[[ ꧑꧗; Ketemu Lagi Sama Banyu!]]✅

27 14 1
                                    

17. Ketemu Lagi Sama Banyu!

 KONON orang bilang kalau tidur sore atau setelah waktu asar menjelang magrib bisa menyebabkan hilang kewarasan apabila dilakukan secara terus menerus, bahkan dunia medis pun juga menjelaskan tidur di waktu sore dapat membahayakan kesehatan tubuh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


 
KONON orang bilang kalau tidur sore atau setelah waktu asar menjelang magrib bisa menyebabkan hilang kewarasan apabila dilakukan secara terus menerus, bahkan dunia medis pun juga menjelaskan tidur di waktu sore dapat membahayakan kesehatan tubuh. Dampak bagi tubuh antara lain; badan terasa lemas, sakit kepala, meningkatkan risiko diabetes, bahkan dapat menurunkan daya ingat.
 
Aryo dapat merasakan sendiri salah satu dampak tersebut. Pening begitu terasa ketika tidak sengaja ketiduran setelah melaksanakan salat asar padahal tidak lebih dari lima belas menit, tetapi saat membuka mata dan hendak beranjak bangkit sekonyong-konyong tubuh terasa lemas serta kepala terasa berat. Entah karena efek tidur di sore hari atau memang imun tubuhnya sedang tidak begitu baik.
 
Aryo hendak keluar untuk menemui Mas Ibra, tetapi terhenti di depan pintu kamar guest houses yang ditempati Lintang. Aryo berdiri tanpa membuat keributan sekecil pun tidak ingin mengganggu aktivitasnya. Perempuan berambut sebahu itu sedang sibuk menata beberapa perlengkapan yang akan dikenakan dini hari nanti. Perlengkapan naik gunung yang dibeli secara mendadak di departemen store dekat alun-alun kota Malang saat perjalanan dari Mojokerto ke Malang pagi tadi.
 
Agenda ke Bromo bisa terlaksana atas kerja keras Aryo yang berhasil membujuk Profesor Abdul. Semula agenda ke Bromo tidak akan dilaksanakan, tetapi setelah berdebat panjang dengan Profesor Abdul melalui telepon dua hari lalu akhirnya beliau mengizinkan Aryo pergi ke Bromo, bahkan Lintang ikut merengek agar agenda tersebut dapat terealisasi. Profesor Abdul tidak ikut ke Bromo lantaran urusan di Sragen belum selesai.
 
Profesor Abdul takut terjadi hal buruk lagi terhadap Aryo apalagi banyak orang bilang kalau gunung merupakan tempat keramat dan menyimpan hal-hal mistis. Peristiwa yang dialami Aryo selama berada di kota ini cukup membuat Profesor Abdul mawas diri, tetapi setelah mendiskusikan bersama Bapak dan Pak Sosro akhirnya dia mengizinkan Aryo pergi ke sana, dengan catatan harus selalu dalam pengawasan Mas Ibra dan Mas Adi. Itu bukan hal yang sulit. Toh, Aryo juga bisa menjaga diri.
 
Aryo pun teringat akan obrolan di angkringan Mbak Mila, Profesor Abdul sudah mengungkap sebuah fakta baru, tetapi hingga Aryo kembali ke Malang sekalipun dia belum membuka diri menceritakan tentang Lesanpuro kepada Profesor Abdul. Aryo memilih untuk tetap bungkam sampai bisa menemukan titik terang. Tujuan selanjutnya adalah meminta penjelasan dari Bapak agar dia bisa melengkapi kepingan puzzle yang hampir diselesaikan. Satu persatu fakta mulai terkuak dan Aryo semakin bersemangat untuk melengkapi kekurangan tersebut.
 
Bagi Aryo kejadian mistis yang dia terima selama beberapa hari ini tidak seharusnya terlalu dikhawatirkan, berkat kejadian tersebut dia tidak lagi bermimpi aneh seperti hari sebelumnya.
 
Toh, itu risiko yang harus Aryo terima karena mengemban warisan dari para leluhur, sejak memutuskan untuk menerima Aryo sudah paham kalau kejadian seperti itu wajar terjadi. Aryo malah menganggap kalau dia sosok yang spesial, tetapi tidak mau besar kepala dan menyombongkan anggapan spesial tersebut. Aryo masih sadar betul untuk menempatkan diri.
 
Biarlah, hidup diatur oleh Sang Pencipta. Toh, pada dasarnya semua yang hidup akan kembali kepada-Nya. Aryo harus percaya, bahwa di muka bumi ini bukan hanya manusia sepertinya saja yang menempati tempat ini, tentu banyak makhluk lain yang menempati alam semesta hanya saja Aryo harus menyadari untuk jangan sekali-kali memercayai hal-hal di luar nalar dengan tujuan buruk. Dia harus menerima dengan tujuan baik dan selalu berpikiran positif.
 
“Kenapa senyum-senyum begitu, Mas? Jangan bilang kesambet?”
 
Aryo terperanjat ketika embusan napas mengitari area belakang tengkuk, begitu memutar badan mendapati Mas Ibra yang tengah berdiri sembari tersenyum lima jari. Aryo menarik lengan Mas Ibra menjauh dari kamar tersebut jangan sampai Mas Ibra membocorkan kepada Lintang kalau dia sedang mengintip tadi padahal bisa saja Aryo mengelak tidak sengaja tengah melintas. Ah, Aryo terlalu malas banyak berkata-kata.
 
Mas Ibra agak kaget melihat respons tubuh Aryo yang terkesan sedang menutupi sesuatu, sejatinya dia pun tidak akan mengadu yang aneh-aneh kepada Lintang kendati melihat dengan mata kepala sendiri kalau Aryo melebarkan senyum sembari melihat aktivitas Lintang di dalam sana. Perempuan itu sama sekali tidak menyadari kehadiran mereka.
 
Terjadi perbincangan singkat ketika keduanya sedang melangkah ke halaman depan guest houses. “Oalah, Mas Aryo tadi sedang mengintip Mbak Lintang, tho.” Mas Ibra kembali mengulang padahal sudah diperingatkan untuk jangan dibahas lagi.
 
Ngawur!” sanggah Aryo sambil mendudukkan diri di bangku bundar sebelah kanan Mas Ibra yang ada di teras. “Sudah saya bilang tidak sengaja lewat, jangan suka buat gosip. Nanti kalau sampai didengar Lintang tidak enak, kesannya saya cowok yang suka diam-diam mengintip.”
 
Mas Ibra tertawa mendengar penuturan tersebut. Aryo memang mudah terpancing dan digoda kalau menyangkut Lintang. Mereka saling bungkam dengan pikiran masing-masing, tetapi isi kepala Mas Ibra masih dirasuki oleh sosok Lintang sampai merasa ragu ingin melontarkan kalimat yang terus mengusik isi kepala sejak percakapannya dengan perempuan itu di bawah jembatan sukamaju tempo hari.
 
Terdengar sangat berisik.
 
Mas Ibra pun memberanikan diri bertanya, meskipun benak dilanda keraguan mendalam. “Menurut Mas Aryo, Mbak Lintang perempuan yang bagaimana?”
 
Semula Aryo sedang sibuk dengan cerita Profesor Abdul tentang buku bersampul hitam yang disimpan Bapak, sontak dia menoleh memandang Mas Ibra sepasang mata mereka saling beradu pandang, tiba-tiba pikiran Aryo menjalar tentang dugaan kalau jangan-jangan Mas Ibra menaksir Lintang. Melihat sikap Mas Ibra yang sering curi-curi pandang kepada sahabatnya itu, bahkan saat di bazar tempo hari Mas Ibra tampak sangat perhatian dengan Lintang. Wajar kalau Aryo jadi curiga.
 
Aryo tidak langsung menyahut seperti ada benda tajam yang menusuk ulu hati. Dia sedang berusaha meredam nyeri yang tiba-tiba menyapa padahal pertanyaan Mas Ibra bersifat universal tidak melulu tentang perasaan, bukan?  Langsung saja Aryo menjawab,
 
“Tinggi, putih, berambut lurus, dan—“
 
“Ish ...” Mas Ibra menginstruksi dengan gerakan tangan, mulut Aryo seketika membungkam. Dia juga tidak tahu kenapa kalimat tersebut yang justru diucapkan, “bukan ciri fisiknya!” sambung Mas Ibra, lalu menggeram kesal.
 
“Mas Ibra tadi tanya Lintang itu perempuan yang bagaimana. Iya, tho?”
 
“Iya, tetapi maksud saya kepribadian Mbak Lintang itu bagaimana menurut Mas Aryo.”
 
Aryo bergumam sembari mengelus dagu, tanda kalau dia tengah berpikir. Dugaan Aryo sepertinya nyaris benar seratus persen.  “Bagaimana kalau pertanyaan tersebut Mas Ibra dulu yang menjawab.”
 
Mas Ibra agak mendorong kepala ke belakang, raut wajahnya seolah ada gambar tanda tanya. “Kok, malah tanya balik? Tinggal dijawab apa susahnya.”
 
Aryo tersenyum tipis, cukup gemas melihat tingkah Mas Ibra seperti bocah ingusan yang baru pertama kali jatuh cinta. Meskipun baru mengenal Mas Ibra kurang dari dua minggu, tetapi Aryo dapat menyimpulkan kalau Mas Ibra bukan tipikal cowok yang suka ikut campur urusan orang lain, kecuali kalau diminta memberikan pendapat.
 
“Lintang baik. Perempuan yang penuh kehangatan dan pengertian, minusnya dia suka labil. Jadi, butuh kesabaran ekstra misalkan sifat labilnya sedang muncul ke permukaan.”
 
Mas Ibra terdiam untuk ke sekian kali. Dia mengembuskan napas perlahan lalu menemukan secercah fakta, mendengar dari jawaban Aryo sepertinya dia menganggap Lintang tidak lebih dari seorang sahabat. “Apakah Mbak Lintang termasuk kriteria perempuan idaman Mas Aryo?”
 
Aryo nyaris saja tersedak udara. Memang belum lama mengenal Mas Ibra, tetapi sikapnya kali ini benar-benar gamblang dan terang-terangan. Aryo tidak menyangka Mas Ibra yang terkadang terlihat dingin dan cuek ternyata pandai berterus terang. “Mas Ibra suka Lintang?” tukas Aryo tanpa tudung aling-aling. Tatapannya mengintimidasi. “Ya, tidak apa-apa sebagai sahabat Lintang, saya setuju-setuju saja. Mas Ibra lelaki yang baik meskipun sedikit dingin, tetapi karakter bisa disesuaikan seiring berjalannya waktu.” Mas Ibra menganga. Dia belum memberi jawaban, tetapi Aryo sudah menyimpulkannya sendiri.
 
Mas Ibra hanya menatap, sulit menjabarkan kata-kata pemuda dari dusun Kemusuk ini. Mas Ibra melayangkan seutas senyum karena sepertinya Aryo sudah salah mengartikan ucapannya tadi. Mas Ibra ingin menjelaskan, tetapi urung karena tidak mau Aryo semakin salah paham.
 
Dalam langkah hati-hati, Mas Ibra kembali menanggapi perkataan Aryo yang membuat Aryo semakin yakin dengan dugaannya.
 
“Memang benar pesona Mbak Lintang tidak diragukan lagi, siapa saja yang bertemu dengan dia pasti akan rela menoleh kedua kali untuk kembali melihat pesonanya. Perempuan memang diciptakan sebagai makhluk yang cantik dan menawan, tetapi cantiknya Mbak Lintang berbeda dengan perempuan di luaran sana.”
            
Aryo tersenyum tipis sembari mengangkat sebelah alis.
 
“Saya rasa Mas Ibra lelaki yang cukup gantle untuk mengatakan hal itu sendiri kepada Lintang,” sela Aryo padahal dia tahu kalau Mas Ibra belum menyelesaikan bicaranya.
 
“Saya rasa masih ada lelaki yang lebih pantas untuk Mbak Lintang daripada saya.”
 
Aryo tidak terlalu memedulikan apa maksud Mas Ibra sebenarnya. Dia hanya memercayai kata hati, bahwa Mas Ibra sudah jatuh hati dengan sahabatnya.
 
“Mas Ibra belum mencoba kenapa sudah berani menyimpulkan?”
 
“Sepertinya Mas Aryo sudah salah paham. Membicarakan perihal perempuan bukan passion saya. Lebih baik kita sudahi saja pembicaraan ini, jangan dianggap serius  saya hanya bercanda.”
 
“Sejak kapan membicarakan perempuan harus memiliki passion terlebih dahulu?” Aryo seolah tidak rela kalau Mas Ibra mengakhiri pembahasan yang seharusnya masih perlu untuk dituntaskan.
 
Namun, sepertinya Mas Ibra memang enggan untuk melanjutkan. Terlihat ketika dia menyeletuk sedemikian rupa. “Sejak hari ini dan saya yang mencetuskan.” Final Mas Ibra. Memberi isyarat agar Aryo tidak balik mendebatnya lagi. Memang benar perihal cinta bukan menjadi passion Mas Ibra niat hati ingin membantu Lintang, tetapi justru berakhir disalah pahami oleh Aryo.
 
Mas Ibra memang tidak cocok menjadi agen mak comblang.
 
Perbincangan mereka terjeda karena Aryo harus menerima panggilan telepon dari Bapak. Kalau sudah menelepon tanpa melayangkan pesan terlebih dahulu tentu ada hal penting yang ingin Bapak sampaikan.

The Last SecondWhere stories live. Discover now