Bab 9 [Ruang tanpa rencana]

429 98 58
                                    

Arunika

Pada langkah yang saling menjauhi, nyatanya semesta lebih senang melihat kita bersua kembali. Pada pijakan bumi dan ruang yang sama tanpa rencana sebelumnya, aku dan kamu saling menatap dengan isi kepala yang saling bertanya.
'Kenapa?'

Jogjakarta minggu siang ini membiru

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jogjakarta minggu siang ini membiru. Terik dari sang surya membuat siapa saja yang bertemu dengannya akan menggerutu karena kepanasan. Aneh! Kemarin, saat kelabu pekat lalu tirta semesta membasahi bumi mereka pun menggerutu. Padahal, jika ditilik lebih dalam lagi peran sang surya dan kelabu pekat itu saling mengisi dan melengkapi.

Aku sedang berada di ballroom hotel di kawasan Gedongkuning, Bantul. Bersama Madava tentunya. Akhirnya aku memutuskan untuk menemani Mada.

Kekaguman tak henti-hentinya kuucapkan lewat sorot netra yang berbinar. Ruangan ini telah disulap menjadi tempat yang indah, sehingga menimbulkan decak kagum dari setiap netra yang melihatnya. Dari mulai dekorasi, konsep pernikahan yang mengusung adat jawa dipadukan dengan konsep era modern. Sungguh ini sangat menakjubkan.

"Nin, kamu udah laper belum?" tanya Mada.

"Belum, kenapa?"

"Kalau gitu kita ketemu Mas Tian dulu, gimana?" cetusnya.

Aku mengangguk.

Aku dan Mada berjalan beriringan menuju tempat Mas Tian dan perempuan cantik yang kini sudah sah menjadi istrinya itu berada.

"Madava!! Datang juga."

"Datang dong, Mas," Mada menjawab seraya memberikan pelukan singkat untuk Mas Tian dan menyalami si pengantin wanita.

"Eh, siapa nih?" Mas Tian langsung beralih pandang padaku, aku mengurai senyum lantas kuulurkan tanganku di hadapannya.

"Shanin, Mas," kataku memperkenalkan diri.

Mas Tian menyambut uluran tanganku dengan ramah. "Tian--Kamu pacarnya Mada?"

"Eh--"

Mada tiba-tiba saja merangkul bahuku lembut, membuatku sedikit terkejut. Kutolehkan kepalaku menatap Mada dengan raut bertanya.

"Mas Tian nggak usah kepo!" sahut Mada, diiringi tawa jenaka membuat Mas Tian mencibir. Lalu keduanya tertawa ringan.

Aku menghembuskan napas lega, kukira Mada akan mengatakan hal yang tidak-tidak.

"Mas Tian!"

Seketika tubuhku bergetar kecil, tatkala sebuah suara terdengar dari seorang pemuda yang tak jauh dari tempatku berpijak. Napasku tercekat, aku sangat mengenali pemilik suara itu.

"Sena!!" Mas Tian kemudian memanggil namanya dan menghanpirinya. Tungkaiku seketika melemas, kalau saja tak berpegangan pada Mada, mungkin saja aku sudah terkulai jatuh ke lantai.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Where stories live. Discover now