kalau aku menggoda, tidak akan ada yang marah.”
 
Aryo membisu, memang dia belum memberitahu perihal hubungannya dengan Ayana, menurutnya belum saatnya Lintang untuk tahu. Sesal datang-datang dirasa peristiwa macam begini mana tahu akan terjadi, jika tahu tentu Aryo akan menceritakan kepada sahabatnya kalau dia bukan sekadar sudah mempunyai pasangan, tetapi memiliki calon istri. Benaknya diselimuti rasa tidak enak, takut Ayana salah paham.
 
Jantung Ayana berdenyut-denyut, rasanya ingin berteriak sekencang mungkin tepat di lubang kuping Lintang, kalau perempuan yang duduk di sisi kanannya ini adalah calon istri dari lelaki yang kamu kagumi. Namun, Ayana tidak memiliki kekuatan untuk melakukan hal seperti itu.
 
Kali ini giliran Nada yang tersedak ludahnya sendiri. Namun, tidak terlalu menguras atensi orang di sekitarnya malah Lintang dan Aryo mengalihkan pandangan ke arah Ayana, perempuan itu sedang menggado mentimun tanpa mencocol dengan bumbu rujak.
 
“Mbak Ayana pelan-pelan makan timunnya, nanti tersedak,” kata Lintang seraya berusaha menahan pergerakan tangan Ayana yang mau memasukkan potongan mentimun ke mulut, tetapi lengan Lintang sontak ditepis begitu saja. Aryo dan Nada saling menatap seakan tengah bertelepati.
 
Memastikan sudah menelan semua mentimun dengan sempurna barulah Ayana menanggapi perkataan Lintang.
 
“Saya sangat suka dengan mentimun. Mentimun itu buah favorit saya, lebih baik saya habiskan saja lagi pula Aryo tidak suka, kan? Demi menghormati yang sudah mengupas buah ini.” Ayana menekankan nada bicaranya setiap meluncurkan kata ‘mentimun.’
 
Aryo mencekal pergelangan tangan Ayana dalam waktu yang tidak sebentar ketika perempuan beralis tipis ini kembali hendak memasukkan potongan mentimun ke mulut, kontan lengan kekar Aryo membentuk garis melintang tepat di hadapan Lintang. Mata elang milik Aryo berserobok dengan iris cokelat terang milik Ayana, mimik kecewa jelas terpancar dari dalam sana. Aryo dapat memahami.
 
“Bukan kamu saja yang mau memakan mentimun ini. Nada dan Lintang juga mau. Ada nanas dan bengkuang, buah kesukaan kamu, ‘kan?”
 
Semua orang merasa janggal lantaran tiba-tiba Aryo mengubah panggilan Mbak Aya menjadi kamu. Apalagi Lintang, wajahnya menampilkan semburat tanda tanya besar melihat sikap sahabatnya yang mendadak berbeda memperlakukan Ayana. Tentu dia cemburu, dia sering ditatap oleh Aryo, tetapi tatapannya sangat berbeda saat memandang Ayana. Begitu dalam dan lekat, terlebih genggaman pada tangannya seperti memiliki maksud lain.
 
Interaksi intens tersebut sengaja dijeda oleh Lintang. Perempuan berdarah Betawi ini tiba-tiba melakukan pergerakan seperti menepis tangan Aryo agar tidak terus memegangi pergelangan tangan Ayana, Lintang pura-pura hendak mengambil nanas di wadah yang dipegang Aryo. Kontan saja tangan Aryo terpaksa copot dari jangkauan Ayana, Nada yang melihat hal tersebut hanya geleng-geleng saja. Diam lebih baik ketimbang ikut campur yang bukan menjadi ranah urusannya.
 
Masalah percintaannya saja rumit, tidak ada waktu untuk mengurusi percintaan tiga orang dewasa di hadapannya ini.
 
“Aku juga mau nanas, tahu!” seru Lintang, kemudian memakan nanas tersebut sembari tersenyum lebar kepada Aryo. Hati Ayana agak luluh atas secercah perhatian yang baru saja Aryo tunjukan apalagi memanggilnya dengan sebutan ‘kamu.’
 
Ada hikmah akan kehadiran Lintang secara tiba-tiba ini, meskipun nyaris setiap waktu Ayana dan Aryo saling bertukar pesan, menghabiskan malam panjang membicarakan hal-hal acak ternyata semua itu belum cukup. Karena pada kenyataannya memang Ayana yang dipilih oleh Aryo, tetapi dia seperti orang asing Lintang yang sekadar sahabat lebih banyak tahu siapa Aryo. Ayana merasa dia belum benar-benar mengenal siapa Aryo.
 

The Last SecondWhere stories live. Discover now