Bab 18 [11,790 km]

332 85 11
                                    

Bimasena

Untuk berjalan kearahmu, aku harus menempuh jarak 11,790 km. Sejauh itu, kemudian sepanjang perjalanan ada harap yang aku semogakan. Kelak jarak bukanlah penghalang untuk aku meragu.

Shanin, apa kabar? Aku rindu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Shanin, apa kabar?
Aku rindu.

"Mikirin apa?"

Aku terlonjak kecil kala Ayah menepuk bahuku. Aku mengurai senyum, karena nampaknya Ayah khawatir.

"Nggak mikirin apa-apa, Yah," sahutku.

Sejak saat di mana aku menangis tersedu dipelukan Ayah dan menyurkan setiap keresahan hati yang menggangguku, akhirnya aku membuat keputusan besar. Aku bukanlah tak tau diri untuk memilih bersama Ayah, justru aku cukup tau diri untuk membalas kebaikan Ayah padaku. Terlebih, Ayah berbeda dengan Ibu. Ayah sendirian, sedangkan Ibu sudah punya keluarga yang menyambutnya dengan hangat.

Aku tak mungkin meninggalkan Ayah yang sebenarnya kesepian. Meskipun tak bisa membalas semua kebaikan yang Ayah berikan padaku, dengan aku bersamanya, aku harap Ayah tak kesepian lagi.

"Sena ...."

"Iya, Yah?"

"Kalau kamu pingin sesuatu, bicara sama Ayah."

Aku tersenyum kikuk sembari menggaruk leherku yang tidak gatal. Hubunganku dengan Ayah mulai membaik, tapi rasa canggung diantara kami enggan sirna.

Sebenarnya hari ini aku tertohok oleh pembicaraan Asa tadi siang yang membicarakan perihal gadis Belanda yang Asa sukai. Apa aku juga harus berani mengambil langkah besar untuk Shanin?

"Bimasena," Ayah memanggil kembali namaku.

Aku menoleh, menghela napas diam-diam dan menghembuskannya pelan.

"Ada yang mau kamu omongin sama Ayah?"

Aku mengangguk.

"Apa?"

"Sena boleh ke Belgia?" tanyaku hati-hati. Netraku menyelisik rupa Ayah yang kini mengerut kening juga keterkejutan yang tak bisa ditutupi.

"Bimasena--"

"Ayah tolong jangan marah dulu," selaku cepat. "Sena ... mau ketemu Shanin," kataku jujur. "Juga tabungan Sena lebih dari cukup untuk ke Belgia," aku melanjutkan. Aku merunduk. Takut-takut jika Ayah akan memarahiku.

"Sena, lihat Ayah," pintanya, kontan saja aku mendongak dengan keberanian aku menatap Ayah.

"Maafin Ayah," selorohnya.

"Yah ...."

"Ternyata kamu udah sebasar ini."

"Yah ...."

"Kalau Ayah boleh tau, Shanin itu siapa? Pacarmu? Atau calon mantunya Ayah?"

Kerterkejutan tak mampu aku hindarkan, bahkan mulutku sudah menganga tak percaya. Ayah bisa bercanda denganku? Meskipun nada bercandanya terdengar serius.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Where stories live. Discover now