Bab 12 [Persimpangan]

377 95 34
                                    

Bimasena

Aku pernah membaca buku yang Shanin tinggalkan di mobilku waktu itu, isinya begini; supaya sembuh, kau harus gali akar lukamu dan mengecupnya sampai puncak.
(Rupi Kaur - The sun and her flowers)

 (Rupi Kaur - The sun and her flowers)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Den Sena?"

Aku menoleh saat suara Bi Arum mengintrupsiku. Kuurai senyum terpaksa untuk mengurangi rasa khawatir bi Arum. Sejak kemarin aku mengurung diri di kamar, mencoba mencerna setiap potongan-potongan kejadian yang baru saja aku alami. Sefruit kenyataan menyakitkan.

"Aden mau makan apa? Bibi masakin," tanya bi Arum.

"Apa aja, Bi, Sena laper sekarang," jawabku lalu duduk di kursi makan. Bi Arum dengan cekatan langsung mengeluarkan bahan-bahan makanan yang akan ia olah.

"Bi, ayah udah pergi lagi?" tanyaku seraya mengedarkan pandangan keseluruh penjuru rumah.

"Iya, Den, tadi subuh-subuh," jawabnya.

Aku mengangguk dan menghembuskan napas ringan. Lagi-lagi, aku tidak mendapatkan jawaban dari ayah.

"Den, tadi tuan titip ini buat Den Sena." Bi Arum menyodorkan sebuah note warna kuning padaku, aku mengernyit saat mengamati tulisan pada note itu.

"Ada lagi ndak, Bi?"

"Ndak ada, Den. Tuan cuma titip itu aja."

"Makasih ya, Bi," kataku.

Entah bagaimana aku harus merespon situasi ini. Note yang ayah berikan berisi sebuah alamat lengkap yang aku duga adalah alamat tempat ibu tinggal sekarang. Lalu, kalimat terakhir yang ayah tulis membuatku geming.

Kamu anak ayah, rumah ini selalu jadi rumah kamu.


"Bi, Sena hari ini nggak pulang, jadi Bibi boleh pulang lebih cepat. Kunci rumah Bibi bawa aja, Sena bawa satu kok," kataku pada Bi Arum.

"Aden, mau ketemu ibu?" tanya Bi Arum.

Aku tersenyum, "Sena harus ketemu, Bi," balasku.

"Mau Bibi temenin?"

"Ndak usah, Bi, Sena sendiri aja."

"Yasudah kalau begitu hati-hati ya, Den."

Setelah sarapanku selesai, aku bergegas ke kamar, memesan tiket kereta juga mempersiapkan diri menghadapi kenyataan. Sekali lagi, aku menatap nanar tulisan di dalam note kuning itu. Kejadian demi kejadian bagai bom waktu yang sekali prediksi akan meledak.

Fakta yang harus aku terima terasa menyakitkan sampai aku sendiri bingung mendeskripsikannya seperti apa.

Pukul 10:15
Stasiun Tugu Jogjakarta

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang