Aku menunduk sambil meraba perutku yang tak tertutupi sehelai benang pun itu. Mataku kian menunduk, menatap kedua pahaku yang terlihat jelas oleh celana pendek yang aku kenakan. “Aku merasa, angin dapat masuk dengan mudah ke dalam perutku. Apa kalian, tidak merasa bahwa pakaian ini terlalu terbuka?” cetusan Bernice, membuat kami bertiga seketika menoleh padanya.
Pakaian berwarna putih yang hanya menutupi sedikit bagian atas perutnya itu, berkali-kali Bernice tarik ke bawah menggunakan tangannya. Dia juga, tak henti-hentinya menoleh ke kedua pundaknya disaat pakaian tersebut hanya meninggalkan seutas kain kecil melingkar di lengannya. “Kau terlihat menggoda di mataku,” sahutku membalas ucapannya.
Bernice mengacungkan jari telunjuknya kepadaku, “aku tidak ingin mendengar hal ini darimu,” ungkapnya dengan kembali tertunduk menatapi pakaiannya.
“Aku tidak terlalu peduli, karena dulu juga aku tidak terlalu mengenal pakaian.”
“Pakaian ini hampir sama dengan pakaian suku kami. Jadi tidak apa-apa untukku,”sahutan bergantian dari Ebe dan Sabra, membuat Bernice termangu dengan membuka sedikit bibirnya.
“Kulit kalian indah, tidak seperti milikku. Kalian pasti bisa menggoda mereka tanpa aku perlu ikut melakukan ini-”
“Kau benar-benar membuatku muak, Bernice!” tuturku yang dengan cepat ia balas menggunakan lirikan tajam, “berkali-kali aku mengatakan … Kau cantik! Tubuhmu benar-benar membuatku kagum! Hanya karena warna kulit kita berbeda, bukan berarti aku lebih cantik darimu atau Sabra lebih cantik darimu.”
“Lagi pula, untuk apa kecantikan, untuk apa kulit yang bagus, kalau semua hal itu tidak bisa membuat seseorang yang kau sayangi … Berjuang mempertahankanmu untuk jangan pergi,” kata-kataku terhenti dengan tarikan napas yang sangat dalam, “Sachi yang dulu akan dengan mudahnya berpikiran seperti itu. Namun Sachi yang sekarang, akan memanfaatkan semuanya dengan baik.”
“Apa kau pikir aku menyukainya? Maksudku, melakukan semua hal ini, apa kau pikir aku menyukainya?” sambungku yang tertunduk sambil menatap telapak tanganku sendiri, “setiap aku menyentuh laki-laki lain … Bayangan kedua anakku selalu muncul di kepalaku, bayangan mereka berdua yang terlihat bahagia memanggil Ayah mereka-”
“Saat ini, aku tidak pantas untuk dipanggil sebagai Istri atau Ibu, tapi aku sudah tidak bisa mundur untuk menyesali semuanya. Jadi untuk apa kita perlu memikirkan pendapat mereka yang ada di sana nanti … Kalau pada akhirnya, Kerajaan ini akan menghilang bersama mereka semua,” ungkapku yang beranjak sambil meraih jubah yang ada di sampingku.
_____________.
Aku berjalan mengikuti sihir Lux dan Para Leshy yang aku rasakan, dengan mereka bertiga yang turut berjalan di belakangku. Langkahku berhenti setelah jauh meninggalkan kerumunan Pasar, menunggu empat ekor kuda berwarna cokelat yang berjalan mendekat setelah melihat kedatanganku. “Kalian mengubah diri menjadi kuda kali ini?” tuturku sambil mengusap salah satu kepala kuda yang memiliki garis putih di kepalanya.
“Sachi!”
Mataku segera menoleh pada Lux yang terbang mendekat lalu hinggap di kepala Leshy yang ada di hadapanku itu, “aku yang meminta mereka untuk berubah menjadi kuda. Aku,” ungkap Lux terhenti sambil menyentuh dadanya sendiri, “sudah mengetahui seperti apa festival tersebut. Kalian di sana akan melawan kelompok lain memperebutkan sebuah sebuah kantung kulit. Kalian harus mempertahankan kantung itu dan membawanya ke sebuah jaring milik kelompok kalian. Ini berbahaya, karena semua kelompok dipersilakan melakukan apa pun untuk mempertahankan kantung itu di tangan mereka-”
“Apa kalian benar-benar yakin ingin mengikutinya?” sambung Lux yang berusaha menyakinkan kami.
Mereka bertiga mengangguk sesaat pandanganku beralih, “kami akan melakukannya. Mendekati Kerajaan, merupakan cara paling baik untuk mengetahui di mana Anak-anak itu disembunyikan,” jawabku, bersambut dengan tarikan napas dan helaan dari Lux.
“Baiklah. Bawa kuda-kuda ini! Karena permainan itu, harus dilakukan sambil menunggangi kuda. Aku sendiri akan bersembunyi, memperhatikan kalian semua secara diam-diam … Mungkin, dengan aku melakukannya, kita bisa lebih cepat menemukan keberadaan mereka.”
“Kalian semua, berhati-hatilah!” sambungnya dengan kedua sayap mengepak, terbang jauh meninggalkan kami.
___________.
Kami terus melangkah maju sambil menunggangi Para Leshy yang telah mengubah bentuknya menjadi kuda. Aku yang memimpin mereka, berjalan mendekati sebuah kerumunan tengah mengelilingi kotak kayu besar. Bernice melompat turun dari kuda yang ia tunggangi lalu berjalan, menyelip ke dalam kerumunan sesaat mataku menoleh padanya.
Bernice kembali balik menemui kami, setelah dia sudah berhasil memasukkan selembar kertas yang dia curi dari seorang laki-laki sebelumnya ke kotak tadi. Aku mengajak mereka pergi menjauh dari kerumunan, disaat Bernice sudah duduk di atas kudanya lagi. Kami memasuki sebuah lapangan luas dengan banyak sekali orang di dalamnya … Dan jauh di panggung yang ada di sana, deretan Singgasana Mewah tak berisi, menghias festival ini.
Aku menarik jubahku yang hampir tersibak memperlihatkan paha milikku, disaat kuda-kuda kami berhenti … Bergabung dengan mereka semua yang ikut dalam festival ini. Cukup lama kami menunggu, hingga barisan Singgasana tadi telah terisi dengan Alma dan Vartan, yang duduk di salah satu kursi di sana. Seorang laki-laki paruh baya berdiri, memberikan sepatah-dua patah kata hingga kerumunan meneriakkan, Yang Mulia … Cukup memberitahukanku, siapa dia yang ada di sana.
Akan ada dua buah kantung kulit berisi kerikil yang harus kalian pertahankan hingga pertandingan selesai. Dua kelompok yang dapat mempertahankan kerikil tadi, akan menjadi kelompok yang saling bertarung untuk menentukan siapa pemenangnya dalam festival … Kira-kira seperti itu yang dapat aku simpulkan dari perkataan laki-laki di hadapan kami.
Keadaan yang ricuh, seketika hening oleh suara gong di sudut lapangan. Suara gong kedua, mulai terdengar sedikit riuh … Disaat suara gong yang ketiga kalinya terdengar, semua orang yang mengikuti pertandingan segera menunggangi kuda mereka ke arah dua tonggak kayu dengan dua kantung kulit terikat di tengah-tengah lapangan.
“Kenapa kau tidak bergerak?”
Aku masih terdiam menatapi kerumunan laki-laki itu yang saling senggol hingga beberapa di antara mereka ada yang terjatuh hingga terinjak oleh kuda lawan-lawan mereka. “Jangan menyia-nyiakan tenaga kita. Jangan bergerak, kecuali aku memerintahkan kalian untuk bergerak!” ungkapku menjawab pertanyaan Bernice yang mencuat.
“Apa kau takut?”
“Takut?” tuturku yang terus saja menatapi kerumunan itu, “aku tidak takut. Aku hanya tidak suka harus bergumul mencium bau tubuh mereka yang menjijikan. Lagi pula, dibanding meragukan keputusanku … Kenapa tidak gunakan saja mata kalian untuk memerhatikan siapa yang ingin kalian waspadai. Itu lebih berguna, karena kita akan melewati seleksi ini tanpa mengeluarkan banyak tenaga,” ucapku kembali pada Bernice yang ada di samping.
Aku menarik napas yang sangat dalam lalu mengembuskannya, sebelum kedua mataku menutup pelan, “Kei, apa kau mendengarku? Ada sesuatu yang harus kau lakukan, ini perintah!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...