[9] Di Tempat Ini, Ruang Tamu iJni

1.6K 101 12
                                    

Cakka menoleh sekali lagi pada gadis yang terbaring di sofa. Gadis itu meringkuk, memeluk tubuh tampak kedinginan. Hari sudah larut, jam sudah menunjukkan jam satu dini hari, tentu saja udara akan semakin dingin apalagi di tambah Cakka memasang suhu paling minimum pada mesin pendingin ruangan.

Dia tidak pernah tahu jika gadis itu akan banyak bergerak saat tidur. Di tempat sesempit itu, Agni membuat sebagian selimut sudah berada di lantai.

Cakka menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, meraih remote di nakas dan menaikkan suhu pendingin ruangan beberapa angka. Tidak hanya itu, Cakka berdiri dan meraih selimut untuk kembali mengembalikan posisinya pada tubuh Agni. Gadis itu sempat terusik saat Cakka menaikkan selimut sampai ke leher gadis itu, tapi hanya sebentar setelah itu dia kembali tenang bahkan nampak semakin nyaman.

Menatap setiap senti wajah Agni, membuat sesuatu di dada Cakka berdenyut. Seperti sebuah perasaan terluka, bersalah, dan itu menyakitkan. Cakka tidak tahu apa sebabnya, tapi yang pasti hal ini sudah terjadi sejak pertama kali Cakka bertemu dia.

Orang lain boleh melihat Agni sebagai orang yang ceria, boleh melihat Agni sebagai orang yang tidak terlalu memikirkan dunia. Tapi bagi Cakka, yang Cakka lihat, Agni adalah simbol kepura-puraan, Agni adalah simbol kebohongan, Agni adalah simbol kebodohan. Ada sesuatu yang Agni tutupi dibalik sikapnya yang seperti ulat nangka. Dan sesuatu itu membuat satu bagian dari diri Cakka mengharuskan Cakka untuk menghancurkannya.

~ ~ ~
Flashback

Cakka tidak pernah mau tahu apa tujuan orang tuanya memanggil Cakka ke ruang tamu. Cakka hanya merasa perlu datang dan tidak perlu memberikan tanggapan apapun nantinya.

Dan disinilah Cakka, di tempat ini, ruang tamu ini, adalah tempat yang selalu menjadi saksi bisu pembicaraan-pembicaaran yang kadang tidak terlalu Cakka ambil pusing. Tempat ini, ruang tamu ini, adalah satu-satunya tempat dimana orang tua Cakka dapat bertemu Cakka lebih dari setengah jam.

Cakka, dibanding harus berada lama di lingkungan rumah, dia akan lebih memilih untuk tenggelam dalam kamar pribadinya. Dia akan larut bersama setumpuk pembelajaran tentang bisnis, pelajaran sekolah, musik, game dan apapun yang Cakka sukai. Kamar adalah dunia Cakka. Tempat dimana Cakka akan merasa nyaman jika dia sedang berada di rumah utama Diandra. Dunia yang sunyi yang hanya akan ada Cakka di sana. Dunia yang bahkan semua maid akan jauhi dalam radius dua meter jika Cakka sudah kembali ke rumah utama.

Cakka tahu orang tuanya sudah duduk di sofa panjang di sebelah kiri meja sejak lima menit yang lalu. Cakka tahu, tapi Cakka tidak mempedulikannya. Jika mereka menginginkannya, mereka bisa mulai berbicara tanpa harus Cakka minta.

Cakka membalik satu halaman lagi dan menghela nafas. Sepuluh menit berlalu dan kedua orang tuanya juga belum berniat memulai pembicaraan. Orang tuanya hanya memperhatikan Cakka, saling menggenggam tangan dengan gelisah. Cakka tahu, Cakka merasakannya.

Melirik jam yang melingkar di tangan, melirik kedua orang tuanya yang masih tampak ragu, lalu Cakka kembali fokus pada buku di tangannya. Baiklah Cakka akan memberikan waktu sedikit lagi dan jika dalam jangka waktu lima belas menit belum ada pembicaan, maka Cakka yang akan meninggalkan tempat ini.

"Mama dan Papa sudah memutuskan akan mengadopsi anak!"

Cakka mengangkat wajah dari buku dan menatap orang tuanya datar. Akhirnya pembicaraan ini dimulai, Cakka sudah tidak sabar untuk kembali ke kamarnya.

"Kenapa? Kalian kesepian? Tidak cukup dengan banyaknya maid di rumah ini?"

Artika, Mama Cakka, meneguk ludah pelan. Menoleh pada sabng suami dengan tatapan duka. "Bukan seperti itu, Kka. Kami tidak pernah merasa kekurangan, mempunyaimu dihidup kami sudah lebih dari cukup. Tapi kami mengkhawatirkan bahwa kau yang kesepian. Kami tidak bisa memperhitungkan maid dalam urusan seperti ini. Lagipula dia itu..."

Brother In LoveWhere stories live. Discover now