Chapter DCXCIX

2.2K 437 13
                                    

Sudah beberapa pekan sejak pembicaraan kami tempo dulu. Anak-anak yang awalnya terlihat bersemangat ketika menaiki Kapal, kini semangat itu justru meluruh seiring waktu. “Kenapa wajah kalian jadi seperti itu?” tukas Eneas kepada mereka yang berjalan di belakangnya.

“Ayah, sampai kapan kita akan terus berada di sini?” sahut Takumi sambil berlari mendekati Ayahnya yang duduk di sampingku.

Izumi membungkuk lalu menggendong Takumi ke pangkuannya, “tidak akan lama lagi. Kita akan segera sampai ke tempat yang akan kita tuju,” jawab Izumi kepadanya.

Aku melompat turun dari salah satu tong yang sebelumnya aku duduki, “bagaimana? Apa Paman Eneas mengajarkan kalian sesuatu yang baru lagi hari ini?” tanyaku sambil duduk berjongkok di depan Ihsan dan juga Huri yang datang bersama Eneas.

Bibirku tersenyum seraya menggendong mereka untuk duduk di deretan tong, setelah sebelumnya anggukan kepala dari mereka menjawab pertanyaanku. “Di mana Haruki, Eneas?” Izumi bertanya sembari melirik ke arah Eneas yang menggendong Hikaru untuk duduk di samping Ihsan.

“Haru nii-san, Kak Zeki dan juga Aydin, mereka melakukan pembicaraan bersama Raja Lamond,” sahut Eneas, sebelum dia menyandarkan diri dengan berdiri di salah satu tong.

Aku melirik ke arah Hikaru yang terdiam dengan menundukan kepalanya, “Hikaru, apa terjadi sesuatu?” tanyaku, aku sedikit risau dengan menyentuh pipinya yang pucat pasi itu.

Dia hanya menggeleng pelan lalu menunduk kembali. “Hikaru? Jika terjadi sesuatu, hanya ceritakan saja kepada kami,” ungkapku lagi kepadanya yang masih rapat mengatup bibir.

“Hikaru! Seorang Pangeran memanglah harus menyembunyikan kelemahannya, tapi itu bukan berarti kau harus menutupi semuanya dari keluargamu! Kalau tidak bergantung kepada keluargamu, kepada siapa lagi kau akan mencari bantuan suatu saat nanti!” sahutan dari Izumi membuat tatapanku dengan cepat beralih kepadanya.

Tarikan napasku kian panjang sebelum kuembuskan dengan sangat pelan, “baiklah,” ungkapku, Hikaru kembali mengangkat wajahnya lagi tatkala aku meraih lalu menggendongnya, “Eneas, bantu aku untuk menjaga mereka berdua!” pintaku kepada Eneas, sebelum langkahku yang menggendong Hikaru bergerak meninggalkan mereka.

“Bibi!” Langkahku berhenti sesaat suara Hikaru yang memanggilku itu, bercampur dengan gengamannya di pakaianku.

“Apa kau, tidak ingin membuat Ayah dan Ibumu khawatir, Hikaru? Jika benar, Bibi akan membantumu menyembunyikannya, jadi … Ceritakan apa yang terjadi kepada Bibi, ya. Hikaru, sudah seperti Putra Bibi sendiri,” ungkapku, dengan langkah yang kembali bersambung saat dia tak menjawab perkataanku lagi.

Aku membawa Hikaru ke kamar, lalu menurunkannya untuk duduk di pinggir ranjang. “Hikaru?” tukasku, keningku sedikit mengernyit dengan menatapnya yang tertunduk sambil menyentuh dadanya sendiri.

Rasa cemas menyeruak dari dalam tubuhku, saat kutatap kembali wajahnya yang pucat itu telah dipenuhi oleh keringat, “apa kau sakit?” tanyaku kembali sambil mengusap pelan keringat yang memenuhi keningnya.

“Hikaru?” lagi-lagi aku mencoba untuk memanggilnya yang masih saja enggan untuk bersuara.

“Sachi!”

Aku beranjak dengan menoleh ke belakang tatkala sebuah suara yang samar terdengar memasuki telinga. Langkahku bergerak mendekati pintu lalu membuka pintu tersebut, “Lux? Ada apa?” Aku bertanya kepadanya yang menyelonong terbang ke dalam kamar.

“Hikaru!”

Lux memanggil namanya, setelah dia sendiri telah terbang di depan Hikaru. Saat aku sudah menutup kembali pintu dan hendak berjalan mendekati mereka. Lirikan mataku dengan cepat beralih ke arah ketukan-ketukan pelan dari luar jendela. “My Lord!” Keningku mengerut, setelah mendapatkan sosok Uki yang terbang di luar kapal dengan paruhnya yang tak berhenti mematuk kaca jendela kamar.

Aku dengan cepat membuka kembali pintu kamar lalu berlari kencang keluar dari dalam kapal. Kepalaku mendongak dengan langkah yang terhenti sambil menatapi bayangan Uki yang terbang turun mendekati. “Bawa aku kepadanya, My Lord!” pinta Uki setelah dia sendiri telah berhenti tepat di depan wajahku.

“Dia? Maksudmu Hikaru?”

“Sachi, apa yang terjadi?”

Aku hanya menatap Izumi yang berjalan mendekat tanpa menjawab pertanyaannya. Tubuhku dengan cepat bergegas masuk kembali ke dalam kapal dengan menghiraukan Izumi yang berjalan di belakang, mengikuti jejakku. “Uki, apa yang terjadi?” tanyaku cemas, ketika Uki dengan sepintas terbang cepat melewatiku, sesaat aku membuka pintu kamar.

Tubuh Uki yang lumayan besar itu, menyelinap lalu duduk di atas pangkuan Hikaru. “Bawa dia pergi dari Dunia Manusia! Saudaramu, mungkin tidak akan terpengaruh dengan hal ini, tapi untuk manusia sepertinya yang terlahir dari bantuan Robur Spei … Aku mengkhawatirkan nyawanya,” tukas Uki yang membuatku sangat-sangat terkejut.

“Apa ini, berhubungan dengan akan munculnya kegelapan itu?” Aku kembali bertanya menggunakan Bahasa Inggris sambil duduk berlutut di depan Putra Kakakku itu.

“Aku sudah bertanya kepadanya, dan dia mengatakan bahwa dadanya sakit. Aku sudah mengkhawatirkan hal ini sejak beberapa hari yang lalu, karena entah kenapa … Sihir Robur Spei yang walaupun samar untuk dirasakan, perlahan-lahan memudar,” sahut Lux, yang mengucapkannya  menggunakan Bahasa Latin.

“Bibi, apa terjadi sesuatu?”

Aku menggeleng pelan sambil menyentuh pipinya, “tidak terjadi apa pun, Hikaru. Semuanya baik-baik saja,” ungkapku dengan mencoba untuk berpura-pura tersenyum di depannya.

“Tetaplah di sini bersama Uki. Bibi memanggilnya, untuk menghilangkan rasa sakit Hikaru. Hikaru, beristirahat saja di sini bersamanya, Bibi dan Paman, akan segera kembali,” ucapku, aku kembali mengeluarkan senyum paksa saat dia mengangguk, menanggapi permintaanku.

Aku beranjak lagi dengan berjalan mendekati pintu. Kepalaku sendiri sedikit bergerak ketika mataku dan mata Izumi saling bertatap, sebelum langkahku bergerak meninggalkan kamar. “Sachi, apa yang terjadi kepadanya?” tanya Izumi, diikuti derap langkah mengikuti di belakang.

“Lux, apa kau tahu di mana Haru-nii?” tukasku dengan terus berjalan sambil sesekali mengusap keringat yang mengalir di kening, “aku akan menceritakan apa yang terjadi, setelah kita bertemu dengan Haru-nii,” sambungku, diikuti tarikan napas dalam yang aku lakukan.

“Ikuti aku!”

Langkahku semakin cepat berjalan mengikuti Lux yang terbang melewati dari arah belakang. Dia terus terbang lalu berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup. “Haru-nii, apa kau di dalam?!” panggilku sambil mengetuk pintu tersebut.

Aku melirik ke arah Izumi, ketika tangannya muncul dari arah belakangku, mengetuk pintu itu juga, “Haruki, buka pintunya!” sahut Izumi seraya terus mengetuk berulang-ulang pintu saat suara untuk menanggapi panggilan kami sama sekali tak terdengar.

Aku berjalan mundur sembari membuang pandangan kepada Izumi ketika pintu itu terbuka dari dalam, “ada apa? Apa terjadi sesuatu?” Sosok Haruki yang muncul dari balik pintu, bertanya dengan menatap kepada kami bergantian.

“Terjadi sesuatu!” tukasku, Haruki masih terdiam dengan keningnya saja yang sedikit mengerut melihatku, “ini menyangkut nyawa Hikaru, nii-chan. Nyawanya, be,” tukasku terhenti sambil kugigit kuat bibirku saat kedua bola mata Haruki membelalak menatapku.

“Nyawa Hikaru, berada dalam bahaya … U-Uki sendiri, yang mengatakannya,” sambungku kembali kepada Kakak Sulungku itu.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang