CHAPTER 34

296K 38K 14.2K
                                    

Maaf telat update, lagi ada problem dirumah yang buat fokus terpecah.

SELAMAT MEMBACA, JANGAN LUPA COMMENT DISETIAP PARAGRAF💬

PART INI DIDEDIKASIKAN UNTUK PECINTA KELUARGA PAPA STAR

[CHAPTER 34 - PAPA BINTANG DAN SHILA BERULAH LAGI]

"Berhentilah menghakimi yang hanya terlihat dari mata, karena untuk urusan hati penglihatanmu tak akan sampai kesana."
Rhea Gilda Nagendra

Atlas menangkap tubuh Rhea yang hampir jatuh karena kerasnya tarikan Vania. Wajah lelaki itu syarat akan kekhawatiran dan kecemasan.

"Rhe jangan," pinta Atlas lagi dengan menggeleng pelan.

Rhea membenahi tongkatnya, ia langsung kembali berdiri dengan benar. Sedangkan tangan Vania masih setia mencengkram pergelangan tangan kanan Rhea.

"Aku akan baik-baik aja, At." Balas Rhea, garisan senyum terukir dibibir gadis itu.

Atlas sampai heran, apapun kondisi dan masalah yang Rhea alami, gadis itu pasti selalu tersenyum walaupun hanya senyuman tipis. Entah terbuat dari apa hati gadis itu sampai tak pernah menyematkan rasa dendam pada orang yang telah menyakitinya.

Atlas benar-benar tak habis fikir. Seumur hidupnya ia baru bertemu gadis dengan hati malaikat seperti Rhea.

"Ayo Rhea!" Seru Vania, wanita paruh baya itu nampak tak sabaran.

"Iya sebentar bunda." Rhea melepaskan cekalan tangan Vania. Tangannya beralih memegang bahu kiri Atlas.

Masih dengan senyum yang terpatri, Rhea berucap kembali kepada Atlas. "Makasih udah mau hantar aku kesini, At. Sekarang Atlas pulang ya, udah sore. Aku juga ini mau dites kecocokan ginjal untuk donorin ke ayah," katanya, lalu Rhea membalikkan badannya dan melangkahkan tongkatnya menjauhi Atlas.

Sebelum menyusul Rhea, Vania terlebih dahulu menyempatkan diri untuk menemui Atlas. "Jauhi Rhea! Kamu membawa dampak buruk untuknya," ungkap Vania lalu ia ikut pergi menyusul Rhea dan dokter Pambudi.

Rahang Atlas mengetat, ia mengamati punggung Vania dan Rhea yang mulai menjauh dan akhirnya menghilang dari pandangannya.

Atlas mengacak-acak rambutnya geram, "ARGHH!" Atlas berteriak kesal. Kakinya ia ayunkan untuk menendang bangku bermaterial baja yang ada didepan ruang rawat inap Faizan.

PRANG

Suara gaduh memenuhi isi koridor disana, kursi yang Atlas tendang mengeluarkan suara yang memekikkan telinga. Suara antara baja dan lantai yang bertubrukan begitu nyaring dan mengganggu indra pendengaran.

Untung saja setiap ruangan rawat disana kedap suara, jadi pasien yang sedang beristirahat tak akan terganggu.

"Orang tua sialan!" Maki Atlas dengan nafas yang tak beraturan.

Atlas kembali mengacak-acak rambutnya. Lelaki itu benar-benar marah, ia tak menyangka ada orang tua seegois Vania dan Faizan. Mereka rela mengorbankan anaknya sendiri demi kebaikan individu.

Umpatan dan makian berkali-kali Atlas lontarkan untuk Vania dan Faizan walaupun hanya dari dalam hati.

Atlas menghela nafas kasar, ia menatap koridor kosong yang tadi Rhea lewati. "Lo terlalu baik, Rhe. Seharusnya lo nggak hidup didunia yang kejam ini," lirihnya dengan menatap nanar koridor disana.

LEIDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang