Aku melirik ke arah Ebe yang telah berenang menjauh, lalu memalingkan kembali tatapan mataku ke arah kerang yang diberikan olehnya, “aku, memang akan menyimpannya … Tapi hanya untuk aku berikan kembali kepadanya, antara kakak dan sahabatku … Aku, tidak bisa memilih di antara mereka,” bisikku kepada diri sendiri sambil menyelipkan kerang kecil itu ke dalam pakaianku.
Aku berbalik, lalu berenang menyusul Ebe yang kian menjauh. “My Lord,” tukas Kakeknya Ebe, dia membungkukkan tubuhnya saat aku sendiri pun telah berhenti di dekat mereka yang sudah berkumpul.
“Bagaimana keadaan kalian?” tanyaku, ketika dia telah mengangkat kembali pandangan.
“Kami semua baik-baik saja. Cucuku mengatakan, ada yang ingin engkau bahas kepadaku.”
Aku menganggukkan kepala menjawab perkataannya, “aku ingin mengetahui, apakah ada makhluk berbentuk kura-kura yang hidup?”
Matanya membelalak mendengar perkataanku, “kura-kura?” Dia balas bertanya, diikuti lirikan matanya yang bergerak sedikit ke samping.
“Jangan menyembunyikan apa pun, ini untuk keselamatan kita semua … Keselamatanmu, keluargamu, dan keselamatan rakyatmu juga,” sahutku yang dengan cepat menimpali perkataannya.
“Dia yang membawa daratan, hidup jauh di tempat terlarang di Utara … Selain manusia dan aanjing yang dulu pernah mengganggu kalian, ada satu makhluk lagi yang harus dihindari oleh kami, bangsa duyung,” ucapnya sambil menggerakkan jari telunjuknya hingga air yang ada di sekitarnya membentuk sebuah kura-kura besar di hadapanku.
“Dari yang pernah aku dengar, bahwasanya … Setiap duyung yang mencoba untuk mendekatinya, akan menjadi santapan oleh dia yang membawa daratan. Karena itulah, kami bangsa duyung hidup sangat dalam dari permukaan itu sendiri,” sahutnya, dia kembali menggerakkan jarinya hingga air berbentuk kura-kura yang ada di hadapanku itu menghilang.
“Maafkan aku, My Lord. Namun, hanya itu yang aku tahu, karena baik aku sendiri pun … Belum pernah bertemu langsung dengan makhluk itu,” ucapnya lagi kepadaku.
Aku menghela napas hingga gelembung-gelembung halus keluar dari bibirku ketika dia menghentikan perkataannya, “jadi bagaimana nii-chan?” tanyaku, setelah Lux sendiri telah mengartikan pembicaraan kami kepada Haruki, Izumi dan juga Eneas.
“Itu sudah lebih dari cukup, satu-satunya cara agar kita menemukannya hanyalah … Menyusuri lautan hingga ke ujung Utara menggunakan Hippocampus,” sahut Haruki, dia melirik ke arah Izumi yang membalas perkataannya dengan anggukan.
“Kakek, boleh aku ikut perjalanan mereka? Aku, sudah lama sekali penasaran akan makhluk mitos itu!”
Pandangan mata kami, beralih ke arah Dekka yang berenang mendekati Kakeknya. “Apa kau tidak dengar apa yang kakek katakan? Makhluk itu, menjadikan kita mangsanya.”
“Tapi itu belum tentu benar, bahkan kakek sendiri saja belum pernah melihatnya langsung!” tukas Dekka memotong perkataan Kakeknya.
“Kakek, kalau boleh aku juga ingin ikut membantu Sachi,” timpal Ebe yang membuatku dengan cepat melirik kepadanya.
“Di mana-”
Bentakan Kakek mereka terhenti, ketika mereka berdua masih bergeming tanpa berkedip membalas tatapan kakek mereka. “Memang benar sihir kalian dapat membantu mereka di lautan, tapi ini juga sangat berbahaya untuk kalian berdua,” sahut kakek mereka sambil berenang mundur lalu duduk di singgasana batu yang tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri.
“Aku, tidak akan melarang mereka jika mereka memang ingin membantu … Lagi pula, lebih bagus untuk mereka pergi bersama kami dibanding jika mereka pergi sendiri karena rasa penasaran yang mereka miliki.”
Dan juga, aku berharap Ebe dapat menyerah … Jika saja dia mengetahui kebiasaan-kebiasaan buruk kakakku, Izumi.
“Mereka setidaknya dapat mengendalikan air, kita bisa terbantu oleh sihir mereka … Jadi, tidak apa-apa jika kita mengajak mereka berdua, bukan?” sambungku sambil menoleh ke arah Haruki yang berdiri tak terlalu jauh di belakangku.
“Aku tidak akan mempermasalahkannya,” ucap Haruki menimpali perkataanku padanya. “Akan tetapi, bagaimana denganmu Izumi? Apa kau, tidak masalah akan hal ini?”
“Kenapa kau bertanya kepadaku dengan wajah seperti itu? Jika mereka dapat mengendalikan air, itu berarti mereka kuat … Lalu apa yang harus dikhawatirkan?” balas Izumi dengan menatapku dan juga Haruki bergantian.
“Baiklah, adikku sangat jarang sekali melakukan kesalahan dalam menilai kekuatan seseorang … Aku percaya, kepada ucapannya,” sahut Haruki setelah Izumi menghentikan perkataannya.
“Kalau semuanya sudah diputuskan, kami ingin melanjutkan perjalanan sesegera mungkin,” ucapku yang kembali mengalihkan pandangan kepada Raja duyung yang masih duduk bersandar di singgasananya.
_______________.
Aku mempererat rangkulan tanganku di leher Kuro yang berenang kian cepat membelah lautan. Tubuhnya, bergerak gesit menghindari beberapa reruntuhan batu yang kemungkinan terbawa air laut ke dasar lautan. Kuro berenang cepat ke atas, menyusul mereka yang juga telah berenang terlebih dahulu semakin mendekati permukaan.
“Bagaimana?” tanyaku, ketika kepalaku itu telah keluar dari dalam air.
Haruki menoleh ke arahku yang berenang di sampingnya, “aku sudah meminta Lux untuk mengecek pulau tersebut, kemungkinan itu pulau tak berpenghuni … Kalau benar dugaanku, kita akan beristirahat di sana sejenak,” ucap Haruki sambil menunjuk ke arah tepian pantai dengan beberapa batu besar di sekitarnya.
“Sudah beberapa hari sejak kita pergi menyusuri lautan, kita pun meninggalkan perlengkapan begitu saja di pantai sebelumnya … Hanya pakaian dan pedang saja yang tersisa melekat di tubuh kita,” sahut Izumi yang juga telah ikut muncul ke permukaan bersama Eneas di belakangnya.
“Setelah keluar dari lautan, perutku tiba-tiba terasa lapar … Apa air laut, yang membuat perut kita kenyang selama ini?” sambung Izumi sambil berenang menjauh mendekati pulau meninggalkan kami.
“Yang dikatakan Izumi itu benar, bahkan semua uang dan juga panah yang kita bawa dari Yadgar tertinggal di tepi pantai bersama dengan kuda-kuda yang kita miliki. Ingin kembali pun, pasti semuanya telah lenyap diambil seseorang,” timpal Haruki, yang juga turut berenang meninggalkan Hippocampus miliknya, menyusul Izumi dan juga Eneas yang sudah berdiri di bibir pantai.
Aku melepaskan rangkulanku pada Kuro lalu berenang menyusul mereka mendekati pantai. Lirikan mataku beralih kepada Eneas yang telah duduk bersandar, sambil menjemur pakaiannya di salah satu batu yang ada di pantai. “Eneas, jemur pakaian kami baik-baik, kalau terbang tertiup angin … Kau harus berenang untuk mengambilkannya!”
“Kenapa tidak menjaganya sendiri saja!” balas Eneas terhadap bentakan Izumi.
“Aku ingin mencari keringat sambil mencari sesuatu yang dapat kita makan.”
“Kau tidak akan menemukan apa pun di sana, Izumi! Tidak ada hewan hidup di sana, aku sudah memeriksanya sekilas,” sahut Lux menghentikan langkah Izumi yang hendak berjalan menjauh.
“Apa kau yakin, Lux?” Aku balas bertanya sambil berjalan mendekatinya yang hinggap di pundak Haruki.
“Aku sangat yakin. Di dalam sana hanya ada bebatuan yang diselimuti rumput … Bahkan, pohon-pohon tinggi yang menumbuhkan buah pun tidak ada. Aku juga, tidak bisa merasakan adanya manusia yang hidup di sini,” sambung Lux yang mengalihkan pandangannya kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...