PROLOG LEIDEN

1.1M 78.2K 19.5K
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun tak membuat gadis bertubuh kurus itu menyudahi acara belajarnya.

Rhea Gilda Nagendra namanya, gadis itu masih sibuk membolak-balikkan buku tebal yang ada ditangannya, buku yang berisi tabel-tabel angka yang terlihat sangat rumit. Sebenarnya gadis itu sudah memahami materi yang ada dibuku, namun jika ia menyudahi acara belajarnya maka sang Ayah akan marah besar dan kembali memukulinya lagi. Bahkan luka disudut bibirnya masih terasa sakit dan belum mengering.

Drttt drtt

Rhea melirik ponselnya yang bergetar. Sebelum mengambilnya, Rhea menatap pintu luar ruang belajarnya, takut jika Ayahnya tau ia memainkan ponsel.

Whatsapp

Fera teresia
Rhe, buru kerumah Karina, sekarang ya Rhe.

Anda
Memang kenapa? Ayahku pasti marah kalo aku keluar malem-malem.

Fera teresia
Karina meninggal, Rhe. Dia gantung diri.

Fera teresia
Sent a picture.

PRANG

Ponsel yang Rhea pegang jatuh kelantai begitu saja. Nyawanya seakan ditarik beberapa saat ketika membaca pesan terakhir dari Fera, ditambah foto rumah Karina yang dipenuhi para pelayat, jangan lupakan ada bendera kuning didepannya. Karina, sahabat satu-satunya bunuh diri.

Dunia Rhea seakan runtuh dibuatnya, Karina satu-satunya orang yang peduli dengannya kini telah pergi. Pergi meninggalkan dirinya sendiri didunia kejam ini.

"Enggak. Karina... enggak mungkin!" Rhea menggeleng tak percaya. Air mata jatuh dari pelupuk matanya, Tuhan ini bukan mimpikan?

"Apa yang jatuh Rhea?" Tanya Faizan, ayah Rhea.

Mata Faizan menangkap ponsel Rhea yang jatuh dilantai. "Astaga Rhea! Ponsel kamu!" Teriaknya.

Rhea berlari mendekati Faizan, ia memegang lengan kekar sang ayah. "Ayah tolong anterin Rhea kerumah karina sekarang. Rhea mohon ayah!"

"Mau apa kesana? Besok kamu ada ulangan harian. Jadi cepat kembali belajar!" Perintah Faizan.

Rhea menggeleng, air matanya semakin deras membanjiri pipi. "Ka-karina meninggal ayah, dia bunuh diri. Tolong ayah,"

Rhea jatuh berlutut didepan Faizan. Bahkan ia memegangi kedua kaki Faizan tanda memohon. Air matanya jatuh membasahi kaki Faizan yang terbalut sepatu pantofel hitam berkilau.

Faizan terdiam sejenak. Tak lama setelahnya ia membuka suara. "Ayah tidak peduli, cepat kembali belajar. Besok kamu ulangan mapel akuntansi, kan? Itu sangat penting, Rhea." Ujarnya tak bisa dibantah.

Rhea semakin memegang erat kaki Faizan. "Rhea mohon ayah. Sekali ini aja, Karina lebih penting," mohon Rhea tanpa ia sadari ia meninggikan nada suaranya.

Faizan mendesis marah. Ia mengibaskan kakinya, membuat Rhea melepaskan cekalannya. "Jangan membuat ayah marah, Rhea."

"AYAH RHEA MOHON!"

BUGH

Rhea terdorong kebelakang hingga punggungnya membentur meja belajar, ringisan terdengar dari mulut kecil gadis itu. Sungguh ini sangat sakit, Faizan menendang bahunya dengan tak berperasaan.

"Berani kamu membentak Ayah?!" Faizan berjongkok, ia mencekram dagu Rhea dengan kuat.

"Sekali lagi kamu membentak Ayah. Ayah akan pukul kamu lebih kasar lagi!" Desis Faizan lalu menghempaskan dagu Rhea kesamping.

Faizan berdiri dari duduknya. "Cepat kembali belajar. Kegiatan itu lebih penting daripada kamu melihat mayat sahabatmu." Katanya lalu melenggang pergi meninggalkan ruang belajar Rhea.

Rhea meringkuk dilantai, dingin lantai langsung menusuk kulitnya yang hanya terbalut baju tidur berlengan pendek. Ia menangis menumpahkan rasa sesaknya.

Baru tadi sore ia bertemu dengan Karina, dan sahabatnya itu masih baik-baik saja walaupun dengan mata yang sedikit membengkak. Rhea tau Karina tertekan karena perpisahan kedua orang tuanya. Namun ia tak sampai berfikir jika Karina akan melakukan hal senekat itu.

Ulu hatinya serasa ditusuk-tusuk dengan belati beracun. Bahkan rasa sakit ini melebihi pukulan keras sang ayah jika menggunakan ikat pinggang.

Dengan sisa tenaganya, Rhea mengambil ponselnya yang tergeletak dilantai. Ia mengetikkan sesuatu disana, mencoba menelpon kekasih tercintanya.

"Hal-"

"Bego! Gue lagi ngegame jadi kalahkan bangsat!" Bentakan terdengar dari sebrang sana.

Rhea memejamkan mata mendengar cacian dari Skala. Setelah pukulan dari sang Ayah, Rhea juga sudah terbiasa dengan makian dan cacian dari Skala.

"Skala bisa jemput aku? Karina, sahabat aku meninggal bunuh diri. Tolong anterin aku kesana," pinta Rhea dengan lirih, suaranya terdengar sangat serak.

"Nggak bisa. Gue lagi ngegame, jadi orang jangan nyusahin ngapa sih!"

"Skala please, kali ini aj-"

Tutt

Rhea menatap nanar ponselnya, Skala memutuskan sambungan telpon mereka secara sepihak. Tak ada yang peduli dengan Rhea, bahkan semua orang terdekat Rhea membenci keberadaannya.

Kini Rhea benar-benar sendiri. Karina yang menjadi tempat bersandarnya telah pergi ketempat yang tak mungkin bisa ia gapai. Lalu kini Rhea harus bersandar kepada siapa?

Skala yang menjadi harapan Rhea satu-satunya, pun ikut memberikannya luka yang sama dalamnya dengan yang diberikan ayah dan ibunya.

Rhea memeluk kedua lututnya, lantai sudah basah dengan air mata gadis itu. Kepala Rhea tiba-tiba menjadi pusing dan segala sesuatu yang ia lihat nampak buram serta menjadi dua.

"Karina," lirih Rhea lalu tak lama setelahnya kegelapan menyambut gadis itu.

Rhea pingsan, tak kuasa menahan pedih didada karena ditinggalkan orang yang ia sayang. Tuhan benar-benar menyayanginya sampai-sampai penderitaan yang ia alami tak pernah habis dan selesai.

**********

Readers yang hanya stuck diprolog adalah golongan manusia yang tidak setia, wkwk canda setia.

Jum'at, 15 Januari 2021.
Next?

Repost
Selasa, 19 April 2022

LEIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang