Bab 19 [Titik berujung temu]

360 84 6
                                    

Bimasena

Pada akhirnya, aku berani pergi dari satu titik ragu yang selama ini menjadi kawan menuju satu titik percaya. Jarak tercipta, kini aku berani melipatnya dengan percaya diri.

Pagi di Amsterdam

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Pagi di Amsterdam


Hal pertama yang netraku tangkap ketika keluar dari penginapan adalah sepeda. Sama halnya dengan di Jogja, orang-orang Belanda masih gemar bersepeda, bahkan mereka menganggap bahwa sepeda adalah transportasi wajib yang mesti dimiliki. 

Bahkan di sini, jalur sepeda tak jauh berbeda ukurannya dengan jalur trem atau mobil. Dan hati-hati jika ingin menyebrang di sini, sepeda melaju dengan cepat.

Semalam, setelah perjalanan 14 jam non stop dari Jakarta akhirnya kedua tungkaiku menapaki bumi Eropa. Meskipun hanya untuk singgah dan beristirahat sebentar di Amsterdam sebelum melanjutkan perjalanan lagi ke Belgia, aku tak ingin menyia-nyiakannya, aku ingin berkenalan dengan negeri seribu kincir ini.

"Sen, masih mau foto di sign I Amsterdam?" tanya Asa, ketika aku sedang melihat jadwal pemberangkatan kereta yang akan aku tumpangi menuju Belgia.

"Kan udah semalam di bandara," jawabku.

Kami saat ini sedang berada di Museumplein. Tempat sign I Amsterdam berada, namun ramai, tak seperti di Schiphol Airport.

"Kirain mau foto lagi," balas Asa yang sedari tadi asik membidik objek-objek di hadapannya.

"Nyari sarapan dulu, Sa. Aku laper," kataku.

"Yaudah, kita lewat gang-gang aja, biasanya banyak resto-resto di sana."

Aku mengangguk.

Aku sangat menyukai bangunan-bangunan di Belanda, bentuknya unik dan sama rata kiri-kanannya. Material yang menggunakan bata berwarna merah cokelat ini menambah kesan estetik. Belum lagi di sisi bagian atasnya cenderung berbentuk segitiga, sangat unik.

"Keretamu berangkat jam berapa, Sa?" tanyaku.

"Jam 2 siang."

"Kamu udah tau alamatnya Anne?"

Asa menggeleng. "Tapi Anne bilang, kalau aku ke sana, aku pasti bisa menemukan dia," Asa menyahut.

"Sa, mencari orang itu tak semudah bicara. Meskipun Leiden itu kota kecil, kemungkinannya juga kecil. Memangnya kamu mau door to door mencari Anne?!" Sejujurnya aku sedikit khawatir dengan Asa.

Kemudian Asa tertawa ringan. "Ya, Sen, aku juga tau. Tapi setidaknya aku berusaha dulu. Ketemu atau ndaknya, gimana nanti saja. Toh, itung-itung sambil liburan juga 'kan?"

"Ya, terserah kamu aja, Sa," aku berujar kemudian di sambut dengan kekehan jenaka dari Asa.

"Good luck Mas Asa, semoga semesta berbaik hati sama kamu," selorohku.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora