[29] Surat Perjanjian

510 50 1
                                    

Cakka's POV

Sinar orange dari matahari yang akan kembali pada peraduannya adalah salah satu yang paling ku suka. Aku akan betah melihat keadaan itu berlama-lama tanpa rasa bosan. Tapi kali ini aku harus mengakui bahwa indah pedar-pedar cahaya itu telah dikalahkan oleh senyum lima jari nan bodoh milik gadis yang berada tepat di sebelahku.

Pandanganku teralih dan hanya terkunci pada sosok manis itu.

Aku mengajaknya untuk berhenti sebentar di sebuah tebing di pinggir  jalan untuk menikmati suasana ini, sebelum masuk ke pusat kota dan pulang ke rumah utama. Semalam aku mengajaknya pulang untuk memenuhi panggilan orang tuaku tetapi aku tak memberi tahu bahwa kali ini orang tuaku yang meminta kami untuk pulang.

Sejujurnya aku hanya tak ingin memberinya beban pikiran yang lebih seperti yang aku alami. Ada banyak hal yang memenuhi otakku saat ini. Tentang apa yang akan terjadi padaku dan Agni setelah pertemuan dengan orang tuaku nanti. Orang tuaku memang tak mengatakan pembahasan tentang apa kali ini. Tapi aku tak bisa memikirkan hal lain kecuali tentang hubunganku dan Agni. Salahkan saja seseorang yang mengubah pengaturan unggahanku di Instagram tempo hari. Mereka pasti melihat hal itu.

Aku tak pernah tahu bagaimana cara orang tuaku memandang suatu hubungan. Aku bahkan tak tahu bagaimana mereka bisa sampai bertemu dan akhirnya menikah. Entah itu cinta atau bisnis. Aku benar-benar tak tahu!

Yang jelas sekarang ini, otakku terus saja berpikir tentang bagaimana jika orang tuaku termasuk dalam golongan kolot? Yang mementingkan level seseorang dalam suatu hubungan. Atau bagaimana jika mereka keberatan dengan hubunganku dan Agni karena Agni sejak awal direncanakan untuk menjadi saudara perempuanku? Atau bagaimana jika setelah mereka tahu tentang hubungan kami, maka Agni akan diusir? Atau...

Argh! Ini semua karena Alvin dan Gabriel yang terus mengoceh tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi sejak tahu aku dan Agni diminta pulang ke rumah utama.

Masalahnya, kupikir mereka benar. Apalagi Agni adalah tipe orang yang berpikir dengan mempertimbangkan perasaan. Gadis bodoh itu pasti ketakutan jika terjadi perdebatan panjang antaraku dan orang tuaku. Dia pasti berpikir menyerah dan menuruti apa yang orang tuaku inginkan. Dan aku tak menginginkan hal itu.

Sejak awal aku tak pernah peduli pada pendapat orang tuaku. Mereka tak berhak untuk mencampuri apapun tentang hidupku. Terlalu terlambat bagi mereka untuk memperlakukanku dengan baik.

Keinginanku kali ini hanya satu dan itu adalah si gadis batu itu. Agni harus jadi milikku. Hanya sesimpel itu.

Aku akan melakukan apapun agar Agni tak memiliki masalah. Agni adalah cintaku. Agni adalah segalanya untukku. Agni tak perlu melakukan hal lebih, cukup  aku saja. Sebesar apapun rintangan yang akan ku temui atau seberapa sakit yang akan ku rasakan, aku yang akan menanggung semuanya. Dengan tahu bahwa Agni juga menyukaiku saja sudah lebih dari cukup. Aku sudah sangat bahagia.

Walau bahkan suatu hari nanti sampai pada titik akan Agni menyerah dan ingin meninggalkanku, maka aku yang akan menariknya bangkit, mengikatkan dirinya padaku, dan membiarkan dirinya hanya bersandar padaku. Aku yang akan membawanya, memeluknya dengan keyakinan penuh. Walau bahkan sampai dia membenciku, tak apa-apa. Yang penting Agni tetap bersamaku... sampai akhir.

Selain meminta perhatian kedua orang tuaku dulu, aku tak pernah segila ini untuk memiliki sesuatu. Aku benar-benar jatuh pada perasaan dimana aku tak bisa lepas dari bayang-bayang wajah Agni. Aku terobsesi padanya. Hanya memikirkannya saja sudah membuatku jungkir balik, apalagi hal ini benar-benar terjadi. Agni duduk disebelahku,  menatap hal yang sama denganku, dan dengan senyum manis yang selalu aku suka.

"Ag?"

"Ya." Gadis disebelahku itu menoleh padaku. Aku menatap manik matanya dan menunduk untuk menyembunyikan senyumanku.

Brother In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang