Chapter DCXIII

1.6K 303 5
                                    

Aku duduk, dengan masih menatapi Izumi yang tengah berteriak ke arah seorang Elf laki-laki. Laki-laki dari kalangan Elf tersebut, tak henti-hentinya mengayunkan pedang kayu di tangannya ke arah Zeki yang masih dengan santai menangkis setiap serangannya. “Sachi,” suara Bibi Elf yang kembali terdengar, membuatku menoleh ke arahnya.

“Hikaru tertidur, Bibi akan membawanya ke rumah. Apa kau ingin tetap di sini? Atau ikut Bibi ke rumah?”

“Aku, akan di sini lebih lama. Aku akan ke rumah Bibi, setelah latihan ini selesai,” ucapku, sambil menundukkan kepala dengan mengusap pipi Hikaru yang lelap tertidur di gendongannya.

“Baiklah,” ucap Bibi beranjak berdiri, “jangan terlalu memaksakan diri. Ingatlah anak yang ada di dalam kandunganmu itu!”

Aku menganggukkan kepala membalas perkataannya, “aku mengerti, Bibi,” ucapku tersenyum, sebelum akhirnya dia berbalik lalu berjalan meninggalkan kerumunan.

Aku kembali melirik ke arah para Elf perempuan yang masih riuh memberikan teriakan semangat, sebelum akhirnya lirikan mataku itu kembali terjatuh ke arah Zeki yang tertawa ketika Izumi meneriakinya sambil mengacungkan pedang kayu yang ada di tangannya itu kepada Zeki. “Perasaan ini … Aku benar-benar tidak menyukainya,” ucapku pelan, sambil menundukkan pandangan.

Aku semakin terdiam, tatkala kurasakan telapak tanganku itu semakin basah oleh tetesan air yang jatuh. Sesekali, kedua tanganku itu terangkat mengusap mataku yang terasa perih tersebut. “Sachi, apa yang terjadi?” Aku mengangkat kembali wajahku, saat kurasakan genggaman erat di tanganku.

“Zeki,” ucapku dengan bibir gemetar menyebutkan namanya.

“Apa yang terjadi? Jangan membuatku cemas seperti ini,” balasnya, diikuti kedua ibu jarinya yang mengusap kedua mataku bersamaan.

“Ini semua karenamu … Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku?” Aku sesenggukan sambil berusaha menjauhkan kedua tangannya yang memegang pipiku.

“Aku? Apa kesalahan yang aku lakukan?”

“Kau masih bertanya?”

“Kenapa? Kenapa, kau membuka bajumu di depan perempuan lain? Apa kau ingin menarik perhatian mereka? Apa kau sedang berusaha mencari Istri yang baru karena aku tidak bisa melakukan apa pun untukmu di saat hamil?”

“Kau pikir, aku hamil seperti ini dapat terjadi dengan sendirinya, kah?” tukasku beruntun menatapnya.

“Apa yang kau maksudkan? Siapa pula yang ingin mencari Istri baru?”

“Mereka berbisik bagaimana menariknya dirimu, mereka juga berbisik jika tak masalah memiliki anak darimu … Kenapa juga kau melepaskan pakaianmu di hadapan mereka, jika kau sudah bosan padaku … Hanya katakan saja,” ucapku kembali tertunduk dengan kedua telapak tangan mengusapi mata.

Aku masih mengusapi mata dengan jari-jariku saat suara helaan napas terdengar darinya, “aku pergi ke sini tanpa membawa pakaian ganti, aku hanya tidak ingin jika pakaianku itu dipenuhi keringat yang justru membuatmu tidak nyaman berdekatan denganku-”

“Kau bisa meminjam pakaian kakakku, kau hanya sedang mencari alasan,” jawabku sambil beranjak berdiri lalu berjalan meninggalkannya.

“Kau ingin ke mana?”

“Mencari Kakekku! Jangan coba-coba untuk mengikutiku! Kau, tebarkan saja pesonamu itu kepada mereka,” gerutuku sambil terus melanjutkan langkah semakin jauh meninggalkan kerumunan.

Langkahku terus berlanjut, sambil sesekali aku mendongakkan kepala dengan menghirup napas sedalam mungkin. “Sachi, jangan berjalan sendirian! Tunggu aku!” Aku menghentikan langkah, dengan berbalik ke belakang saat suaranya kembali terdengar.

“Aku memintamu untuk jangan mengikutiku-”

“Lalu apa kau pikir aku akan mendengarkan perintah konyol itu begitu saja?” sahutnya yang langsung memotong perkataanku.

Lidahku berdecak dengan kepalaku bergerak ke samping saat dia telah menghentikan langkahnya di depanku, “jangan habiskan tenagamu untuk memikirkan sesuatu yang tidak penting seperti itu-”

“Tidak penting?”

“Baiklah, maafkan aku,” ucapnya sambil meraih dan menggenggam tanganku erat.

“Berjanjilah padaku, kau tidak akan melirik perempuan lain!”

“Aku berjanji.”

“Berjanjilah padaku, kau tidak akan memberikan kesempatan pada perempuan lain untuk mendekatimu!”

“Baiklah, aku berjanji,” sahutnya lagi menimpali perkataanku.

“Dan berjanjilah padaku, kau akan selalu mendukung keputusanku walau nyawaku nanti yang menjadi taruhannya-”

“Apa yang kau maksudkan?” Raut wajahnya berubah, diikuti langkah kakinya yang bergerak semakin mendekatiku.

“Bukan apa-apa, aku hanya asal berbicara,” ungkapku tersenyum sebelum membuang kembali pandangan.

“Rumah Kakek ada di sana, apa kau ingin ikut pergi denganku menemuinya?”tanyaku dengan lagi-lagi menjatuhkan pandangan ke arahnya.

Zeki tak menjawab, hanya tangannya yang menggenggam tanganku itu saja yang menarik tubuhku untuk berjalan di belakangnya ke arah yang aku tunjuk. “Jangan mengatakan kata-kata seperti itu lagi,” ucapnya, yang kembali membuka suara walau pandangannya enggan menoleh ke arahku.

“Aku, sungguh-sungguh tidak ingin mendengarnya,” ucapnya lagi yang menimpali perkataannya sendiri.

“Maafkan aku. Aku, tidak akan mengulanginya,” jawabku, sambil tetap menatapinya.

Aku pun diam, tak mengucapkan apa pun lagi saat Zeki sama sekali tak membuka mulutnya kembali untuk berbicara. Aku menghela napas pelan, saat langkah kaki kami berdua berhenti di sebuah rumah kayu yang tak kalah besar dari rumah yang ditinggali kakakku. Aku berjalan mendekati pintu rumah, saat Zeki melepaskan genggaman tangannya padaku, “kakek, apa kakek ada di dalam?” tukasku, dengan beberapa kali mengetuk pintu rumah tersebut.

“Kakek, ini Sachi. Aku dan suamiku datang berkunjung,” ucapku kembali sambil terus mengetuk pintu tersebut.

“Tetua, mungkin sedang berada di Altar.”

“Dia, dia biasanya pergi untuk bersemedi di Altar setiap sore seperti ini,” ucap anak laki-laki Elf yang telah berdiri di dekat kami.

“Apa kau bisa memberitahukanku, di mana Altar tersebut?” tanyaku, dengan melangkahkan kaki mendekatinya.

“Di hutan, di mana para rusa berkumpul,” ujarnya sambil menunjuk ke arah kanan tubuhnya.

“Berapa lama, biasanya Beliau bersemedi?” tanyaku kembali pada anak laki-laki tersebut.

“Tetua bersemedi untuk menjaga sihir pelin-” tukas anak laki-laki itu terhenti dengan tangan menutup mulutnya, “dia biasanya akan pulang setelah pergantian hari, saat terang bertemu gelap,” ungkapnya menyambungkan perkataan.

“Baiklah, terima kasih karena telah memberitahukanku,” ucapku, sambil tersenyum menatapnya.

“Sihir yang keluar dari tubuhmu berbeda dengan kami, begitu kuat dan dingin,” ungkapnya yang kembali aku balas dengan senyuman dariku.

“Benarkah? Aku tidak menyadarinya. Namun, sekali lagi terima kasih,” ucapku yang melanjutkan langkah mendekati Zeki.

“Apa kau yakin ingin ke sana? Kita bisa menunggunya di sini, aku tidak ingin kau terlalu lelah berjalan,” ucapnya, saat aku menghentikan langkah tepat di depannya.

“Baiklah. Rumah Bibi, ada di dekat sini, bagaimana jika kita menunggu kakek di sana?”

Dia menghela napas sebelum menganggukkan kepalanya, “baiklah, asal kau tidak terlalu banyak bergerak,” ucapnya yang kembali meraih lalu menggenggam tanganku.

Aku berjalan dengan menarik pelan tangannya untuk mengikutiku dari belakang, “berada di sini, waktu terasa berjalan sangat lamban, bukan?” tukasku, dengan melangkah tanpa menoleh ke arahnya.

“Kau benar,” jawabnya singkat ketika dia sendiri telah berjalan di sampingku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang