Chapter DCCXC

1.5K 409 27
                                    

Mataku tetap terpaku pada cermin besar di depan, yang memantulkan bayangan dari beberapa pelayan perempuan tengah membantuku merapikan gaun. Setelah selesai melakukannya, giliran pelayan lain yang maju untuk memercikkan seluruh tubuhku menggunakan wewangian. Aku masih berdiri diam di depan cermin, walau harum dari wewangian tadi menyerebak memenuhi ruangan.

Aku menatapi para pelayan yang menunduk di belakangku dari pantulan cermin. Mereka tidak akan mengangkat wajah, sebelum aku memerintahkan mereka untuk melakukannya. "Bagaimana dengan Yang Mulia?" tanyaku sambil memandang mahkota yang melekat di kepala.

Seorang yang paling tua di antara yang lain, maju ke depan mendekatiku, "Yang Mulia sudah menunggu Ratu di luar," jawabnya dengan tetap menunduk.

"Baiklah," sahutku singkat seraya berjalan mendekati dua pelayan yang telah berdiri membuka pintu.

Bibirku tersenyum, menatap sosoknya yang berdiri menunggu di dekat ranjang. Dia terlihat gagah mengenakan kaftan hitam dengan benang-benang emas yang menghiasi. Aku segera menekuk kaki ketika di depannya, "salam Yang Mulia. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," ucapku memberi hormat kepadanya.

Zeki mengangkat tangan kanannya, yang tak butuh waktu lama untuk sesegera mungkin kusambut. Dia mengangkat tanganku tadi lalu menciumnya, "kau terlihat cantik sekali, Ratuku," ungkapnya yang berjalan maju dengan memegang kedua pipiku sebelum kecupan darinya mendarat di keningku.

Zeki sedikit mundur dengan mengangkat tangan kanannya yang sedikit bertekuk. "Semuanya telah menunggu kedatangan kita," ucapnya sambil melirik ke lengan kanannya tadi.

Aku tersenyum, lalu melangkah maju dengan merangkulkan lenganku ke lengannya. Kami berdua berjalan, melewati pelayan yang melayani Zeki dan terus berjalan meninggalkan kamar. "Aku gugup sekali," gumamku pelan, ketika kami semakin jauh berjalan.

"Terima kasih, karena telah memberikanku kesempatan untuk memperbaiki ini semua," tuturnya yang menoleh dan tersenyum menatapku.

Tangan kananku terangkat menyentuh lengannya yang aku gandeng, "hari ini, aku akan resmi menjadi Ratumu, dan anak-anak akan resmi menjadi Pangeran berserta Putri. Aku berharap, keluarga kita akan selalu bahagia seperti saat ini," ucapku, dengan kembali membuang pandangan ke depan.

"Aku pun mengharapkan hal yang sama."

__________.

Aku tersenyum, menatap Ihsan dan juga Huri yang terlihat menawan di depan beberapa pelayan yang berbaris di belakang mereka. Mereka membungkukkan tubuh dengan serempak, ketika aku dan Zeki sudah berhenti di depan mereka semua. "Salam, Yang Mulia. Salam, Ibunda Ratu ... Semoga kebahagiaan, selalu menyertai kalian berdua," ungkap Ihsan berserta Huri secara bersamaan.

Mataku melirik pada Tsubaru yang berdiri di dekat dua pelayan yang menggendong Sema dan juga Anka. "Semoga kalian juga, selalu diselimuti kebahagiaan. Angkat wajah kalian! Ayah ingin melihatnya," pinta Zeki yang membuat mataku kembali beralih pada mereka.

Zeki berjongkok lalu meletakkan tangan di masing-masing pipi mereka berdua setelah aku melepaskan gandengan tanganku di lengannya, "kalian terlihat menakjubkan. Anak-anak Ayah, terlihat sangat menakjubkan," tutur Zeki yang membuat mereka berdua tersenyum lebar.

"Yang Mulia, Khabir memberi kabar bahwa semua persiapan telah selesai. Rakyat, mereka semua sudah menunggu dengan tidak sabar, kedatangan keluarga kerajaan."

Zeki menoleh dan beranjak kembali setelah mendengar perkataan Tsubaru. "Baiklah," sahutnya sambil beranjak lagi di sampingku.

Mereka yang ada di hadapan kami, segera menyingkir dengan berjalan mundur ke samping. Memberikan kami jalan, tak terkecuali Ihsan berserta Huri yang juga turut melakukannya. Aku dan Zeki, mulai kembali melanjutkan langkah setelah tanganku bergelayut di lengannya lagi.

Kami beriringan menaiki tangga istana, dituntun oleh Tsubaru yang berjalan di depan kami. Dia membawa kami ke sebuah ruangan dengan beberapa Kesatria yang berjaga di dalamnya, di antara kesatria-kesatria tersebut ... Terdapat kedua kakakku yang berdiri membelakangi Tatsuya dan juga Tsutomu.

Akash, Khabir dan juga Ekrem yang berdiri menunggu kami di dekat balkon, segera membungkuk dan tetap membungkuk disaat kami melewati mereka. Keriuhan langsung memenuhi telinga, sesaat kami berdua sudah berdiri di balkon. "Panjang umur, Yang Mulia!" salah satu dari kata yang diteriakkan para penduduk.

Keadaan seketika menghening, ketika Zeki mengangkat tangan kirinya. Para penduduk yang berdesakkan di bawah, segera bersikap tenang dengan menutup rapat mulut mereka masing-masing. "Sebagai Raja, sebagai pemimpin kalian. Aku ingin berterima kasih karena sudah bersedia hadir di sini kepada kalian semua!" tutur Zeki dengan suara lantang.

"Hari ini, merupakan hari yang sangat istimewa ... Karena aku, akhirnya bisa memperkenalkan keluargaku kepada kalian semua. Pangeran Ihsan Bechir, selaku pangeran pertama dan anak tertua kami. Pangeran Sema dan Anka Bechir, selaku pangeran kedua dan pangeran ketiga ... Dan tak lupa, Putri Huri Bechir, Putri Pertama Kerajaan Yadgar."

"Hari ini juga, aku akan memperkenalkan perempuan yang sangat aku cintai. Perempuan yang sangat aku kasihi ... Ibu dari keempat anakku, dan Ratu yang harus kalian hormati, Ratu Sachi Bechir," sambungnya yang membuat mataku seketika menoleh padanya.

"Dia yang telah menyelamatkanku. Dia yang telah menyelamatkan kalian semua, dan dia yang telah menyelamatkan Yadgar."

Lirikanku segera berpaling ke arah penduduk yang secara beruntun, bersujud mencium tanah yang mereka pijak. "Kabar mengenai kehebatanmu, sudah menyebar ke seluruh Yadgar. Mereka berbondong ke sini, hanya ingin melihat Ratu yang mereka kagumi," bisik Zeki di telingaku.

Aku menoleh lagi padanya, sesaat tangannya menyentuh tanganku. Kedua kakiku baru berjalan maju, disaat kepalanya mengangguk untuk menyakinkan. "Berdirilah, dan angkat wajah kalian!" perintahku lantang kepada mereka semua.

Para Kesatria yang bercampur menjaga penduduk, ikut beranjak memenuhi perintahku. Lama, aku terdiam dengan membalas tatapan-tatapan dari mereka yang mengarah padaku. "Aku tahu, banyak dari kalian yang terluka oleh hilangnya orang-orang yang kalian sayangi. Sama ... Aku pun merasakan hal yang sama."

"Kalian, adalah bagian dari keluarga kami. Semua yang hidup di Yadgar, adalah satu keluarga dan aku ingin kalian menanamkan hal ini di dalam kepala masing-masing. Aku akan marah, kalau ada yang menyakiti kalian. Aku akan maju untuk bertarung, jika ada yang merampas hak kalian."

"Karena kita adalah keluarga ... Aku ingin kalian bisa membuang jauh-jauh pikiran, bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk hidup mereka. Aku ingin membuat Yadgar menjadi rumah untuk kita semua, entah dia laki-laki ataupun perempuan ... Semuanya memiliki hak untuk hidup dengan layak di sini."

"Bantu aku untuk mewujudkannya. Bantu kami untuk menjaga Yadgar bersama-sama. Bantu kami untuk membuat Yadgar menjadi Kerajaan yang tidak akan diremehkan oleh Kerajaan mana pun termasuk Kekaisaran."

"Apa kalian bersedia melakukannya?!" teriakku lebih lantang yang membuat mereka seketika tertegun, "aku katakan sekali lagi, apa kalian bersedia melakukannya?!"

"Ya!"

"Kami bersedia, Ratu!"

"Teriakkan lebih keras! Aku tidak mendengar kesungguhan dari kalian!"

"Kami bersedia, Ratu!" Mereka saling bersahut, menimpali perkataanku.

Aku menarik napas dalam, dengan memandang mereka seksama. "Panjang umur, Yang Mulia! Teruslah kuat, Yadgar!" seruku sambil mengangkat kepalan tangan ke atas.

"Panjang umur, Yang Mulia! Teruslah kuat, Yadgar!"

"Panjang umur, Ratu! Panjang umur, Yang Mulia!" seruan yang saling bersahut dari mereka memenuhi udara, dan membuat semua bulu kudukku seketika bergidik.

"Kau berhasil," ucapan berserta sentuhan yang merangkul pinggang, membuatku seketika menoleh, "aku sangatlah bersyukur, karena telah memilih perempuan yang sangat tepat," sambungnya yang tersenyum setelah sebelumnya mengecup pipiku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang