Bab 7 [Elegi]

459 108 52
                                    

Bimasena

Sekiranya jarak ada untuk memberi jeda pada kita yang terlalu dekat. Agar sekat menjadikan kita lebih memahami arti dalam hidup masing-masing.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sena? Kamu masih di sini?"

Aku yang sedang serius menggoreskan warna pada kanvas dikagetkan oleh suara gadis bersurai hitam yang kini menghampiriku. Dia Dineshcara, gadis yang kuceritakan waktu itu pada Shanin. Pertemuanku dengan Dinesh memang tidak bisa di bilang baik, maksudku dalam situasi kurang baik.

Beberapa kali Dinesh selalu bersikap canggung padaku. Wajar! Tapi sungguh aku tidak mempermasalahkan soal pelukan itu. Karena aku tau dia hanya salah orang.

"Eh iya, Nes, bentar lagi selesai kok. Tanggung." Aku menjawab seraya menggores warna biru pada kanvas.

"Tanggung banget?" tanyanya, sembari mengerutkan alis.

"Hmm, udah selesai kok." Aku meletakkan kuas dan mengurai senyum pada Dinesh.

"Ini udah malem loh, Sen. Besok dikerjakan lagi kan bisa?"

Aku sedikit tersentil. Omelan itu mengingatkanku pada Shanin. Ya, bagiku itu sebuah omelan halus. Shanin sering mengomel karena aku pulang ke rumah menjelang tengah malam, dan lebih banyak menghabiskan waktu di studio.

Aku tersenyum menanggapinya. "Oh iya, kamu kok balik lagi?"

"Oh, ini," ia berjalan ke arah lokernya dan mengambil sesuatu di dalam sana, "Kunci rumahku ketinggalan," katanya seraya memperlihatkan kunci dengan bandulan berbentuk kucing. "Untung tadi baru sampai gerbang, coba kalau udah sampai rumah, pusinglah aku nyari kunci kemana?!" gerutunya.

"Oh begitu."

"Yaudah, Sen, aku duluan ya," pamit Dinesh sambil berlalu meninggalkaku yang masih duduk manis.

Akupun segera membereskan barang-barangku, meraih tas selempang hitam yang akhir-akhirnya senang sekali aku pakai. Mematikan lampu studio dan pergi dari sana menuju mobilku yang terparkir tak jauh.

Kulirik ponselku yang bergetar pelan di bangku samping kemudi. Kerutan di keningku semakin dalam ketika alarm pengingat terus bergetar. Kuraih ponselku.

Ah, rupanya pengingat kalau besok hari pertunjukkan Shanin. Kuhembuskan napas berat, menyenderkan kepalaku pada sandaran jok mobil, ingin sekali rasanya menonton pertunjukkan Shanin, tapi aku harus bagaimana? Apa aku pantas datang ke sana? Setelah datang ke sana, apa reaksi yang akan diberikan Shanin? Bagaimana kalau ia tidak menginginkan kehadiranku?

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang