Bab 8 [Dekat yang bersekat]

440 96 44
                                    

Arunika

Sebuah temu pada akhirnya hanya untuk menunda perpisahan.
Apakah masih ada semangat untuk menunggu sebuah temu?
Lucunya masih saja aku berharap dan menunggu bahkan percaya pada sebuah temu.
Pada siapa?
Pada duka setelah kehilangan, pada luka setelah kepergian.

Pada siapa?Pada duka setelah kehilangan, pada luka setelah kepergian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kutatap bumantara malam ini dari kaca mobil. Tidak ada gulita sendu yang bergelayut di sana, yang ada hanya beberapa bintang yang terlihat berpendar. Mengingat Jogjakarta akhir-akhir ini selalu diselimuti gulita dan tirta semesta.

Sebuah kurva kusunggingkan, ada perasaan bahagia dan sesak sekaligus kurasakan, melemparku kembali bernostalgia pada pagi hari di Pasar Bringharjo beberapa bulan lalu.

Kala itu tawaku lebih nyaring dibandingkan pedangan yang sedang mempromosikan dagangannya. Saat di mana hatiku terasa lebih ringan. Bahagia untukku hadir begitu nyata, seluruh bebanku seolah luruh begitu saja.

Saat itu hanya ungkapan terima kasih dan maaf yang berulang kali aku gemakan dalam hati, meski ia tak mendengar.

Maafkan aku, Sena, sulit bagimu bukan? Dan terima kasih, Sena, terima kasih selalu membuat pagiku terasa hidup.

"Shanin!"

Ingatanku terhenti tatkala seruan Mada memaksa menarikku kembali tersadar. Lantas aku tersenyum dan berpaling menatapnya.

"Ngelamunin apaan sih? Asik banget kayaknya, sampai senyum-senyum gitu?" tanya Mada.

"Eh, ndak kok, ndak ngelamunin apa-apa," jawabku diiringi kekehan ringan.

"Nggak percaya!" balasnya.

"Hahaha, percaya itu sama Tuhan, Mada," sahutku, membuat Mada mendengkus.

"Iya sih! Tapi, aku betulan penasaran deh, Nin," katanya.

"Soal?"

"Yang kamu lamunin. Atau--jangan-jangan kamu ketempelan?" katanya seraya bergidik ngeri.

"Sembarangan!!" seruku, sembari memukul pelan lengan Mada, dan Mada tertawa puas karena sudah berhasil meledekku.

"Ya, habisnya kamu senyum-senyum gitu, kan, aku jadi ngeri," selorohnya.

"Memangnya, aku ndak boleh senyum-senyum, gitu?"

"Ya, boleh. Makanya aku tanya, lamunin apaan sampai senyumnya kaya gitu?"

"Ndak ada! Aku cuma lihat langit Jogja malam ini lagi cerah. Tuh lihat!" tuturku, seraya menunjuk keluar jendela mobil.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Where stories live. Discover now