CHAPTER 12

288K 38.3K 5.7K
                                    

SELAMAT MEMBACA, JANGAN LUPA COMMENT DISETIAP PARAGRAF💬

DAN SELAMAT MERASAKAN PENDERITAAN RHEA:)

[CHAPTER 12 - TANGIS KEPILUAN]

"Tuhan, kapan aku bahagia?"
Rhea Gilda Nagendra

Rhea kini tengah terbaring lemah diatas kasurnya, badannya terbungkus dengan selimut tebal berwarna abu-abu. Gadis itu sudah tertidur selama tiga jam. Tadi setelah mandi sore dan mengobati luka-lukanya serta mengurut kakinya dengan cara melihat tutorial digoogle, badan gadis itu langsung demam dan menggigil.

Sudah menjadi kebiasaan Rhea jika sehabis dipukuli Faizan maka badan gadis itu akan demam karena efek luka-luka lebam ditubuhnya.

Ceklek

Faizan membuka pintu kamar Rhea, lelaki itu masih menggunakan setelan jas kantor yang menandakan jika dia baru pulang bekerja.

"Astaga Rhea kamu anak pemalas sekali!" Faizan mendekat dan membuang selimut yang membalut tubuh kedinginan Rhea. Lalu Faizan menarik Rhea hingga gadis itu tersungkur kelantai.

"Akhh!" Rhea memekik pelan, kepalanya membentur lantai.

"Bangun kamu!" Faizan menarik lengan Rhea dengan kasar hingga gadis itu berdiri.

"Ayah pelan-pelan," mohon Rhea.

Lengan Rhea yang baru diobati dicengkram kuat oleh Faizan, padahal memar kebiruan disana sangat nyeri ketika tersenggol, tapi ini Faizan mencengkramnya dengan sangat kuat. Rasanya sungguh sangat sakit.

"Mana hasil ujian kamu? Ayah tadi menanyakan ulangan harian kamu kepada wali kelas. Katanya hari ini ulangan kamu diadakan," tanya Faizan tanpa melepas cengkramannya.

Rhea menggigit bibir bawahnya menahan sakit sekaligus takut. Jujur jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, bagaimana jika Faizan tahu nilai ulangannya dibawah sembilan puluh? Rhea sudah tidak sanggup lagi jika harus dipukul terus menerus. Tubuhnya bahkan sekarang serasa remuk.

"Mana Rhea?!" Faizan mengeraskan suaranya.

"A-ada ditas," lirih Rhea pelan.

Dengan kasar Faizan mendorong tubuh Rhea kelantai, hingga badan gadis itu membentur lemari pakaian. Rhea memekik tertahan, ia meringkuk dilantai, punggungnya yang lebam-lebam semakin terasa sakit.

Faizan mengeluarkan semua isi tas Rhea kelantai. Selembar kertas terlipat menjadi dua ikut keluar dari tas, dan Faizan tahu jika itu adalah kertas jawaban sang anak. Dengan cepat Faizan mengambil kertas itu dan membuka lipatannya.

Mata Faizan menatap tajam kertas jawaban itu, tatapannya nampak membara. Dengan penuh amarah Faizan menyobek kertas itu menjadi dua dan menginjak-injaknya.

"Apa-apaan ini Rhea?! Kenapa delapan puluh delapan? Ayah, kan sudah pernah bilang jangan sampai dibawah sembilan puluh!" Bentak Faizan.

"Maaf ayah," lirih Rhea, gadis itu sudah berderai air mata. Aura Faizan seakan mencekiknya. Rhea benar-benar dilanda rasa takut.

Faizan, ayahnya sendiri adalah sumber ketakutan Rhea. Gadis itu selalu merasa takut, cemas berlebih dan gelisah ketika melihat wajah Faizan. Seperti penderita panic disorder ketika melihat sesuatu yang menjadi traumanya, namun yang dialami Rhea masih belum terlalu parah.

Faizan sedikit membungkuk dan menarik rambut Rhea. Memaksa gadis itu untuk berdiri dengan sangat kasar.

"AKH AMPUN AYAH, SAKIT!" Rhea berteriak histeris, kulit kepalanya serasa ingin sobek dan lepas dari kepalanya.

LEIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang