Chapter DCCLXVI

1.4K 367 20
                                    

Aku tertunduk dengan kedua tangan menutup mata. Dadaku yang terasa sesak, berakhir dengan pecahnya tangisan yang berusaha aku tahan. “Kau tahu, Lux … Walau mereka berkata, kami bersyukur karena telah membawa kehidupan yang salah-”

“Tapi perasaan bahwa aku telah mencuri kehidupan yang bukan milikku, selalu … Dan selalu menghantui. Perasaan bahwasanya kehidupan yang aku miliki sekarang, adalah milik Takaoka Sachi dan bukan aku.”

“Keluarga, pasangan, kedudukan … Aku selalu merasa tidak berhak untuk memilikinya. Jika Takaoka Sachi yang sebenarnya muncul, dan aku yang menumpang di dalam tubuhnya ini tiba-tiba menghilang … Akankah aku dicari? Akankah mereka merasa kehilangan?”

“Kau ingin bertemu dengannya, bukan?”

Aku mengangkat wajahku. Air mata yang tak kunjung berhenti, membuat pandanganku ke tubuh kecil milik Lux sedikit mengabur, “kau benar. Aku ingin bertemu dengannya … Berada di sini, membuatku semakin ingin bertemu dengannya-”

“Pergilah! Pergi dan temui dia! Aku akan mengurus semua yang ada di sini sampai kau kembali. Lagi pula Sachi, kau mungkin akan membahayakan nyawa kami jika saja pikiran dan hatimu tidak tenang,” sergah Lux sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku.

Kepalaku menggeleng diikuti tangan yang bergerak mengusap mata, “aku tidak bisa melakukannya. Urusanku di sini lebih penting,” ucapku sambil mengangkat telapak tangan ke bawah tubuhnya yang terbang di hadapanku.

Kutarik kembali tanganku tadi, lalu kujilat tetesan kecil darah milik Lux yang jatuh di telapak tanganku sebelumnya, “aku sudah pernah mati dalam kesendirian … Rasanya menakutkan. Lux, bersumpahlah untuk tidak mengkhianatiku!” tukasku setelah menjilat darah tadi.

Dia tersenyum lalu terbang semakin mendekati wajahku. Tubuhku tertegun disaat sentuhan hangat kurasakan sekilas menyentuh keningku, “aku bersumpah kepadamu, My Lord. Hidupku … Sepenuhnya milikmu,” ungkapnya seraya terbang mundur menjauhiku.

Aku menarik napas dalam sebelum mengangguk, membalas ucapannya. Tubuhku berbalik, mendekati tepi sungai yang ada Bernice dan juga Sabra berdiri di sana. “Jika kalian melihat laki-laki berjubah putih … Habisi mereka!” perintahku disaat kedua kakiku terus maju melewati mereka.

Kecepatan langkahku meningkat. Aku berlari menyusuri hutan, lalu melamban ketika Kastil yang menjadi Kuil itu terlihat di mataku. Beberapa Manticore yang aku lewati, menghentikan apa yang mereka perbuat. Satu per satu mereka menatapku, dengan darah yang mengalir di sela-sela mulut mereka.

Aku berhenti melangkah. Tubuhku berjongkok di depan tumpukan kain berwarna putih dengan beberapa corak kemerahan yang menghiasi. Kuangkat tumpukan kain tadi yang ternyata sebuah jubah … Bibirku terkunci, sesaat jubah itu terangkat, potongan kepala manusia dengan wajah setengah hancur terlihat di mataku.

Aku masih terpaku, dikala seekor Manticore berhenti di depanku lalu menggigit dan membawa kepala tadi ke mulutnya. “Andai saja kalian menghentikan tradisi pertunangan ini,” gumamku, tarikan napas yang aku lakukan kian dalam ketika angin yang berembus melewati wajahku membawa bau anyir dari darah.

Aku beranjak, disaat sihir milik Acey kurasakan mendekat. Sosoknya, terlihat berjalan mendekat dari kejauhan. Mataku, terjatuh pada seorang laki-laki renta berpakaian putih yang ia seret menggunakan mulutnya. Sama seperti jubah putih yang aku pegang sekarang … Pakaian putih yang dikenakan laki-laki tua itu, juga terdapat bercak kemerahan di sekitar pundaknya.

“Bernice, ikat laki-laki ini dan sadarkan dia dari tidurnya!” perintahku dikala Acey sendiri melepaskan gigitannya pada pada jubah laki-laki tua itu lalu meninggalkannya tepat di samping kakiku.

“Acey, bawa kembali pasukanmu untuk mengelilingi tempat ini! Pastikan, kalian tidak menyisakan satu manusia pun!” Aku kembali memerintah, dengan kali ini melemparkan pandangan pada Acey yang masih berdiri di hadapanku.

Matanya berkedip diikuti kepalanya yang tertunduk, “laksanakan, My Lord!” sahutnya, bersambung dengan auman kuat yang membuat bulu kudukku merinding sebelum akhirnya dia berbalik meninggalkan kami dengan beberapa Manticore di belakangnya.

Pandanganku beralih kembali pada Bernice yang telah melakukan perintahku dengan bantuan Sabra. Sabra mengambil kantung air yang ada di dalam tasnya, lalu menuangkan air di dalam kantung tadi ke wajah laki-laki tua itu, sedang Bernice sendiri berdiri di belakang untuk menahan tubuh renta yang ada di hadapanku.

Aku masih terdiam, menatapi Pria Tua itu yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya dikala Bernice menarik rambutnya hingga wajahnya mendongak ke arahku. “Aku mengingatmu … Kau, Pendeta Agung yang dulu memimpin Ritual Pertunanganku,” ucapku sambil menggerakkan tangan memangku wajahnya.

“Perempuan?” sahutnya dengan wajah penuh ketidakpercayaan.

Pria Tua itu menunduk lalu mencoba berontak, “jangan menyentuhku! Apa kau tidak tahu peraturan! Perempuan dilarang kuat untuk menyentuh Pendeta Agung!” Dia membentak sambil melotot ke arahku.

“Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu?” tukasku dengan kembali meletakkan telapak tangan di bawah dagunya.

Kedua mataku membesar, lalu mengangkat tanganku menampar kuat laki-laki tua itu disaat dia membalas ucapanku dengan ludah yang sengaja ia buang ke telapak tanganku tadi. “Aku membiarkanmu hidup seperti sekarang … Bukan untuk mengasihanimu, Pendeta!” bentakku dengan kembali menamparnya, tapi kali lebih kuat hingga membuat tanganku seketika berdenyut.

“Kenapa Ritual Pertunangan itu ada? Kenapa, kami para perempuan harus dihukum mati oleh sesuatu yang tidak masuk akal seperti pertunangan? Kau sebagai Pendeta Agung, pasti mengetahui semua hal itu, bukan?” sambungku sambil menjatuhkan lirik kepadanya.

“Apa kau pikir dengan melenyapkan kami semua … Ritual itu akan musnah? Para pengikutku yang tersebar, tidak akan membiarkannya. Kaisar tidak akan membiarkannya!”

“Atas nama, Deus. Perempuan seperti kalian, tidak akan mendapatkan apa pun … Aku, sebagai Pendeta Agung, tidak akan memberitahukanmu apa pun walau nyawaku berakhir saat ini juga-”

“Aku tahu. Seseorang seperti kalian yang tidak peduli dengan gadis kecil berusia empat tahun yang menangis kesakitan saat kulitnya dibakar besi panas … Tidak akan mendengarkanku. Laki-laki seperti kalian yang telah membunuh banyak sekali perempuan dari Ritual yang kalian jalankan … Tidak akan sudi mendengarkan keluhanku.”

“Maka Matilah! Tenang saja … Para Pengikut dan Kaisar yang kau sebutkan, akan menyusul kematianmu segera!” sambungku bertutur, melirik tajam ke arahnya.

“Bernice, angkat pedangmu dan potong lehernya!” lanjutku memerintah Bernice yang berdiri di belakang Pendeta Tua tersebut, “apa ada kata-kata terakhir yang ingin kau ucapkan, Pendeta Agung?”

“Terkutuklah Kau! Langit tidak akan memaafkanmu!”

Aku tersenyum mendengar ucapannya, “aku sudah sering menelan kutukan selama ini. Aku tidak peduli jika langit tidak berpihak padaku … Karena yang akan aku hancurkan nanti adalah manusia sepertimu yang hidup berpijak pada tanah, langit tidak ada hubungannya dengan ini.”

Kata-kataku berhenti ketika pedang milik Bernice sudah menempel di leher Pendeta Tua itu, “Sachi, itu namaku dan nama perempuan yang akan mengakhiri semua ini,” ucapanku bersahut dengan erangan seperti hewan yang sedang sekarat dari Pendeta Tua tersebut, sesaat pedang di tangan Bernice menggorok lehernya hingga darah layaknya air terjun menyembur keluar.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang