Bab 11 [Selindung]

383 92 32
                                    

Arunika

Aku paham betul, sebuah pertemuan tercipta sejatinya hanya untuk selangkah lebih dekat merayakan perpisahan. Ditinggalkan dan meninggalkan itu mutlak akan terjadi.

Usiaku baru saja menginjak 7 tahun, aku dipaksa menghadapi perpisahan pertamaku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Usiaku baru saja menginjak 7 tahun, aku dipaksa menghadapi perpisahan pertamaku. Di saat anak seusiaku begitu hangat dengan kasih sayang kedua orang tuanya, aku harus merasakan dingin dan sepi mendekap erat tubuhku. Aku kehilangan kedua orang tuaku sekaligus dalam peristiwa tragis.

Meski hidup tanpa orang tua, aku berhasil tumbuh menjadi gadis baik dan ceria, setidaknya kata eyang putri begitu. Tumbuh bersama eyang putri nyatanya tak membuatku kekurangan satu hal apapun, termasuk kehangatan dan kasih sayang. Karena eyang putri tulus memberiku semua itu.

Aku tidak diizinkan terlihat lemah di depan eyang putri, karena itu pasti akan melukai hatinya. Tepat pada saat usiaku menginjak remaja dan sedang merasakan pahit - manisnya dunia perkuliahan yang kadang kali kusisipkan sebuah keluhan, aku bertemu dengan perpisahan keduaku. Ya, gadis yang tak diizinkan lemah ini menangis sejadi-jadinya hingga paru-paruku terasa sesak. Aku merasakan apa itu patah hati.

Patah hati yang kualami berlangsung cukup lama, sebuah usaha 'move on' tentu saja aku jalani, dan itu bukan hal yang mudah. Aku menutup diriku rapat-rapat agar tidak bertemu dengan perpisahan-perpisahan lainnya.

Dan sore itu, ketika hujan menggantikan air mataku yang sudah mengering, aku merenung sendiri di teras depan dengan segelas teh manis hangat dan gethuk menemaniku.

Gerbang rumahku terbuka, payung biru muncul di sana. Aku tak dapat melihat rupanya, laki-laki atau perempuan karena tertupi tudung hoodie.

"Shanin?"

Pertama kalinya namaku keluar dari mulut seorang pemuda dengan surai hitam menutupi dahinya. Kernyitan keningku semakin mendalam tatkala seulas kurva kikuk ia sunggingkan. Jemarinya bergerak gelisah seraya menggaruk lehernya yang aku rasa itu tidak gatal.

"Iya?"

"Hmm, aku Sena. Bimasena."

"Ha?"

"Hmm. Begini, aku ndak punya niat jahat sama kamu, cuma disuruh jemput kamu karena sekalian lewat."

"Ha?"

Belum pemuda berhodie abu-abu itu menjawab dan menjelaskan, deringan yang berasal dari ponselku membuat fokusku beralih dan meraih benda pipih warna hitam itu.

N I S K A L A || Huang Renjun ✔Where stories live. Discover now