CHAPTER 09

307K 42.3K 7.1K
                                    

SELAMAT MEMBACA, JANGAN LUPA COMMENT DISETIAP PARAGRAF💬

[CHAPTER 09 - LUKA PEMBERIAN SKALA]

"Terlalu sering dijatuhkan sampai aku lupa caranya untuk bangkit."
Rhea Gilda Nagendra

Rhea menunduk dalam, air matanya sudah penuh dipelupuk mata. Ia tak ingin Skala tau ia menangis, karena Skala dulu pernah berkata bahwa dia tak suka perempuan yang lemah. Dan Rhea tak ingin Skala menganggapnya sebagai perempuan yang lemah. Ia tak ingin Skala semakin membencinya. Ia sangat menyayangi Skala.

Skala mendesis sinis. "Nangis terus! Nangis terus! Asal lo tau aja kalo gue nggak akan luluh sama air mata buaya lo." Ujarnya.

Rhea mendongak, saat itu juga air matanya tumpah. "Skala, kamu... kamu nggak sayang sama aku?" Tanyanya lirih.

"Apa? Sayang? Nggak salah denger gue, lo nanya kaya gitu? Astaga Rhea-Rhea," Skala menjeda ucapannya sembari menggeleng-gelengkan kepala. Lelaki itu lalu terkekeh.

"Lo masih mikir gue sayang sama lo setelah apa yang gue lakuin? Apa perbuatan gue kurang kasar sampe lo masih mikir gue sayang sama lo? Astaga, otak lo dimana sih Rhea. Heran gue," imbuh Skala.

"Dari awal juga gue nggak pernah sayang apalagi cinta sama lo," katanya lagi.

Sudah tak bersisa, hati Rhea sudah hancur menjadi debu. Skala begitu lihai dalam menghancurkan hatinya hanya dengan perkataan.

Rhea termenung, jika Skala dari awal tak mencintainya lalu kenapa lelaki itu mau menjadikannya pacar? Kenapa dulu lelaki itu bertingkah manis, perhatian dan peduli padanya? Bahkan dulu Skala dengan senang hati mendengarkan curahannya tentang sikap buruk Faizan. Namun kenapa? Kenapa sekarang Skala malah berkata seperti itu?

"Kalo kamu nggak sayang sama aku kenapa kamu dulu deketin aku Skala? Kenapa kamu marah aku deket sama Beni? Kamu cemburu, kan?" Tanya Rhea dengan suara paraunya.

Dalam hati Rhea mengharap jika jawaban Skala memang cemburu, ucapan lelaki tadi hanyalah sebatas amarah saja karena sedang cemburu. Jika cemburu maka menandakan Skala mencintainya, kan?

Semoga saja, semoga saja Skala cemburu.

Skala menatap Rhea dengan tatapan merendahkan. "Cemburu? Jadi marah-marah gue ini lo anggep cemburu?"

Skala terkekeh, ia menepuk-nepuk pipi Rhea yang terluka, membuat gadis itu meringis. "Bangun Rhea, bangun. Lo kalo mimpi ketinggian. Gue nggak pernah cemburu sama lo,"

Skala maju satu langkah, ia menunduk mendekatkan wajahnya kepada Rhea. "Asal lo tau, gue lakuin ini karena gue nggak mau dipandang remeh sama murid lain. Gue nggak mau orang-orang tau kalo lo jalan sama laki-laki lain tapi gue diem aja. Gue nggak mau mereka ngira gue terlalu bucin sama lo karena gue nggak marah. Mau ditaro mana muka gue? Seorang Skala Shagufta Alterio bucin sama cewe kaya lo, sampe gue mati juga itu nggak bakal terjadi."

Skala menegakkan badannya, telunjukkan ia letakkan dikening Rhea. "Gue tekanin lagi ke lo," Skala menjeda ucapannya.

"Gue. Nggak. Peduli. Sama. Lo!" Ujar Skala dengan mendorong kening Rhea disetiap kata dengan telunjuknya.

Rhea sedikit oleng, tangannya berpegangan pada tiang penyangga bangunan. "Kalo gitu kenapa kamu nggak putusin aku Skala?" Tanyanya lirih.

Skala menatap datar Rhea. "Karena gue belum puas nyakitin lo!" Jawabnya.

Mata Rhea semakin mengeluarkan bulir-bulir liquid bening. "Skala, aku sayang sama kamu." Gumamnya pelan.

Skala tertawa ringan, lalu wajahnya kembali datar lagi. "Dan lo tau? Gue adalah orang tersial didunia karena disayang sama lo," balas Skala lalu ia menabrak bahu Rhea dengan sengaja dan melangkah meninggalkan Rhea.

BRUK

"Aghh! Skala sakit," Rhea terjatuh dengan kedua tangan yang memegangi kakinya yang terkilir. Skala menabraknya dan lelaki itu tadi menendang kakinya yang terkilir, entah itu sengaja atau tidak. Sungguh rasanya sakit sekali, kaki Rhea berdenyut nyeri, tulangnya seperti digeser.

Skala menghentikan langkahnya, lelaki itu menoleh. Netranya teralih ke kaki Rhea. Rok abu-abu gadis itu sedikit tersingkap sampai betis, menampilkan luka memar dan luka basah yang masih memerah. Rhea hanya memakai kaos kaki pendek, makanya luka itu bisa terlihat.

"Astaga Rhea!" Beni berlari mendekati Rhea.

Lelaki itu berjongkok tepat didepan Rhea. "Lo nggak pa-pa? Ada yang sakit?" Tanya Beni.

Skala mendesis sinis melihat kekhawatiran Beni, lelaki itu mendecih kesamping lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan Rhea.

"Skala," lirih Rhea menatap punggung Skala yang mulai menjauh.

"Apa yang sakit Rhe? Mau gue anter kerumah sakit?" Tanya Beni. Lelaki itu hendak menyentuh kaki Rhea namun Rhea memberingsut mundur.

"Makasih Beni tapi nggak usah, aku bisa sendiri." Ujar Rhea.

"Kaki lo luka parah gini, Rhe. Harus diobatin,"

Rhea menggeleng. "Aku nggak pa-pa kok. Beni nggak usah peduliin aku,"

Beni berdecak sebal. "Gimana gue bisa nggak peduli kalo keadaan lo aja kaya gini, Rhe. Ayo gue anter ke UKS," Beni hendak membantu Rhea berdiri namun ditolak gadis itu.

"Aku nggak pa-pa Ben. Sebaiknya kita jaga jarak," kata Rhea.

"Apa ini karena Skala? Dia ngancem lo? Atau ini karena bokap lo?"

"Lupain, Ben. Lupain kejadian kemarin, anggep aja kamu nggak pernah liat aku dipukul ayah." Mohon Rhea.

"Mana bisa gue lupain kejadian kemarin, Rhe. Itu terlalu kelewatan. Apa yang bokap lo lakuin itu udah diluar batas wajar," jelas Beni.

Rhea terdiam, gadis itu kembali menunduk. Ia tak tahu harus menimpali ucapan Beni dengan kalimat apa.

"Ayo gue bantu berdiri. Kalo nggak mau ke UKS lebih baik lo duduk disitu dulu," ujar Beni dengan menunjukkan kursi panjang yang tak jauh dari keberadaan mereka. Rhea sedikit menimang, akhirnya ia menganggukkan kepala pelan.

"Ayo," Beni meraih tangan Rhea dan memapanya untuk berjalan kebangku yang jaraknya lima meter dari mereka.

Beni mendudukkan Rhea dengan hati-hati bagaikan barang yang mudah pecah. Beni selalu mendengar kata ibunya jika wanita itu adalah makhluk yang lemah dan patut dijaga serta dihormati. Walaupun terkadang tak jarang Beni bertingkah tengil pada teman perempuan dikelasnya, tapi jika untuk melakukan itu kepada Rhea, Beni masih berfikir dua kali.

Beni jarang sekali mengganggu Rhea dan berbicara kepada gadis itu. Ia hanya mengamati Rhea dalam diam saja. Ia tahu gadis itu memiliki banyak masalah dan semua pemikirannya itu terjawab dengan apa yang ia lihat kemarin.

"Rhe sebenernya apa yang terjadi sama keluarga lo. Kenapa bokap lo tega mukulin lo kaya gitu? Dan kemana nyokap lo?" Tanya Beni.

"Untuk apa kamu mau tau Ben? Itu nggak akan berguna buat kamu." Balas Rhea lirih.

"Seenggaknya biar lo lega aja, gue nggak tega liat lo."

"Semua aku pendam sendiri juga nggak pa-pa kok. Selama ini aku udah sering cerita ke Karina, jadi aku udah lega. Dan maaf sebelumnya, kamu nggak perlu kasian sama aku, Ben." Rhea tersenyum tipis, tapi Beni tau itu adalah senyum kepedihan.

"Tapi lo masih ada temen selain Karina, kan?" Tanya Beni ragu. Pasalnya Rhea itu gadis yang over introvert, bahkan ia jarang berkomunikasi dengan teman sekelasnya kecuali dengan Karina.

Rhea menggeleng pelan. "Nggak ada, cuma Karina. Setiap orang yang deket sama aku bakal ngejauh karena tau gimana hancurnya keluarga aku, Ben. Mungkin mereka malu. Tapi cuma Karina yang masih bertahan sampai dia menutup mata,"

**********

Ayo tim hatersnya Skala mana? Ayo hujat Skala!

Repost
Sabtu, 23 April 2022.

LEIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang