Aku terdiam di bibir pantai, sambil menatap ratusan gelembung-gelembung air yang tak berhenti meletup di depanku. Dari gelembung tersebut, gulungan air mencuat seperti didorong dari dalam lautan. “Kou!” panggilku, disaat gulungan-gulungan air tadi, sedikit demi sedikit sudah mengubah bentuknya menjadi sebuah jembatan.
Kou terbang menjawab panggilanku. Dia mengepakkan sayapnya menuju jembatan air yang dibuat oleh Kakeknya Ebe, lalu membuat jembatan tersebut membeku dengan sihir yang ia miliki.
Kou terus saja terbang menjauh … Hingga bayangannya terlihat mengecil dan kian mengecil sampai tak terlihat lagi. “Kei, lakukan perintahku sebelumnya!” sambungku yang kali ini memerintah Kei.
Aku tak menghiraukan suara teriakan kecil yang terdengar dari arah belakang, karena kedua mataku terus saja menatapi jembatan es yang membentang di hadapan. Aku masih terdiam di tempatku berdiri, setelah gulungan angin yang membawa pasir bergerak melewatiku.
Angin itu terbang mengikuti jejak Kou, dengan meninggalkan hamparan pasir yang terlihat seperti karpet di sepanjang jembatan. Aku berbalik, sambil mengangkat sebelah tanganku ke arah jembatan, “jembatan ini akan membantu kalian menyeberang ke tempat yang lebih baik. Jadi, silakan!” tukasku dengan melemparkan tatapan kepada Bernice.
Aku berjalan mendekati Kei yang sejak sebelumnya tidak pernah mengucapkan kata-kata apa pun lagi kepadaku. “Aku akan menumpang di punggungmu, Kei. Jadi, bawa aku dengan hati-hati!” pintaku sambil menggerakkan tangan, sebagai perintah untuknya agar duduk secepat mungkin.
Aku tersenyum lalu beranjak duduk di punggungnya. “Sabra, kau bisa menemani Ratu Alelah yang duduk di atas kura-kura milikku. Aku yakin, kau pasti memiliki banyak hal untuk kau bicarakan dengannya,” ungkapku yang membuatnya menoleh cepat padaku.
“Shin, susul Kou secepat mungkin dan pastikan Pulau yang akan kita kunjungi aman untuk mereka tinggali! Jika kau menemukan apa pun yang akan menghalangi rencanaku … Hancurkan dan telan mereka semua!” sambungku beralih memerintah Shin sambil menggerakkan jempolku mengitari leher.
Shin dengan cepat merayap memasuki laut setelah mendengarkan perintah yang aku berikan. “Kenapa kau justru memberikan perintah itu kepadanya? Aku justru lebih kuat dibandingkannya!” celoteh Kei sambil membuang pandangannya padaku.
Aku kembali tersenyum disaat geraman Kei tak kunjung berhenti, “mau bagaimana lagi, aku lebih memercayainya dibandingkanmu. Kau bahkan sulit mengakuiku sebagai Tuanmu … Apa kau pikir aku akan memberikanmu tugas yang penting dengan semua sikapmu selama ini?”
“Gerakkan kaki-kakimu untuk membawaku, Kei! Kau iri pada mereka, tapi aku bisa memastikan bahwa mereka iri kepadamu … Karena sekarang, aku memilih duduk di punggungmu, dibandingkan mereka,” sambungku sambil tak berkedip membalas kedua mata birunya yang menatapku.
Senyum di bibirku lagi-lagi mencuat, ketika Kei mulai beranjak lalu berjalan membawaku menaiki jembatan. Di belakang, terlihat Bernice dan beberapa pasukan berjalan mengikuti jejak kami … Di belakang mereka lagi, Para Manticore yang membawa anak-anak di punggung mereka, berjalan dengan sangat tenang, lalu disusul ratusan perempuan yang berjalan di belakang mereka.
Aku menjatuhkan penglihatan, pada air laut di bawah kami yang terlihat sangat tenang. Permukaan laut yang ada di sekitar kami itu terlihat mati … Lupakan ombak! Bahkan buih-buih air pun, tidak akan kau temukan. “Kei, sejauh apa kau bisa mengendalikan angin?” tanyaku sekedar memecah kesunyian.
“Kau sudah bisa menilainya sendiri, disaat kali pertama aku membawamu,” jawabnya yang membuat kepalaku mengangguk tanpa sadar.
“Setelah selesai mengantar mereka. Aku berniat untuk menghancurkan sebuah Kerajaan … Apa kau bersedia membantuku, Kei?”
“Apa kau ingin angin milikku menghancurkan mereka hingga tak bersisa?”
Aku menggeleng pelan, “itu terlalu menarik perhatian jika kita melakukannya. Tapi aku ingin mencoba sesuatu … Sesuatu yang hanya bisa terjadi dengan bantuan kalian. Sebagai imbalan dari semua itu, musuh yang sekarat … Daging segar mereka, kau boleh memakannya,” ucapku datar sambil menunduk dengan mengusap kepalanya.
“Kau berubah, tapi aku menyukai kau yang sekarang,” sahutnya yang diikuti beberapa gulungan angin pembawa pasir, terbang cepat melewati sisi kanan dan kiri jembatan.
“Kau tahu, seorang Manusia dimakan oleh Hewan Buas … Itu sesuatu yang lumrah terjadi. Disaat keserakahan manusia meninggalkan kelaparan di tubuh hewan-hewan yang juga ingin hidup, bukanlah sebuah kejahatan ketika hewan-hewan itu balik menyerang dan memakan mereka.”
“Bagiku, anak-anakku lebih penting dibandingkan apa pun. Mereka yang berpotensi ingin menghancurkan hidup anakku … Aku akan menghancurkan hidup mereka terlebih dahulu. Jika memakan daging manusia bisa membuat kalian kuat untuk melindungi mereka … Aku akan memberikan daging manusia sebanyak apa pun yang kalian inginkan,” sambungku seraya kembali menatap lurus ke depan.___________.
Hari demi hari terus berganti, dengan kami semua yang masih berjalan melintasi lautan. Sesekali, kami semua akan berhenti untuk beristirahat sambil memakan buah-buahan beku yang Kou dan Para Leshy bawakan. Aku melirik pada Bernice dan pasukannya yang sedang mengulurkan buah-buahan setengah beku pemberian Kou barusan ke anak-anak di belakang mereka.
Aku menghela napas dengan punggung yang semakin terbenam di tubuh hangat Kei, “ini Sore yang kesekian kalinya. Apa masih jauh? Aku tidak menyangka jika perjalanan ini terasa sangat lama,” gumamku menggunakan Bahasa Inggris.
Tatapanku beralih pada bayangan Bernice yang berjalan mendekat, “jubah dan panah milikmu,” ucap Bernice sambil menjulurkan ketiga benda di tangannya itu padaku.
“Duduklah!” perintahku yang segera diikuti olehnya tanpa banyak perlawanan.
Aku meraih jubah, busur panah berserta tabung berisikan puluhan anak panah milikku dari Bernice. “Kau mengembalikan benda-benda ini padaku, itu berarti kau menyetujui permintaanku, kan?” tuturku sambil meletakkan ketiga benda tadi di samping.
“Aku akan melakukannya setelah memastikan kehidupan mereka baik-baik saja.”
Kepalaku yang menunduk itu, dengan cepat menggeleng menjawab perkataannya, “terlalu lama untuk menunggumu melakukannya. Setelah kita sampai di Pulau Tersebut, kita akan langsung pergi melanjutkan perjalanan … Percayakan saja, semua hal ini kepada Prajurit-prajuritmu! Itu juga, kalau kau memiliki kepercayaan kepada mereka,” sahutku sembari menoleh ke arah Matahari yang hampir terbenam.
“Apa kau tidak penasaran? Kenapa Perempuan yang terlihat lemah sepertiku, bisa memimpin mereka semua. Apa kau tidak penasaran? Seperti apa kejamnya Dunia Luar hingga membuat Nenek Buyut kalian kabur dan memilih untuk menetap di Pulau tersebut?” sambungku dengan kembali menjatuhkan pandangan kepadanya.
Bernice cukup lama terdiam setelah mendengarkan ucapanku, “ceritakan kepadaku, seperti apa sesungguhnya Dunia di luar sana! Aku tidak ingin pergi tanpa mengetahui apa pun! Karena aku tidak ingin, ketidaktahuanku itu, justru membuatku terlihat tak berguna.”
“Tentu, tapi sebagai syaratnya … Kau harus mendengarkan setiap perintahku. Disaat aku memerintahkanmu untuk berhenti atau melawan, kau harus melakukannya disaat itu juga tanpa banyak bertanya. Apa kau siap?” Senyum di bibirku, kali ini mengembang lebih besar ketika Bernice yang awalnya terlihat ragu, akhirnya membalas perkataanku tadi dengan sebuah anggukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...