Bab 4 [Kamu dan titik nol kilometer]

658 148 157
                                    


Bimasena

Aku memang tak sampai hati berbicara dengan nada tinggi padamu, tapi bukan berarti aku tak merasakan apapun.
Aku hanya tak ingin kamu pergi seperti ibu. Setelah ayah membentaknya ibu meninggalkanku sendirian.

 Setelah ayah membentaknya ibu meninggalkanku sendirian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lampu merah kembali menghadangku. Kulirik jam tanganku, kurang lima belas menit lagi aku harus siaran radio. Perkataan Shanin tadi terus berputar-putar di kepalaku. Dadaku sesak melihat gadisku menangis seperti itu.

Tumben sekali hujan mengguyur kota Jogja. Ck, sepertinya semesta sedang mentertawakanku sampai-sampai menangis. Aku tolehkan kepalaku kesamping, memperhatikan para pejalankaki dengan payung mereka dari kaca mobilku yang berembun. Langkah para pejalan kaki itu menari di atas bumi Jogja yang basah, seakan hujan bukan halangan untuk mereka menikmati suasana malam kota Jogja.

Tiba-tiba sekelibat ingatan muncul. Aku tersenyum sendu. Di sini, di titik nol kilometer aku dan Shanin punya sebuah cerita lucu. Selucu itu sampai semesta sering kali mengajak kami bercanda. Aku biarkan saja ingatan itu mengajakku bernostalgia.


"Kenapa jadi ngajak jalan hujan-hujan gini sih?" tanyaku pada gadis bersurai hitam panjang dengan sedikit menggerutu. Aku benar-benar tidak suka terkena air hujan. Tapi gadis ini malah mengajakku berjalan kaki mengitari kawasan Malioboro. Hanya bermodal payung warna hijau milik gadis itu, kita berjalan beriringan di bawah guyuran tirta semesta.

Gadis bernama Arunika Shanin Pramada, gadis yang baru aku kenal beberapa minggu ini. Gadis yang berhasil merecoki isi kepalaku. Aku bingung ini pertanda buruk atau baik? Seakan rasa kembali ingin mengajakku bercanda. Membawaku kembali pada ketakutan, ragu tapi penasaran juga.

"Biar ndak panas. Kalau hujan gini kan, udaranya sejuk." Si gadis membalas lengkap dengan seulas kurva manis yang tercetak di rupanya.

"Iya. Kenapa harus jalan kaki? Aku kan bawa mobil," kataku masih beradu argumen dengannya.

"Dengar ya, Tuan Bimasena, kalau pakai mobil bukan jalan-jalan namanya, tapi mobil-mobilan." Lihat, gadis itu membalas kata-kataku dan membuatku berpikir sejenak.

"Iya betul sih. T-tapi--"

"Sstttt.. sini tanganmu." Gadis itu langsung meraih tanganku yang bebas menggantung. Jari jemarinya mengisi sela-sela jariku.

Jujur, aku tersentak. Degup ini semakin menggila takkala telapak halus dan hangat milik Shanin menyatu denganku. Sial, apa aku benar-benar jatuh hati dengan gadis ini?

"Gimana?"

Aku menoleh gugup. "Apanya?"

"Hangat?"

Aku hanya mampu mengangguk. Sial, isi kepalaku benar-benar kacau. Aku harus mengalihkan.

"Kenapa tiba-tiba kamu genggam tanganku kaya gini?" tanyaku.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Where stories live. Discover now