Chapter DCCLVI

1.5K 347 17
                                    

“Perempuan tidak diizinkan untuk mengikutinya-”

“Benarkah? Tapi selembaran yang kami terima tidak tertulis kata-kata tersebut di dalamnya. Karena tidak tertulis, itu berarti kami berhak untuk mengikutinya.”

“Apa kau ingin menentang keputusanku?!”

Aku tak menghiraukan bentakan Raja, karena mataku justru bergerak pada laki-laki di depanku yang masih duduk setelah mendapatkan terjangan kuat dariku sebelumnya. “Aku seorang Putri Kerajaan Besar yang ada di Timur. Jika kau menang, kau bisa meminta pada Rajamu untuk menikahiku … Kau akan menjadi Pangeran hanya dengan menikahiku. Apa kau yakin ingin menyia-nyiakan kesempatan ini? Bukankah aku sudah cukup baik untuk memuaskanmu?”

Laki-laki itu memandang tubuhku dengan seksama, mulai dari ujung kaki hingga ujung kepalaku. “Jika aku masih belum cukup memuaskanmu, kau juga bisa memiliki ketiga pelayanku,” lanjutku, hingga membuatnya menelan ludah ketika Ebe, Sabra hingga Bernice membuka topeng mereka, untuk
menimpali ucapanku.

Laki-laki tersebut kembali beranjak, “kami menerima tantangan mereka! Yang Mulia, kami akan membuat mereka kalah dan malu karena telah berani-beraninya melecehkan festival in-”

Aku terdiam, suasana di sekitar juga menghening ketika sebuah panah dari laki-laki yang berdiri di dekat Raja … Melesat cepat ke tubuh laki-laki di hadapanku ini, hingga dia yang berdiri membelakangiku itu dengan cepat jatuh ke depan. Disaat laki-laki yang tersungkur tadi berteriak, anak panah selanjutnya dari laki-laki kesatria itu terbang cepat menembus kepalanya.

“Aku Raja, Penguasa Utama di Kerajaan ini. Berani sekali Perem-”

“Yang Mulia! Hanya izinkan dia melakukannya. Kumohon, Yang Mulia! Biarkan dia mengikuti festival ini!” sahut Alma menyergah ucapan Ayahnya.

“Diam Alma! Aku tidak memberikanmu izin untuk berbicara!”

“Ayah! Kumohon,” jawab Alma yang membuat Raja segera menoleh padanya.

Cukup lama mereka bertatapan, sebelum Raja akhirnya menyetujui kami untuk ikut bertanding. Aku segera berbalik, mendekati salah satu kuda lalu menaikinya. Sekarang, hanya tersisa empat orang laki-laki berkuda di depan kami. Mereka berempat, yang tentu saja akan menjadi lawan kami.

Sambil menunggu beberapa orang laki-laki mengangkat mayat yang terkapar di hadapan kami. Mataku turut melirik secara diam-diam ke pedang di masing-masing pinggang mereka. “Terima kasih telah menyingkirkan manusia paling tak berguna di kelompok kami. Setelah ini, kami akan membayar kebaikan kalian … Dengan kematian dari masing-masing kalian,” ungkap salah seorang laki-laki yang berkuda maju, membelakangi tiga laki-laki lainnya.

Aku hanya tersenyum sebelum menghentak tali kekang hingga kuda yang aku tunggangi itu mulai berjalan. Kami berdelapan menunggangi kuda, mengikuti seorang laki-laki yang menuntun kami ke pinggir lapangan. Setelah kami sampai, laki-laki tersebut menjelaskan seperti apa jalannya permainan, hingga jaring mana yang menjadi milik kami.

Jauh di tengah lapangan, dua orang sedang meletakkan sebuah bola kulit ke atas meja. Empat laki-laki di samping kami, tak berhenti terkekeh disaat dua orang tadi telah lari menjauh, “beruntung yang kita lawan hanya  perempuan … Aku sudah tidak sabar untuk meminta kekayaan pada Yang Mulia,” tutur salah seorang laki-laki yang membuat lirikan mataku bergerak sedikit ke arahnya.

“Berikan pelajaran pada perempuan tidak tahu malu seperti mereka!”

“Telanjangi dan Bunuh Mereka! Agar mereka sadar seperti apa status mereka!”

Aku manarik napas disaat teriakan-teriakan dari banyak orang yang menonton, turut menimpali ucapan laki-laki tadi. “Ebe!” panggilku sambil menggerakan jari telunjuk. Aku membisikkan beberapa kata kepadanya, sebelum kepala Ebe mengangguk lalu bergerak untuk membisiki Sabra yang ada di dekatnya. Bibirku masih terkatup, dengan melirik pada Sabra yang tengah berbisik di telinga Bernice.

Bunyi Gong pertama, membuat mataku teralihkan … Dan membuat seluruh lapangan menjadi hening seketika. Bunyi Gong untuk yang kedua kalinya, membuat kedua tanganku mencengkeram erat tali kekang. Tanganku bergerak … Kudaku berlari kencang ke sisi jaring lawan disaat bunyi gong ketiga terdengar.

Saat aku berkuda, aku akan menoleh pada Ebe yang telah berkuda ke sisi jaring milik kami, sedang Sabra dan juga Bernice … Berpacu dengan keempat laki-laki untuk memperebutkan bola kulit itu.

Kudaku berhenti lalu berbalik membelakangi tonggak jaring musuh. Kuangkat busur panahku dari pundak, ketika salah satu di antara laki-laki itu berkuda ke arahku. Aku menarik napas yang sangat dalam sambil menarik busur panahku ke arah laki-laki tadi, “kau tidak akan bisa mendekati jaring ini selama aku yang menjaganya. Sekarang tutup mulut kalian! Semua ocehan kalian yang tak berguna itu, benar-benar membuatku muak!”

Anak panahku terlepas, lalu melesat cepat ke arah laki-laki tadi yang jaraknya masih terlalu jauh dariku. Keadaan menghening … Benar-benar menghening, ketika anak panahku tadi menembus kepala laki-laki itu. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Sabra memacu kudanya mendekati laki-laki tersebut yang telah jatuh tersungkur dari atas kudanya. Dia berkuda dengan memiringkan sedikit tubuhnya ke kiri, lengkap dengan sebilah pedang di genggaman tangan kirinya.

Ujung pedang Sabra masuk ke tali terbuat dari kulit yang mengelilingi bola tersebut, tali-tali yang memudahkan kami untuk membawa bola itu ke mana pun. Kuda yang Sabra tunggangi berbelok tajam setelah berhasil memegang bola tadi dengan tangan kanannya. Dia kembali berbalik, berkuda cepat ke arahku dengan seorang laki-laki yang tak berhenti mengejarnya walau kedua temannya telah berteriak untuk berhenti.

“Jadi ini rencanamu, Sabra?” gumamku sambil meraih satu anak panah di punggungku, “pastikan kau menghindarinya dengan baik, karena aku benar-benar akan mengincar kepalamu,” sambungku dengan mengarahkan panah kepadanya, sesaat kepalaku sudah menangkap maksud dari apa yang ia lakukan.

Sabra terus berkuda maju disaat aku menembakkan anak panahku ke arahnya. Hanya beberapa detik, Sabra memeluk leher kuda miiknya lalu menjatuhkan dirinya bersama kuda tersebut hingga … Anak panahku justru melubangi kepala laki-laki yang mengejarnya.

Sabra beranjak lalu melemparkan bola tadi ke arah tiga orang yang berkuda cepat, dengan Bernice yang menjadi salah satu di antara mereka, menuju ke arahnya. Bernice menoleh pada laki-laki yang ada di sampingnya, lalu menerjang laki-laki tadi yang telah terlihat putus asa karena telah kehilangan tiga rekannya, hingga laki-laki tersebut jatuh … Meninggalkan Bernice sendiri yang mengejar bola tadi, dengan seorang laki-laki lain yang berada jauh di belakangnya.

Bola yang jatuh oleh lemparan Sabra, berhasil ditangkap Bernice. Dia segera membawa kudanya berbelok, ke arah jaring kami dengan Ebe yang berdiri di depannya. Mataku membelalak, disaat sebuah panah yang entah berasal dari mana, menancap di pundak Bernice. “Bernice!” teriakku, ketika laki-laki yang mengejarnya itu bergerak semakin mendekat tatkala kuda yang Bernice tunggangi terhenti.

“Jangan biarkan perempuan-perempuan itu menang!”

“Lakukan apa pun agar mereka kalah!”

Sahutan demi sahutan mengiringi Bernice yang mulai kembali bergerak membawa kudanya. Dia terus saja berkuda mendekati jaring, walau panah hingga batu dan barang-barang lain dari penonton bergantian mengejarnya. “Bertahanlah Bernice, bertahanlah! Agar aku bisa membalas apa yang mereka lakukan kepadamu,” gumamku sambil menunggangi kuda ke arahnya yang terus berusaha mendekati jaring milik kami.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang