Chapter DCLXXVII

2.3K 508 31
                                    

"Apa kau sudah memeriksanya kembali?" tanya Zeki dengan mengangkat tas besar yang telah aku tinggalkan ke pundaknya.

Aku mengangguk sambil duduk berjongkok di belakang Huri, "aku telah memeriksanya. Apa kita harus pergi secepat ini? Maksudku, kalian juga baru pulang," ucapku dengan menggerakan tangan, menguncir rambut panjang Huri menggunakan sebuah pita kain berwarna cokelat.

"Ini perintah dari Kakakmu, kesepakan kami sebelum memutuskan untuk tinggal di sini," jawabnya seraya berjalan keluar dengan membawa tas besar tersebut di pundaknya.

"Ibu!"

Tatapan mataku beralih pada Ihsan yang memanggil. "Kita akan pergi ke mana?" tanyanya setelah beranjak berdiri di dekatku.

"Kita akan pergi ke pernikahan teman Ibu, Ayah dan Paman kalian. Berhubung Dunia Luar itu berbahaya, dengarkan perkataan Ayah dan Ibu! Kalian akan melakukannya, bukan?" tukasku, mereka mengangguk saat mataku menatap mereka bergantian.

Aku beranjak berdiri dengan meraih masing-masing tangan mereka, "baiklah. Ucapkan selamat tinggal pada rumah kita!" sambungku, senyumku merekah tatkala mereka melambaikan tangan saat kami bertiga telah berjalan keluar.

"Ayah, Huri ingin digendong!" tukas Huri, dengan berlari ke arah Zeki yang berdiri di luar menunggu kami.

Zeki masih terdiam sambil menunduk ke arah Huri yang melompat-lompat di depannya dengan tangan terangkat ke atas, "kau masih mengingatku sebagai Ayahmu?" ucap Zeki, hingga anak perempuan yang ada di depannya itu tiba-tiba berdiri membatu.

Zeki melirik ke arahku tatkala Huri mulai menangis di depannya, "baiklah," sambungnya, dia berjongkok dengan menggerakan sebelah tangannya menggendong Huri.

"Berhenti menangis! Kalian ingin melihat Dunia Luar, bukan? Selama perjalanan, kita akan mencicipi banyak sekali makanan lezat. Ihsan, apa kau juga tidak ingin aku gendong?"

Ihsan yang masih menggenggam erat tanganku menggelengkan kepalanya, "Ihsan inginnya dengan Ibu," jawabnya yang aku sambut dengan usapan di kepalanya.

"Baiklah. Mereka semua pasti telah menunggu kita, cepatlah!" perintah Zeki seraya kembali melanjutkan langkahnya.

Aku dan Ihsan turut melangkah mengikuti mereka. "Ayah, Huri takut," ucapnya lirih, matanya terlihat menerawang kosong dengan kepala bersandar di pundak Zeki.

"Apa yang kau takutkan?"

Dia menatapku lalu menggeleng pelan, "panas, Ibu ... Huri tidak tahu, tapi Huri takut," balasnya dengan tertatih mengatakannya.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Huri. Ayah, Ibu akan selalu melindungi kalian. Tidak apa-apa, kalian akan baik-baik saja ... Ayah bersumpah!" ucap Zeki dengan mengusap kepala Huri yang kembali berbaring di pundaknya.

Langkah kaki kami berhenti, saat kami sudah mendekati mereka yang telah berkumpul. "Kalian telah selesai berkemas? Jika iya, kita akan segera pergi," ungkap Haruki yang berjalan mendahului kami dengan menggendong Miyu yang terlelap.

Kami turut berjalan, menyusuri wilayah bersalju dengan sesekali aku melirik ke arah Kou yang melihat kami dari kejauhan. "Ihsan, apa kau ingin Ibu gendong?" tanyaku kepadanya yang berjalan perlahan hingga salju membenamkan sebagian kakinya.

Aku membungkuk dengan meraih lalu menggendongnya. Kupeluk erat tubuhnya yang terlihat menggigil sambil kakiku terus lanjut melangkah menyusuri hamparan salju yang membentang sepanjang mata. Aku menarik napas sangat dalam diikuti pelukanku pada Ihsan semakin menguat tatkala kami sudah melewati gerbang es ketika Lux menghampiri setelah memastikan keadaan di luar.

Aku menoleh ke belakang, menatap gerbang es yang perlahan runtuh saat kami semua telah keluar dari sana. "Apa ini Dunia Luar, Ayah?" seruan Takumi membuat pandanganku beralih ke arahnya.

Kepalanya dengan cepat bergerak ke sana dan ke sini, "kenapa terlihat sama seperti di sana?" sautnya dengan mendongak ke arah Ayahnya.

"Karena ini di hutan, kita tidak bisa muncul di dekat Manusia secara tiba-tiba ... Mereka akan curiga, dan tempat persembunyian kita akan diketahui orang-orang," jawabku kepadanya. Aku tidak tahu sebenarnya dia mengerti atau tidak dengan perkataan yang aku ucapkan, karena anggukan darinya tidak menjawab apa pun.

"Di sana aku merasakan banyak manusia. Kita bisa pergi ke sana!" tukas Lux, dia menunjuk ke arah kanan sebelum terbang mendekati Eneas.

"Ibu, turunkan aku!"

Aku membungkuk menuruti permintaan Ihsan. Dia menggenggam tanganku dengan sangat erat tatkala kami sudah mulai melanjutkan kembali langkah. Semakin kami menjauhi hutan, semakin itu juga tatapan takjub terlihat dari mata-mata kecil mereka. Saat kami memasuki sebuah perkampungan, dengan banyak sekali orang-orang yang berlalu lalang ... Suara yang terdengar takjub, kembali mereka keluarkan.

"Apa itu, Ayah? Ayah apa itu?" lagi-lagi Takuma berbicara dengan menunjuk ke arah sungai dengan banyak sekali perahu di sana.

"Itu perahu, di atasnya menjual banyak sekali makanan-makanan lezat. Aku benar, bukan?" saut Zeki sambil menoleh ke arahku.

"Ayah aku ingin ke sana! Aku ingin mencicipi makanan-makanan lezat terse-"

"Takumi!" suara Ebe menghentikan perkataan Takumi, "jangan membuat Ayahmu kesusahan!" sambung Ebe, hingga Takumi terdiam dengan melingkarkan lengannya ke lengan Izumi sambil menyembunyikan wajahnya dari tatapan Ebe.

"Setelah urusan kita selesai, kita akan ke sana! Apa kau tidak ingin melihat Istana itu seperti apa? Kita akan pergi menemui teman-teman Ayah di Istana mereka, jadi bersabarlah!" ucap Izumi dengan menunduk ke arah Takumi yang kembali terdiam.

Kami kembali melanjutkan langkah, sambil sesekali aku melirik dengan mengusap kepala Huri yang terlelap di gendongan Zeki, "dia lelap sekali," gumamku dengan menyelipkan beberapa helai rambutnya yang jatuh ke telinga.

"Ihsan, apa kau juga lelah? Jika iya, kemarilah! Ayah akan menggendongmu," tukas Zeki, dia berbalik dengan mengangkat sebelah tangannya ke arah kami berdua.

Ihsan menggeleng, "Ayah sudah membawa Huri dan membawa tas besar itu. Ayah pasti lelah," ucapnya, hingga Zeki melirik ke arahku.

Aku menghela napas, menunduk lalu mengangkat Ihsan ke gendongan Zeki. "Ayah tidak lemah, Ayah kuat membawa kalian ke mana saja," jawab Zeki dengan kembali berjalan maju.

"Kita akan mencari tempat untuk bermalam di sekitar sini. Walau di sini Siang, tapi sebenarnya di sana sudah hampir menjelang malam. Biarkan anak-anak beristirahat terlebih dahulu sebelum kita melanjutkan perjalanan," ucap Haruki yang mengatakannya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Aku menepuk pelan punggung Zeki dengan tatapan mata yang masih tertuju ke arah sebuah pedagang tua yang tengah berdiri dengan banyak sekali kalung di kedua lengannya. "Apa kau ingin membelinya?" Kepalaku mengangguk menjawab pertanyaannya.

Kami berdua berjalan mendekati pedagang tua tersebut, "warnanya cantik sekali. Kita beli empat untuk masing-masing kita, ya," gumamku sambil memegang salah satu kalung berliontin batu berwarna merah muda dengan gurat-gurat putih yang mengelilinginya.

Aku meraih kalung yang diberikan oleh pedagang tersebut, lalu berjinjit dengan mengalunginya di leher Ihsan, "kami ingin tiga lagi untuk kalung yang sama," ucapku kepada pedagang tersebut sambil menatap ke arah mereka yang juga berjalan mendekat setelah tersadar bahwa kami berhenti sejenak.

"Kalian membeli kalung?" tanya Izumi yang aku balas dengan anggukan kepala, "bagaimana dengan yang ini, Ebe? Warnanya sama seperti warna laut. Apa kau juga mau Ayah belikan kalung tersebut, Takumi?" sambungnya, sambil memberikan kalung berliontin batu biru yang ia terima dari pedagang tersebut kepada Ebe.

"Ayah!"

Lirikan mataku beralih kepada Hikaru yang akhirnya bersuara. "Baiklah. Pilih saja yang kau inginkan, Ayah akan membelinya," jawab Haruki, sambil mengusap kepala Putranya yang tersenyum menatapnya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang