Chapter DCCVIII

1.8K 391 15
                                    

“Jadi itu yang sebenarnya terjadi kepada kalian,” ungkap Aydin sambil duduk di pinggir perahu yang ada di dekatnya.

“Aku tidak menyalahkan mereka, karena bagi kami yang selama ini tidak memiliki hubungan dengan mereka-mereka yang hidup di luar … Sudah sepantasnya, jika mereka sulit untuk memercayai penduduk luar. Namun, ini semua kembali lagi kepada kalian. Aku akan segera pergi, dan aku akan selalu menunggu kabar baik dari kalian nanti,” sambungnya kembali beranjak lalu bergerak mendorong perahu miliknya itu semakin ke tengah laut.

Aku masih belum membuka suaraku lagi. Mataku itu, hanya tertuju kepada sosok Aydin yang kian lama kian menghilang bersama perahu yang ia naiki. “Ihsan, apa Ibu boleh meminta salah satu kelopak bunga di gelang pemberian Kakek Buyut?” tanyaku, sambil mengangkat telapak tangan ke arahnya.

Aku mencatut salah satu bunga, ketika dia membalas perkataanku dengan anggukan kepala. Kuturunkan dia dari gendonganku, ke dekat Zeki yang berdiri tak terlalu jauh dari kami berdua sebelumnya. Kepalaku bergerak, mencoba mencari tempat yang tepat untukku menanam kelopak bunga tadi.

Setelah aku menemukannya, kedua kakiku sudah tanpa sadar melangkah dan berhenti di depan mulut gua yang memiliki sedikit hamparan tanah yang berbatasan langsung dengan pasir pantai. Aku duduk berlutut di depan mulut gua tersebut. Sebelah tanganku, bergerak menggali sedikit tanah di depanku itu, “Kakek, aku membutuhkan bantuanmu. Kumohon, datanglah!” harapku, setelah aku sudah selesai mengubur kelopak bunga yang aku bawa, dengan timbunan tanah di hadapanku.

Aku masih terdiam, enggan untuk beranjak, walau akar merambat yang tumbuh  dari kelopak bunga yang aku tanam itu kian membesar. Akar-akar tersebut, saling melilit satu sama lain hingga berhenti tumbuh menjadi sebuah gerbang di depanku. Sepasang kaki putih tanpa sedikit pun bulu yang bisa aku temukan, tiba-tiba muncul dari dalam gerbang tersebut, “Kakek!” panggilku, setelah wajahku terangkat menatapi sosoknya yang keluar dari gerbang itu.

Aku meraih tangan yang ia julurkan lalu beranjak berdiri sambil terus memegang tangannya. “Apa terjadi sesuatu?” tanyanya menatapku.

“Kakek, kami tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi, kecuali-”

“Tidak perlu mengatakannya. Hanya jelaskan saja apa yang-”

“Sachi!” seruan suara Bibi yang berasal dari dalam gerbang, membuat ucapan Kakek yang sebelumnya memotong perkataanku terhenti.

“Bibi, dan … Ryu?” tukasku, setelah dua sosok berjalan keluar lalu berdiri di belakang Kakek.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku seraya terus menatapnya yang telah berdiri di samping Kakek.

“Menyelamatkan diri, mungkin seperti itu,” ucapnya yang sempat terdiam dengan helaan napas yang mengikuti, “kau tahu, bukan? Karena aku dulu sudah sering melakukan sihir terlarang. Tubuhku, sudah tidak kuat lagi menahan kegelapan yang akan muncul,” sambungnya dengan lirikan mata yang ia jatuhkan kepadaku.

“Sihirku pun melemah, karena aku sudah terlalu lama tingal di Dunia Manusia, karena itu aku kembali ke Dunia Elf,” lanjutnya sambil mengernyitkan kening ke arah mereka semua yang masih berdiri di tepi pantai.

“Aku kemarin sulit memahami saat Bibi memberitahukanku bahwa anak-anak kalian sudah tumbuh besar. Namun, apa mereka semua keponakanku?” Kepalaku mengangguk setelah dia kembali menatapku.

Pandangan mataku, beralih kepada mereka semua yang berjalan mendekat, “Kakek,” ucap Haruki dengan sedikit tertunduk yang dengan cepat disambut anggukan kepala oleh Kakek.

“Ryu, kau ada di Dunia Elf?” sahut Izumi, hingga membuat Ryuzaki berjalan mendekatinya.

“Bagaimana kabar kalian semua, Kak?” tanya Ryuzaki, setelah dia sendiri telah berdiri di dekat Haruki, Izumi, Eneas dan juga Zeki.

“Ayah, kenapa wajah Paman ini, sama dengan wajah Bibi Sachi?”

Ryuzaki menunduk lalu berjongkok di depan Takumi yang menyeletuk di dekat Ayahnya, “karena Bibi Sachi kalian adalah Kakakku. Takaoka Ryuzaki, aku adalah Paman kalian,” jawab Ryuzaki sambil tangannya menggosok-gosok kepalanya Takumi.

“Kau pasti Ihsan, dan juga Huri,” sambung Ryuzaki seraya beranjak lalu berdiri di depan Zeki.

Huri langsung berbalik memeluk Zeki, diikuti tangisannya yang tiba-tiba saja keluar sesaat dia menatap wajah Ryuzaki. “Ayah, Huri ingin pulang ke rumah. Ibu tidak boleh pergi, Ibu tidak boleh pergi,” tangisnya yang kian kuat di pelukan Zeki.

“Huri?” panggilku sambil menyentuh pelan punggungnya, setelah aku sendiri telah berdiri di dekat mereka.

“Ibu,” tangisnya yang kian menguat ketika dia berbalik lalu memelukku.

Kudekap dia dengan erat di gendonganku, “Huri, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba menangis?” tanyaku sembari mengusap punggungnya tanpa henti.

“Kita pulang, Ibu … Kita … Jangan pergi,” ucapnya sesenggukan ketika aku mengusap wajahnya yang terangkat menatapiku.

“Tapi-” Ucapanku terhenti, saat kurasakan sebuah sentuhan di pundakku.

Mataku itu bergerak mengikuti Bibi yang telah berjalan lalu berhenti tepat di depan kami, “Huri, lihat Nenek!” tukas Bibi sambil tangannya mengusap wajah Huri yang telah basah.

“Jawab pertanyaan Nenek! Apa yang akan terjadi kepada Ibumu?”

“Apa yang kau lakukan? Pertanyaan macam apa itu?!” Zeki membentak Bibi, ketika tangisan Huri kian menjadi-jadi sesaat dia menyelesaikan kata-katanya.

“Hanya ingin memastikan,” jawab Bibi singkat, sebelum akhirnya dia kembali menatap Huri.

“Huri, Ibumu sudah seperti Putriku sendiri. Nenek sangat sayang kepadanya, seperti Ibumu yang menyayangimu. Apa kau ingin melindungi Ibumu? Apa kau, tidak ingin Ibumu terluka? Jika benar, Nenek pun menginginkan hal yang sama,” sambung Bibi, dengan terus mengusap bagian bawah mata Huri yang mulai sedikit membengkak oleh tangisannya sendiri.

“Ibu jangan pergi … Ka-kalau Ibu pergi … Kou yang berwarna hitam itu,” ungkapnya dengan napas terputus-putus oleh tangisannya yang tak berhenti, “kalau nanti dia memakan Ibu. Huri, Huri nanti dengan siapa,” sambungnya dengan suara yang hampir habis.

“Ibu tidak boleh pergi … Jangan pergi, Ibu … Ibu … Ja-jangan pergi.”

“Putriku,” ungkapku balas memeluknya, “jika kau menangis seperti ini. Ibu, akan sangat sedih,” lanjutku dengan telapak tangan mengusap mataku yang perlahan berubah sembab.

“Ibu tidak memiliki pilihan. Semuanya Ibu lakukan, hanya karena … Ibu ingin kalian memiliki kehidupan yang layak. Ibu hanya ingin memperjuangkan kebahagiaan kalian,” kata-kataku yang terucap dengan suara gemetar itu bersambung.

“Huri!”

Huri menoleh ke arah Ryuzaki yang memanggil namanya. “Apa kau, ingin melindungi Ibumu?” tukas Ryuzaki sambil mengangkat sebelah tangannya ke samping.

Sebuah pohon, tumbuh tinggi di sampingnya. Semakin lama diperhatikan, kulit dari pohon yang Ryuzaki tumbuhkan itu sedikit menggelembung, hingga batang-batang seperti duri … Tumbuh mencuat dari dalam pohon tersebut.

“Ibumu adalah Kakakku. Kakak, yang sangat aku hormati dan sayangi. Percaya atau tidak, Aku menyaksikannya sendiri, Ayahmu menyaksikannya sendiri … Bagaimana Kou yang berwarna hitam itu memakan Ibumu-”

“Ryu!” bentakku, mencoba untuk menghentikan semua kata-kata yang dia lontarkan.

“Sihirnya sama sepertiku bahkan lebih kuat. Aku, dapat merasakannya, dan kemungkinan besar … Dia, bisa merasakan sihir yang aku miliki-”

“Apa maksudmu?” sergahku memotong perkataannya.

Mataku mengikuti lirikan Ryuzaki yang ia jatuhkan kepada Zeki, “Zeki?” tukasku mencoba untuk memanggilnya.

“Zeki!” Aku mencoba untuk memanggilnya kembali, tapi dengan nada suara yang sedikit tinggi dari sebelumnya.

Zeki menunduk lalu merogoh kantung saku yang ada di celananya, “aku menemukannya terselip di rambut Huri, saat kami semua menunggumu di luar Kastil,” papar Zeki sambil menunjukan sekelopak bunga mawar merah di tangannya kepadaku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang