Bab 13 [Konversasi]

374 87 22
                                    

Arunika

Kadang kala, diriku selalu kutahan untuk mengucapkan kata-kata itu dengan lantang.
Seolah jika dikatakan dengan lantang, kenyataan akan kian menjauh.
Sena, aku begitu menyayangimu.

Sena, aku begitu menyayangimu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai, Nin," Madava menyapaku. Aku menoleh padanya dan mengurai senyum. Tadi pagi Mada tiba-tiba menelponku meminta bertemu. Dan di sinilah aku dan Mada, di sebuah kafe kawasan Tugu dengan pemandangan langsung menghadap Tugu Jogjakarta yang penuh cerita.

"Maaf aku telat. Kamu udah lama nunggu?" ujarnya dengan nada sesal.

Aku menggeleng, senyum tipis kuurai agar Mada merasa lebih baik. "Ndak kok, lagian tempat ini nyaman, bikin betah," balasku.

"Syukur deh kalau gitu."

"Kenapa ngajak aku ketemu?" tanyaku langsung. Karena memang tujuanku ke sini untuk bertemu dan mendengar apa yang akan Mada bicarakan.

"Nin, kalau boleh jujur, aku nyesel kemarin ngajak kamu ke acaranya Mas Tian. Baru kali ini aku merasa bersalah banget melakukan sesuatu. Aku udah bikin kamu dan Sena bertemu dalam kesalah pahaman---"

"Tunggu," selaku cepat. Keningku berkerut heran. "Maksud kamu apa?"

"Nin, akhirnya aku ngerti, masalah perasaan ndak ada yang bisa duga, termasuk perasaan aku juga kamu."

"Aku ndak ngerti maksud kamu, Mada," ujarku benar-benar tidak mengerti.

"Maaf, Nin, waktu kamu bertengkar sama Sena aku denger semuanya," jawab Mada dengan hati-hati.

"Mada...."

"Nin, kita ndak akan pernah tau kapan kita jatuh hati dan patah hati. Malam itu aku lihat kamu nangis, tangis seseorang yang hatinya baru saja dipatahkan. Dan aku sadar, ternyata kamu udah jatuh hati sama Sena." Mada mengambil jeda sebentar, meminum capucinno yang ia pesan tadi, kemudian ia melanjutkan, "maafin aku, Nin, karena aku dulu pernah buat kamu patah hati. Egoisnya aku masih minta kamu kembali kayak dulu."

"Mada...."

"Nin, jangan lihat aku kayak gitu, aku ndak suka dikasihani." Mada berujar lengkap dengan kekehan ringan.

"Maafin aku, Mada. Aku selalu menyeret kamu dan masa lalu kita kedalam hubunganku dengan Sena." aku berkata dengan nada lirih.

Mada menyunggingkan seulas kurva, lantas tanganku ia genggam. "Ndak perlu minta maaf, jelas-jelas aku yang salah."

"Ya, tapi---"

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang