Bab 10 [Kotak pandora]

418 96 36
                                    

Bimasena

Jika diri kita diibaratkan sebuah rambu-rambu lalu lintas, maka setiap warnanya pun mempunyai makna. Warna merah akan memberitahu untuk berhenti kala lelah mendera, lalu warna kuning memberikan aba-aba untuk kita berjalan kembali kala lelah sudah tunai, dan yang terakhir warna hijau mempersilahkan untuk berjalan kembali dengan doa dan harapan baru yang disemogakan.

 Warna merah akan memberitahu untuk berhenti kala lelah mendera, lalu warna kuning memberikan aba-aba untuk kita berjalan kembali kala lelah sudah tunai, dan yang terakhir warna hijau mempersilahkan untuk berjalan kembali dengan doa dan harapan ba...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Heh, ngelamun lagi, kesambet mantan baru tau rasa!" teguran dari Asa tak kugubris.

Aku baru saja mengabiskan satu porsi nasi gudeg yang diberikan oleh budhe Arini, ibunya Arusha. Mataku menatap nanar piring yang isinya telah tandas itu.

"Oalah tenan' kesambet mantan iki!" Kali ini Asa nenepuk pundakku pelan.

"Sa, aku ketemu Shanin," kataku lirih. Aku tidak tau harus menjawab apa lagi, dan aku rasa Asa perlu tau.

"TENAN'??"

Aku mengangguk.

"Kamu hubungin Shanin duluan? terus gimana?"

"Ndak, aku ndak hubungin dia."

"Lah, terus?"

"Ketemu ndak sengaja di acaranya Mas Tian," kataku mulai memberi penjelasan pada Asa.

"Emangnya Shanin kenal sama Mas Tian?" kening Asa mengerut heran. "Kamu pernah ngelanin Shanin ke Mas Tian?"

"Ndak pernah. Shanin datang sama Madava, yang ternyata sepupunya Mas Tian," jawabku.

"Madava? MAS MANTANNYA ITU?"

Aku sudah menduga Asa pasti terkejut mendengarnya. Akupun sama terkejutnya, banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Kenapa Shanin bersama Mada?

"TERUS KAMU JUGA DATENG BARENG DINESHCARA KAN KEMARIN?"

Aku mengangguk menanggapinya.

"Waahhh kalian ini benar-benar ya, semuanya dibikin rumit," komentar Asa seraya geleng-geleng.

"Kita berantem juga," imbuhku, membuat Asa memijit pelipisnya lantas mengembuskan napas kasar.

Sebenarnya kemarin aku sama sekali tak berniat berbicara seperti itu pada Shanin. Aku sedang dilanda kekalutan. Saat aku mulai berusaha untuk berdamai dengan masalaluku, aku malah menemukan hal besar yang selama ini tertimbun rapi. Juga dengingan-dengingan suara ayah dan ibu saling bersautan dulu, membuat kepalaku sakit, belum lagi setiap kali dengingan itu menyerang, rongga dadaku seakan menyempit sampai terasa menyesakkan.

Itulah salah satu alasan kenapa aku tidak pernah berbicara dengan nada tinggi pada Shanin. Aku takut Shanin merasakan yang aku rasakan setiap kali mendengar suara bentakkan keras.

Aku mengembuskan napas ringan, mencoba menyeenyahkan hal-hal yang tak perlu di pikirkan.

"Kayaknya, Shanin masih aja salah paham soal Dinesh, sampai dia bilang aku punya ketertarikan sama Dinesh." Aku melanjutkan.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Where stories live. Discover now