Bab 14 [Lihat lebih dekat, dan kau akan mengerti]

374 91 28
                                    


Bimasena

Seringkali aku bertanya, pernahkah ada yang berencana menyakitiku?
Aku tertawa miris dalam renung.
Satu persatu kenyataan hadir, seolah membimbingku pada sebuah penerimaan lapang.

Terik sang surya menyambutku, kala kedua tungkaiku melangkah keluar dari stasiun Tugu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terik sang surya menyambutku, kala kedua tungkaiku melangkah keluar dari stasiun Tugu. Penampilanku sungguh menyedihkan! Biarlah, orang-orang mengira aku telah patah hati. Faktanya tak sekedar patah, tapi hancur. Kepalaku masih diserang pening luar biasa. Semalam, berapa kali aku menangispun aku tidak ingat, sakit sekali rasanya.

Aku malu, malu pada diriku sendiri, aku malu pada ayah, aku malu pada pengkhianatan ibu! Lantas, kenapa aku ada di sini? Apa mereka-mereka berencana menyakitiku?

"Ayah rasa, kamu punya tempat untuk tidur semalam."

Ah, tidur? Bagaimana bisa? Setelah kenyataan yang baru saja aku hadapi.

Tunggu...


Ayah?



Aku mengdongak, kala menyadari suara ayah mengintrupsi riuhnya isi kepalaku. Netraku menatap laki-laki yang kini berdiri tepat dihadapanku. Sekali lagi, netraku mengerjap, memastikan jika aku masih cukup normal untuk mengenali dan melihat seseorang yang kini berada dihadapanku.

Itu ayah. Kenapa? Kenapa ayah ada di sini?

"Ayah," panggilku pelan.

"Ayah rasa, kamu masih ingat jalan menuju ke rumah."

Rumah?

Rumah siapa?


Apakah orang sepertiku layak mempunyai rumah?



"Dan, ayah rasa, kamu belum tuli, Bimasena."

Aku bergeming. Lalu-lalang pejalan kaki yang mengumpatiku karena menghalangi jalan mereka tak aku hiraukan.

"Sampai kapan kamu mau diam di situ?"

"Ayah... Sena--"

"Kamu ndak laper?"

Kepalaku yang sedari tadi merunduk, kini mendongak kembali. Indra pendengaranku mendengar dengan jelas, pertanyaan ayah barusan.

"Yah--"

"Ayah laper. Mau cari sarapan."

Setelah kalimat ayah barusan, netraku menatap punggung lebar ayah yang mulai menjauh dari jangkauan pandanganku, mau tak mau aku mengikutinnya.

Tak lama, langkah ayah kemudian berhenti di satu warung makanan yang menyajikan berbagai menu untuk sarapan. Aku terdiam, ingatanku membawaku kembali bernostalgia. Aku ingat warung ini, dahulu ayah sering mengajakku ke sini.



N I S K A L A || Huang Renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang