Bab 16 [Konversasi 2 Pagi]

378 91 28
                                    

Bimasena

Nampaknya kita masih meragu untuk melangkah lagi, meskipun perasa saling terpaut. Maka di sini, di bawah bumantara yang perlahan kehilangan rona jingganya, lembar terakhir ceritaku tertinggal di Parangtritis.
Shanin, semoga Belgia menyambutmu dengan suka cita.

 Shanin, semoga Belgia menyambutmu dengan suka cita

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Pukul dua pagi. Netraku masih saja enggan untuk menyelami alam mimpi. Ini hari ke tujuh aku tinggal di hotel. Nampaknya ayah masih ragu untuk membawaku pulang. Jadi di sinilah aku, berdiri di hadapan kaca jendela yang menampilkan biasan pendar lampu gedung juga lampu kendaraan yang berlomba menampilkan cahaya yang paling terang.

Jogja di jam dua pagi tak seramai di jam sepuluh malam. Hanya saja, masih ada yang berlalu lalang kendaraan. Sudah dua hari ayah tidak pulang, Pak Damar mengatakaan bahwa ada pekerjaan di Malang. Ah, aku sudah terbiasa, Ayah memang selalu sibuk.

Di hari terakhir pameranku, Ayah datang sekaligus pamit untuk bekerja. Tak apa, rona kebahagian menyeruak dalam dadaku, meskipun ayah hanya melihat-lihat tanpa berkomentar apapun.

Lalu aku dan Shanin sekarang baik-baik saja. Sejak Shanin datang ke pameranku, kami mulai membicarakan semuanya, dimulai dari kesalah pahaman, kejujuran sampai pertanyaan perihal hubungan kami selanjutnya.


"Mau kemana?"  Shanin bertanya ketika mobilku tak berhenti di pantai Parangtritis.

Aku menoleh padanya seraya mengurai senyum. "Jalan-jal--mobil-mobilan maksudnya," Aku menjawab.

Shanin tertawa kecil, sontak akupun ikut tertawa. Sudah lama aku merindukan tawa Shanin. "Ck! Ini mau lanjut ke pantai Depok?" tanyanya lagi.

Mobilku memang sedang menyusuri kawasan parangtritis. Dari melewati pantai Depok, gumuk pasir, juga pantai-pantai sekitarnya.

"Mau ke Landasan," kataku.

"Loh, ngapain?"

"Mau lihat matahari terbenam."

"Kan di pantai juga bisa, kenapa harus jauh-jauh ke Landasan?" Shanin kembali bertanya sambil protes.

"Kalau di pantai mobilku cuma nongkrong di parkiran, kalau di Landasan kita bisa lihat pantai sama matahari terbenam di dalam mobil. Nggak perlu turun. Soalnya aku lupa bawa tikar buat alas duduk," jelasku.

"Sena? Hahaha." Shanin tergelak seraya geleng-geleng.

Tiba di Landasan aku di sambut oleh orang-orang yang juga sengaja mengisi waktu sore mereka bermain di sepanjang jalan Landasan ini, tak hanya yang bermain beberapa pedaganpun ada, memarkirkan gerobak dagangan mereka di tepi jalan.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Where stories live. Discover now