Chapter DCLXXXVII

2.2K 476 28
                                    

“Jadi bagaimana, nii-chan? Mustahil jika Haru-nii tidak bisa melakukannya, bukan?”

Haruki membuang lirikan ke kiri sambil terus menyilangkan kedua lengannya setelah mendengarkan apa yang aku pinta, “baiklah. Berapa lama batas waktu yang kau inginkan, untukku menyelesaikan itu semua?” Dia balas bertanya dengan kembali melirik padaku.

“Tentu saja secepatnya. Lebih cepat melakukannya, lebih baik juga untuk mereka menyesuaikan diri,” ungkapku, sebelum menutup rapat lagi bibir sambil menjatuhkan pandangan ke arah bayangan yang muncul dari arah belakangnya.

“Apa yang sedang kalian berdua lakukan? Mereka semua menunggu! Kenapa kau lama sekali mengajaknya kembali, Haruki?” sahut bayangan Izumi yang berjalan mendekat lalu berhenti di samping Haruki.

“Aku hanya sedang menikmati, saat-saat Adikku kembali bergantung kepadaku,” jawab Haruki sambil melemparkan senyumannya kepadaku.

“Apa kau juga berniat untuk menyembunyikan sesuatu dari Kakakmu ini? Aku sudah sangat mengenal kalian berdua,” ungkap Izumi, matanya yang sedikit bersinar itu terlihat hampir tak berkedip melirik ke arahku.

______________.

“Apa aku juga harus melakukan ini, Bibi?” tanyaku kepada Ajeng yang tengah menempelkan pacar yang telah ditumbuk ke jari-jemari Julissa.

“Ini perintah dari Yang Mulia … Yang Mulia ingin, jika kalian dapat menjadi pengiring pengantin di hari pernikahan,” jawabnya dengan kembali mencuil pacar yang ada di dalam mangkuk di sampingnya.

Aku menghela napas sambil menunduk, menatapi lengan perempuan yang sedang menghiasi jari-jariku menggunakan pacar. “Asalkan bukan menari, aku tidak akan mempermasalahkannya,” gumamku dengan sesekali memandang Huri yang tersenyum lebar menatapi tangannya yang telah penuh oleh pacar.

“Ebe, ada apa denganmu?” Aku bertanya, tatkala mataku itu terjatuh kepadanya yang tertunduk kosong menatapi pacar yang memenuhi tangannya.

“Ebe?” Aku mencoba untuk kembali memanggilnya, dia baru sedikit tersadar dari lamunannya tatkala Amanda yang duduk di sampingnya, menyenggol lengan Ebe dengan lengannya.

Ebe menatap ke arahku saat wajah Amanda bergerak, seakan menunjuk ke arahku, “ada apa, Sachi?” Dia balas bertanya kepadaku.

“Apa kau masih mengkhawatirkan sesuatu?”

Dia menggelengkan kepalanya sebelum kembali menunduk, “aku hanya merasa takjub kepada Manusia seperti kalian, karena kalian sangat menghargai pernikahan sampai melakukan banyak tradisi untuk itu,” ungkapnya dengan senyum kecil tersungging di bibirnya.

“Manusia?”

Aku sedikit menggigit ujung bibirku sambil melirik ke arah Julissa dan yang lain, yang terlihat kebingungan akan apa yang Ebe katakan. “yang dia maksudkan, tradisi pernikahan di tempat lahirnya tidak seperti ini. Dia, mungkin sangat tersanjung dengan semua perlakuan dari Bibi dan yang lain,” ungkapku, yang diikuti anggukan kepala Amanda setelah Ebe terus menunduk seusai menghentikan ucapan.

Aku turut menoleh, mengikuti yang lainnya ketika deritan suara pintu terbuka. Amithi yang masuk ke dalam ruangan, berjalan lalu duduk di samping Julissa. Kedua mata Julissa sedikit terbuka, dia menoleh ke arah Amithi lalu membuang pandangannya kepadaku setelah Amithi terlihat sudah selesai membisikkan sesuatu kepadanya.

Julissa mengernyitkan alisnya tatkala sebelumnya alisku terangkat menatapinya, seperti sedang mengisyaratkan sesuatu kepadaku. “Persilakan dia untuk masuk!” perintah Julissa, hingga Amithi beranjak berdiri lalu berjalan kembali mendekati pintu.

Sudah beberapa hari semenjak makan malam waktu itu. Setiap kali kami berpapasan, Aydin selalu melengos seakan tak sudi untuk bertemu denganku. Aku tidak terlalu mempermasalahkan semua sikapnya … Namun, aku tidak ingin hal itu terus berlanjut, karena walau bagaimana pun, aku memerlukannya untuk dapat mengantarkan kami ke Pulau tersebut.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang