Aku terhentak, saat Kei baru saja memasuki gubuk tersebut dengan mendobrak pintunya ... Saat itu juga terdengar suara tangis dari seorang bayi ketika ia melakukannya. Aku berlari dengan sangat cepat, memasuki gubuk kecil tersebut. Alangkah terkejutnya aku, ketika pandangan mataku itu terjatuh ke arah Kei yang masih terdiam menatapi seorang balita yang menangis sambil merangkak mendekatinya.
"Kei!" Aku membentaknya, saat mulutnya itu terbuka lebar ketika balita itu semakin mendekatinya.
Aku berjalan lalu membungkuk dengan meraih anak tersebut, ketika Kei sendiri saat itu menoleh ke arahku, "kau ingin memakan anak kecil yang bahkan tidak bisa melawanmu?"
Kei mendongak, walau keadaan di dalam ruangan sedikit remang, tapi bias matanya yang biru sedikit bisa terlihat jelas, "baik mereka sudah dewasa atau belum, mereka tetap tidak bisa melawanku. Lalu apa bedanya? Manusia tetaplah makananku. Aku melakukan kontrak denganmu, karena secara tidak langsung itu akan menambah kekuatanku."
"Turunkan daging segar itu! Aku masih sangat lapar sekarang! Atau, aku akan membuatmu terluka tanpa membunuhmu, karena sudah menghalangiku untuk makan," ucapnya sambil berjalan mendekatiku.
Mataku membesar membalas tatapannya, "lakukan saja jika kau berani! Bagaimana kalau aku membunuh diriku sendiri? Lalu kita berdua akan mati bersama-sama. Ingatlah siapa yang ada di depanmu ini! Aku, Tuanmu!" Aku mengancamnya dengan berjalan keluar gubuk meninggalkannya.
Aku berjalan sambil berusaha menenangkan anak tersebut dengan mengusap belakang punggungnya, "di mana orangtuamu?" gumamku, aku mencoba untuk menggerakan kepalaku itu ke kanan dan juga ke kiri, yang mungkin ada seseorang di sekitar sini.
Saat aku memastikan tidak ada seorang pun yang terlihat. Kusibak pakaianku itu ke atas, setelah itu kubuka kain yang melilit dadaku dengan sebelah tangan. Pandangan mataku beralih ke arah Kei yang berjalan keluar dari gubuk, "tidak ada manusia lagi di sini. Anak itu memang sengaja ditinggalkan untuk menjadi santapanku," ucap Kei saat langkahnya berhenti di depanku.
Aku masih terdiam dengan melirik ke arah anak tersebut yang akhirnya tenang ketika dia menyusu padaku, "apa maksudmu?" Aku balik bertanya kepadanya.
"Aku sudah lama sekali mengambil para manusia di sini untuk menjadi makananku. Kekuatan mereka tidak bisa mengalahkanku, jadi mereka hanya bisa pasrah saat aku memilih siapa pun untuk aku jadikan santapan. Sekarang, mereka pergi meninggalkan tempat ini dengan hanya meninggalkan anak itu seorang diri ... Sudah sepantasnya, aku menyantap makanan terakhirku di sini," ucapnya dengan mengeluarkan lidahnya menjilati kaki balita tersebut.
Sontak, balita tersebut menangis kencang kembali dengan kakinya yang memerah dari bekas jilatan yang dilakukan Kei kepadanya. Aku berjalan mundur sambil berusaha untuk menenangkan anak itu lagi dari tangisannya, "jika apa yang kau katakan itu benar. Aku akan berterima kasih, kalau saja kau memangsa mereka yang sudah mengorbankan anak ini untuk menjadi santapanmu. Namun jika kau memangsa anak ini ... Sebagai seorang Ibu yang juga memiliki anak, aku tidak akan membiarkanmu menyentuhnya," ucapku dengan berbalik lalu berjalan meninggalkannya.
"Kou, Uki, Shin, Tama! Apa kalian bisa mendengarku? Aku tidak tahu sekarang berada di mana, tapi jika kalian dapat mendengar suaraku ... Bawa aku pergi dari sini!" gumamku sambil terus melanjutkan langkah.
Aku tetap berjalan dengan masih menyusui anak tersebut, sesekali bibirku meniupkan udara ke arah kakinya yang masih memerah seperti habis digores oleh sesuatu, "aku pernah dijilat kucing sebelumnya, dan lidah mereka terasa kasar saat melakukannya. Harimau, satu keluarga dengan kucing, bukan? Aku tidak tahu, seberapa tajam lidahnya itu," lagi-lagi aku bergumam dengan kembali meniupkan udara ke kaki anak itu.
Kakiku melangkah menuruni jalan setapak di perbukitan, sambil aku kadang kala menoleh ke arah Kei yang berjalan mengikuti dari belakang. Langkahku berhenti sejenak, ke arah kepulan asap hitam yang membumbung ke udara di sela-sela pepohonan yang ada di bawah bukit. Aku sedikit terhentak, tatkala angin berembus kuat saat Kei berlari melewatiku menuruni bukit.
Apa aku harus berlari menyusulnya? Tapi kakiku sudah terlalu lelah dari berjalan untuk berlari.
Aku hanya menghela napas, sambil terus berjalan seperti biasa ke arah kepulan asap yang aku lihat sebelumnya. Kepalaku bergerak menatapi pepohonan yang mengelilingi kami, dengan terus berjalan hingga ... Langkahku kembali berhenti, saat mataku itu terjatuh ke arah bercak darah yang kadang aku temukan di pepohonan yang roboh di depan kami.
Bibirku terkatup sangat rapat, ketika aku melihat Kei sedang menyantap sesuatu dengan sebuah kepala manusia yang ada di dekat kakinya. Wajah dari kepala itu terlihat tidak berbentuk lagi karena dipenuhi oleh luka menganga dari bekas cakaran yang mungkin dilakukan oleh Kei kepadanya. Aku tidak bisa melarangnya ... Karena aku sendiri yang telah memberikan izin kepadanya, lagi pula tubuh manusia itu sudah hampir tak berbentuk saat aku sudah sampai ke sini.
Aku berjalan lalu duduk dengan menyandarkan punggung di salah satu pohon sambil menunggu Kei berhenti makan. Lirikan mataku beralih ke samping, saat sebuah akar tiba-tiba tumbuh meninggi dari dalam tanah. "Uki!" panggilku, ke arahnya yang keluar dari gerbang akar itu.
"My Lord!"
"Sachi!" tukas Uki dan juga Lux secara bersamaan yang terbang ke arahku.
Menyusul mereka berdua, dari gerbang tersebut ... Satu per satu dari mereka yang mengikuti pertarungan sebelumya, keluar dari sana lalu bergerak mendekatiku, kecuali Kou, Haruki dan juga Zeki yang tidak aku temukan keberadaannya. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Izumi yang dengan cepat duduk di sampingku.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan hewan tersebut? Dan, ke mana Kou, Haru-nii dan juga Zeki?" Aku balik bertanya secara beruntun kepadanya.
"Makhluk itu melarikan diri saat angin kencang tiba-tiba datang. Sedang, mereka bertiga terbang untuk mencarimu," saut Lux yang menjawab pertanyaanku.
"Mereka mungkin sebentar lagi akan sampai. Namun My Lord, apakah dia?" Aku mengangguk, menjawab pertanyaan dari Uki.
Aku beranjak dengan memberikan anak yang aku gendong kepada Izumi, "bantu aku untuk menjaganya, nii-chan!" pintaku sambil berlari ke arah Shin dan juga Kei yang saling berhadapan.
"Berani sekali kau menculiknya di bawah penjagaanku!"
"Salahkan diri kalian sendiri yang terlalu lemah. Tubuhmu yang besar itu tak sebanding dengan kekuatanmu! Aku bisa dengan mudah menerbangkanmu lalu membanting tubuhmu itu ke tanah begitu saja-"
"Kau! Walau kau sudah melakukan kontrak dengannya, tubuhmu yang berbau darah manusia itu ... Tuan kami tidak akan sudi untuk melihatmu. Jika kau mati saat ini juga, dia pun tidak akan bersedih!"
"Shin!"
Shin menoleh ke arahku saat aku memanggil namanya, "My Lord!" Dia balas memanggil namaku sambil merayap mendekat.
"Tubuh besar, tapi langsung melunak saat namanya dipanggil. Kekuataannya lunak, sama seperti tubuhnya-"
"Shin!" Aku kembali berteriak dengan memanggil namanya saat dia berbalik dengan merayap cepat ke arah Kei yang memang sengaja memancing amarahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...