CHAPTER 19

284K 36.7K 9K
                                    

SELAMAT MEMBACA, JANGAN LUPA COMMENT DISETIAP PARAGRAF💬

[CHAPTER 19 - TENTANG SKALA DAN RHEA]

"Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang sudah kamu miliki saat ini."
Rhea Gilda Nagendra

Rhea diam ketika perawat menggantikan perban dikepalanya karena berantakan dan hampir terlepas, ia juga masih diam ketika perawat mengganti infusnya. Tatapannya nampak kosong, wajahnya pucat dan terlihat seperti orang yang putus asa. Hal itu membuat sang perawat risau dan khawatir.

"Apa anda baik-baik saja?" Tanya perawat itu.

Rhea tersenyum tipis, sangat tipis. Hatinya berteriak pilu, mana ada orang yang baik-baik saja saat sudah divonis lumpuh? Mana ada orang yang akan tetap baik-baik saja jika ada diposisinya? MANA ADA?

Rasanya Rhea ingin berteriak menumpahkan semua keluh kesahnya, tapi kini ia benar-benar sendiri. Lalu harus pada siapa ia berbagi beban?

"Apa anda butuh sesuatu?" Tanya perawat itu lagi.

Rhea menoleh, "Tolong bantu saya duduk disana, sus." Pintanya dengan menunjuk kursi roda yang ada diujung ruangan.

Tanpa fikir panjang lagi, perawat itu langsung mengambilkan kursi roda yang Rhea minta. Dengan sedikit kesusahan, perawat itu membantu Rhea agar duduk dengan nyaman dikursi roda.

Setelah dirasa nyaman, perawat itu kembali mengajukan pertanyaan pada Rhea. "Anda ingin kemana dengan kursi roda ini?"

"Saya ingin melihat itu," jawab Rhea dengan menunjuk kearah jendela kaca besar diruangannya.

Perawat itu mengangguk paham lalu dia membantu Rhea untuk mendorong kursi roda agar cepat sampai ketempat yang gadis itu inginkan.

"Apa anda butuh sesuatu yang lain?" Rhea menggeleng sebagai jawaban.

"Kalau begitu saya permisi," sang perawat mengundurkan diri dan meninggalkan Rhea sendirian diruang rawat inap.

Setelah memastikan pintu ditutup rapat oleh perawat tadi, Rhea langsung mengalihkan atensinya kearah jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan. Jika diilihat dari lantai empat tempatnya berada sekarang, jalanan kota jakarta sangat indah dengan lampu kendaraan yang menerangi setiap sisi. Lampu gedung-gedung besarpun tak kalah ikut andil dalam menghiasi suasana malam dijakarta.

Rhea menghembuskan nafas pelan, lalu perhatiannya beralih kelangit yang nampak ditaburi bulan dan beberapa bintang.

Rhea tersenyum tipis, tangannya terangkat mengeluarkan kalung berbandul bulan yang tersembunyi dibalik bajunya. Ia memandangi kalung itu dengan senyum yang semakin melebar. Itu kalung pemberian Skala.

"Rhea, kamu itu ibarat bulan. Selalu bersinar menjadi penerang dikegelapan malam. Tanpa kamu malam akan terasa mengerikan, Rhe. Dan kamu tau, aku ibarat malam itu dan kamu bulannya,"

Air mata Rhea menetes, perkataan Skala kembali terngiang-ngiang ditelinganya. Ia sangat mencintai Skala, bahkan melebihi ia mencintai dirinya sendiri.

Skala adalah penerang dikehidupan Rhea. Skala adalah laki-laki pertama yang memberikan Rhea cahaya terang dan bisa membuat Rhea merasakan arti kebahagiaan ketika ayah kandungnya sendiri berlaku buruk. Skala selalu ada saat Rhea terjatuh dan butuh bahu bersandar. Dan Skala adalah laki-laki pertama yang membuat Rhea mengetahui apa itu cinta dan rasanya dicintai.

Lelaki itu sangat berarti bagi Rhea.

Tapi saat perubahan sikap Skala yang benar-benar 180 derajat berubah dari biasanya membuat Rhea kaget, syok, kecewa, sedih dan terluka. Perubahan Skala seakan mimpi buruk dihidup Rhea. Semua terjadi begitu cepat seakan semuanya terasa tak nyata. Bahkan sampai saat ini Rhea masih belum bisa menerima perubahan Skala.

LEIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang