“Apa kalian tidak mengetahui kabar kedatangan mereka?” tanyaku sambil berjongkok dengan mengenakan baju berwarna putih kepada Ihsan.
Aku menoleh ke arah Zeki yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang ia gunakan untuk mengusap kepalanya. “Aku tidak menyadarinya. Aku justru terkejut saat melihatnya tadi,” jawabnya, dia berjalan mendekati ranjang seraya meraih pakaian miliknya yang telah aku siapkan.
“Ibu, apa kita akan makan malam di tempat Bibi Julissa?”
Aku menggeleng, menatapinya yang duduk di pinggir ranjang, “kita akan bertemu dengan Kakek kalian. Kalian berdua paham apa yang harus dilakukan, bukan?” Mereka berdua mengangguk, menjawab pertanyaanku.
“Baiklah,” ungkapku sembari beranjak berdiri di depan mereka, “anak laki-lakiku sudah tampan, anak perempuanku sudah cantik … Bagaimana denganmu sendiri, Ayah? Apa Ayah sudah selesai berpakaian? Atau, haruskah Ibu yang membantumu berpakaian?”
Suara tawa dari Ihsan dan Huri terdengar di telingaku tatkala handuk yang sebelumnya Zeki letakan di ranjang, ia lemparkan tepat di wajahku. “Ini sakit sekali! Apa Ayah malu, di hadapan Anak-anakmu?” ungkapku dengan tetap mencoba untuk menggodanya.
“Berhenti melakukannya atau kau akan menyesalinya,” ungkapnya geram yang aku sambut dengan tawa sambil membawa handuk di tanganku ke anyaman keranjang berisi pakaian kotor di dekat kamar mandi.
Aku kembali berbalik melangkah mendekati mereka. “ayo cepat! Kita sudah terlambat,” ungkapku sambil meraih tangan Ihsan sedang Zeki sendiri telah menggendong Huri.
Kami berjalan beriringan keluar dari kamar. Kepalaku yang sempat tertunduk, terangkat oleh usapan di punggung yang aku rasakan. Napasku berembus kuat, seraya mengangguk pelan agar dia juga tak terlalu mengkhawatirkanku. Zeki menggerakan sedikit kepalanya, seakan memintaku untuk berjalan masuk terlebih dahulu.
Aku mengikuti apa yang ia pinta. Di dalam ruangan tersebut, sudah ada Raja Bagaskara, Raja Lamond, Adinata, Haruki, Amanda dan anak mereka, Izumi, Ebe, berserta Takumi, Aydin, dan tak lupa Duke Masashi dan juga Sasithorn. Aku berjalan mendekati Duke Masashi, “Paman,” ucapku sambil duduk bersimpuh di dekatnya.
Dia menatapku dengan sangat lama, “Haruki sudah menceritakan semuanya. Kalian, selalu saja membuatku tidak habis pikir,” ungkapnya yang aku balas dengan senyum kecil.
“Apa mereka berdua anak kalian?” sambungnya ketika Zeki menurunkan Huri di dekat kami.
Duke Masashi menoleh ke arah mereka berdua ketika kepalaku mengangguk menanggapi perkataannya. “Kakek dan Nenek kalian, tidak bisa hadir ke sini karena di Sora masih banyak yang harus mereka urus. Setelah pulang, aku berjanji akan menceritakan kepada mereka … Bahwa mereka memiliki cucu yang sangat menakjubkan,” ucapnya sambil menyentuh pipi Huri dan Ihsan secara bersamaan.
Aku kembali beranjak dengan berjalan mengajak Ihsan dan Huri mendekati Zeki yang telah duduk. Mataku sedikit-sedikit bergerak ke arah Sasithorn yang duduk tertunduk di dekat Duke Masashi, dia terlihat hening, tak mengeluarkan suara sedikit pun. “Ayah, apa aku boleh tidur di kamar Paman Eneas malam ini?” ungkap Takumi yang tiba-tiba bersuara.
“Aku pun Ayah, apa Ihsan juga boleh ikut?” kali ini Ihsan yang turut menyahuti perkataan Takumi.
“Aku pun Ayah,” ucap Hikaru singkat sambil mendongak menatapi Ayahnya.
“Apa yang ingin kalian lakukan?” Haruki balas bertanya dengan menoleh ke arah Eneas.
“Mereka semua, memintaku untuk mengajari sesuatu. Aku, akan memastikan mereka semua tidur tidak terlalu larut,” jawab Eneas membalas tatapan Haruki.
Lirikan mataku bergerak ke arah suara isakan yang tiba-tiba muncul. Aku menjatuhkan tatapan kepada Izumi dan juga Ebe yang menghentikan apa yang mereka lakukan. “Ada apa? Apa yang terjadi kepadamu?” tanya Raja Bagaskara, saat yang lain tidak bersuara mendengarkannya.
Aku menggelengkan kepala tatkala Haruki yang duduk berseberangan, melirik ke arahku. Haruki beranjak berdiri dari tempat duduknya, “Izumi, Sachi dan kau, Sasithorn, ikuti aku! Maafkan kami, Raja Bagaskara, Raja Lamond, ada yang harus kami selesaikan … Kami permisi,” ungkapnya sambil membungkuk ke arah mereka berdua sebelum berjalan meninggalkan ruangan.
Zeki mengangguk tatkala aku menoleh ke arahnya. Aku beranjak berdiri, mengikuti langkah Izumi yang sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkan ruangan. Sambil terus melangkah, sesekali aku melirik ke arahnya yang masih terisak mengikuti kami dari belakang.
Haruki mengajak kami ke kamar yang dipersiapkan untuknya. Dia duduk di samping ranjang, dengan bersilang dada menatapi kami yang berdiri di depannya. “Duduk di sampingku, Sa-chan!” perintahnya seraya melirik ke arah kiri.
Tanpa banyak bertanya, aku melakukan apa yang ia perintahkan. “Jadi, apa kau telah memberitahukannya semua yang terjadi, Izumi?” tanya Haruki sambil menjatuhkan pandangan kepadanya.
“Aku telah melakukannya. Aku telah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku pun, akan tetap bertanggung jawab untuk hidupnya sampai dia menemukan laki-laki yang baik untuknya … Aku, tidak sejahat itu untuk membuang seorang perempuan begitu saja,” ungkap Izumi dengan sedikit membuang matanya ke samping.
“Lalu, apa tawaran dari Adikku masih belum memuaskanmu?”
Dia yang sebelumnya tertunduk, mengangkat wajahnya menatapi Haruki. “Guru yang dulu sempat mengajariku, pernah mengatakan hal ini kepadaku. Musuh terbesar seorang manusia adalah dirinya sendiri. Saat … Seseorang tersebut, mengingikan sesuatu yang lebih dan lebih dari apa yang seharusnya dia dapatkan. Apa kebaikan yang kami berikan kepadamu, masih belum cukup?” tukas Haruki, hingga membuat mata Sasithorn sedikit membelalak.
“Jika kau berpikir, bahwa adikku, Izumi, sangatlah memerhatikan hidupmu. Kau salah besar! Kau bisa hidup sampai sekarang, itu hanya dari belas kasihanku. Aku menyelamatkanmu, hanya karena tidak ingin dianggap tak bertanggung jawab oleh adik perempuanku sendiri, yang menghidupi kalian selama bertahun-tahun adalah aku … Izumi, tidak pernah memiliki andil di dalamnya.”
“Jadi, apa kau masih berpikir bahwa dia peduli akan hidupmu?”
Haruki beranjak berdiri dengan berjalan mendekatinya. “Haruki!” Izumi meninggikan suaranya, begitu juga denganku yang langsung beranjak … Berusaha untuk menjauhkannya, saat Haruki dengan sangat tiba-tiba mencekik leher Sasithorn.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau ingin membunuhnya?!” Izumi lagi-lagi membentaknya setelah dia berhasil melepaskan cekikan Haruki di leher Sasithorn.
“Aku membenci sebuah beban yang tidak bisa menilai dirinya sendiri. Dia ingin dipertahankan olehmu, bukan? Tapi coba lihatlah dirimu sendiri, apa kau pantas untuk dipertahankan adikku?” ungkap Haruki, dia menyapu kedua tangannya sendiri sembari berjalan kembali mendekati ranjang.
“Aku mengetahui semuanya, berhenti berpura-pura di depanku. Kenapa, kau mendorong Luana hingga dia terjebak di dalam terowongan kala itu? Siapa yang memerintahkanmu? Katakan, sebelum aku memotong lidahmu hingga kau tidak bisa lagi berbicara?”
Kepalaku dengan cepat menoleh kembali kepada Sasithorn yang dirangkul oleh Izumi. “Apa yang kau maksudkan, Haruki?” tanya Izumi sambil menunduk, menatapi Sasithorn yang masih sesekali batuk oleh cekikan yang Haruki lakukan sebelumnya.
“Bibi yang menceritakan hal ini kepadaku sejak lama, aku diam hanya karena aku ingin menyelidiki ini semua. Aku meminta Izumi untuk membatalkan pertunangan, bukan tanpa alasan. Apa kau pikir, kau bisa mempermainkanku?” sahut Haruki, dia melirik ke arah sebuah pintu yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...