[2] Selamat Datang

4.8K 169 9
                                    


Langit tidak bisa dikatakan mendung, tidak pula bisa dikatakan cerah. Hanya terang tapi tidak terasa panas, semuanya tampak putih, berawan dan rata seperti bentangan kapas.

Agni menatap keluar jendela, mengikuti jejak sebuah daun kering yang melayang terbawa angin. Sebuah pemandangan picisan namun menyenangkan, semenyenangkan perasaan Agni ketika memiliki sekantung besar cemilan untuk dirinya sendiri.

Ah apa benar semenyenangkan itu? Atau ini terjadi hanya karena suasana hati yang sedang bagus maka semua jadi terlihat menyenangkan?

Entahlah. Agni tak yakin. Yang jelas Agni sangat menyukainya. Perasaan berdesir, bersemangat, dan baru.

Agni memutus kontaknya bersama alam dan kembali berpusat pada isi bis yang dipenuh oleh mahasiswa-mahasiswa baru seangkatannya. Agni tak mengenal salah satupun dari mereka. Agni bukan asli kota ini. Jadi tentu saja dia harus memulai semua dari awal. Tapi Agni tahu, jika disini, berada didalam sini, adalah hal yang besar yang harus Agni syukuri. Sepanjang hidupnya.

Apa Agni harus menikmati atmosfer ini? Atmosfer sekumpulan mahasiswa baru penuh semangat menggebu. Dan melihat situasi sepertinya pilihannya tidak. Sebaiknya Agni mencoba tidur. Agar sisa perjalan yang memakan waktu dua puluh lima menit ini tidak akan terasa begitu lama.

Namun seperti tidak mengerti keinginan Agni, gadis yang duduk di sebelah menepuk pundak Agni

"Hei teman, apa kau berniat tidur?"

Agni memicing mata dan berdehem sebagai jawaban.

"Tidak baik tidur saat teman di sebelahmu sedang bosan!" Gadis itu berseloroh lalu tersenyum dengan senyuman yang menunjukkan barisan gigi putih. "Ayo kita berkenalan, mengobrol banyak hal, tentangmu tentangku, lalu menjadi sahabat baik. Sivia Marcell Arientha, biasa dipanggil Via."

Gadis itu mengulurkan tangannya yang putih bak porselen. Surainya yang hitam bergoyang ditiup angin berasal dari jendela. Cantik dan nampak tulus.

Agni tidak bisa tidak menyambut tangan itu. Tak sopan pikirnya. Dengan menegakkan tubuh ia menyambut tangan Sivia. "Agnindya Kharyoza, biasa dipanggil Agni."

"Berasal dari luar negeri?" Mata indah gadis itu membulat, memberi ekspresi kagum.

Agni mengibaskan tangan. "Tidak. Hanya dari kota lain!"

"Oh. Ku kira berasal dari luar negeri. Sebab namamu agak asing." Ucapnya diakhiri kekehan.

Dahi Agni berkerut. "Hah? Bukannya biasa saja?"

"Tidak. Itu aneh menurutku."

Hanya sebatas itu lantas obrolan mereka terputus. Setelah memastikan bahwa Sivia sudah tak bicara lagi, Agni memutuskan untuk melanjutkan rencana sebelumnya mengambil waktu tidur. Tapi baru saja memejamkan mata, Sivia kembali bersuara.

"Aku merasakan gugup luar biasa. Ini pertama kalinya tinggal di luar rumah. Apa kau begitu juga?"

Agni kembali membuka mata dengan tarikan nafas panjang, berusaha tidak kesal pada gadis itu. Agni menyunggingkan senyum sedemikian manis. Tidak seharusnya menolak orang yang ingin berhubungan baik.

Agni menoleh pada sekeliling. Benar! Diantara sekian banyaknya isi di dalam bis ini, hampir seluruhnya adalah orang yang biasa hidup dalam kemewahan. Rata-rata dari kelas atas. Agni ingat bahwa kampus tidak memaksa para mahasiswa untuk tinggal di asrama. Mereka bisa memilih untuk tinggal atau tidak di asrama. Kampus hanya menyarankan untuk mendidik mental anak-anak para pebisnis ini lewat tinggal di asrama.

Agni menoleh lagi pada Sivia dan yakin jika Sivia adalah salah satu dari mereka yang notabene adalah anak orang kaya.

"Tentu saja aku gugup. Tapi sudah terbiasa juga hidup mandiri."

Brother In LoveWhere stories live. Discover now