[24] Bukan Yang Utama

512 51 6
                                    

"Agni menyukaimu, Kka. Bukan aku. Jadi pergilah! Datanglah pada Agni dan dengarkan penjelasannya."

~ ~ ~

Langkah Cakka melambat ketika menginjak anak tangga terakhir menuju lantai kamar Agni dan Shilla. Banyak orang berjejer di kiri-kanan lorong dan membuat Cakka sedikit tidak nyaman.

Cakka memang sudah sangat terbiasa menjadi pusat perhatian. Tapi kali ini rasanya sangat berbeda. Cakka tidak melihat tatapan lapar yang seolah akan menelan Cakka bulat-bulat disini. Tidak ada pekikan kagum, tidak ada pernyataan cinta, tidak ada kado yang selalu memenuhi tangan Cakka. Hanya ada orang-orang yang terus berbisik-bisik sambil sesekali melirik Cakka, seperti sedang membicarakan sesuatu tentang Cakka.

Tapi Cakka masa bodoh dengan pendapat orang-orang saat ini. Yang terpenting adalah Cakka harus mendengar penjelasan Agni. Dan mendengar secara langsung tentang rasa suka yang sempat Rio sebutkan tadi.

"Dimana Agni?" Tanya Cakka pada Sivia dan Shilla yang sejak tadi berdiri dengan gelisah di depan kamar Asrama Agni dan Shilla.

Ada kilatan marah di mata Sivia, Cakka tahu itu. Hanya saja Cakka enggan mempedulikannya. Bukan urusan Cakka.

"Di dalam, Kka. Membereskan pakaiannya."

"Dan dia tak berhenti menangis. Kenapa juga harus dijawab baik-baik sih Shil? Dia tidak akan peduli."

Cakka melirik tajam pada Sivia. Tapi hanya sekilas, karena itu sudah cukup untuk membungkam mulut gadis cerewet itu.

Tanpa meminta persetujuan si empu kamar, Cakka melangkah gontai dan masuk ke kamar asrama. Cakka mengedarkan pandangan sejenak untuk melihat perbedaan  antara keadaan kamar Agni saat ini dengan yang dia lihat terakhir kali. Dan kacau adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi kamar itu saat ini.

Di sisi kiri ruangan Agni sedang meraih baju-baju yang berserakan di lantai, dari lemari sampai ke atas tempat tidur. Kemudian gadis itu melipat dan menyusun dengan rapi baju-baju itu ke dalam koper yang memang sudah terbuka lebar sejak tadi. Cakka hanya memperhatikan dalam diam. Cakka bahkan ragu apakah gadis itu tahu Cakka sedang berdiri di sini atau tidak.

Agni tidak menangis lagi seperti yang di katakan Sivia diluar tadi. Hanya saja mata Agni sangat bengkak. Membuat mata bulat gadis itu terlihat sangat buruk.

"Ag." Cakka meencoba untuk memberitahu Agni bahwa dirinya ada disini. Agni sempat menoleh sebentar,  sebelum akhirnya tidak peduli dan kembali melakukan pekerjaannya.

"Well, apa yang kau lakukan?"

Cakka menggigit bibir, pasalnya itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah Cakka ucapkan. Dan sesuai dengan prediksi Cakka, Agni masih enggan menjawab Cakka.

"Kau benar-benar akan pergi Ag?"

"..."

"Kau pergi karena aku mengusirmu tadi kan?"

"..."

"Kau begitu menuruti perintahku, Ag. Seperti perkataanmu dulu. Haha." Tawa Cakka terdengar sumbang. "Hmm... Kalau sekarang aku menyuruhmu untuk tetap tinggal, kau juga harus menurut, kan Ag? Jadi Sekarang aku perintahkan kau untuk tetaplah tinggal, Ag! Tetaplah disini bersamaku. Kau mengerti?"

Agni menghentikan  aktivitasnya dan menjawab Cakka tanpa menoleh. "Bicara memang gampang. Apalagi untuk orang egois sepertimu. Padahal kau sudah sangat tahu bahwa aku hanya bergantung padamu dan keluargamu saat ini. Aku tak punya siapa-siapa lagi, hanya kalian. Tapi kau mengusirku, hal yang selama ini sangat takut untuk aku bayangkan."

"Aku tahu aku tidak bisa mengontrol emosi dan ucapanku tadi. Jadi lupakanlah semuanya, tetaplah disini, kuliah seperti biasa."

Kali ini Agni menatap manik mata Cakka dengan satu ekspresi. "Jika kau pikir yang sangat kutakutkan ketika tak lagi berada di lingkungan Diandra adalah tak mendapatkan fasilitas dan tak kuliah lagi, maka kau salah. Yang selama ini paling kutakutkan adalah aku... tak akan lagi bisa melihatmu, tak lagi bisa mendengar suaramu, dan tak lagi dapat berada dekat denganmu. Itu akan terlalu menyakitkan."

Cakka terdiam mendengar ucapan Agni. Masih berusaha mencerna ucapan gadis itu. Cakka bingung harus menjawab apa.

"Tapi sudahlah Cak, aku tak akan mengurungkan niatku. Aku tetap akan pergi." Agni mulai meraih buku-buku untuk ikut disimpan ke dalam tas jinjing besar di sebelah koper.

"Tidak, Ag... Bicaralah lagi! Tadi kau bilang akan menjelaskan semuanya. Aku akan mendengarkan dengan baik. Jadi bicaralah sekarang."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Tuan Muda Diandra. Sudah cukup. Aku tidak akan mengatakan apapun pada Tuan dan Nyonya Besar. Aku akan pergi tanpa mereka tahu." Itu kalimat terdingin yang pernah terucap dari mulut Agni. Lagi-lagi Agni enggan menatap Cakka. "Aku sudah memilih untuk pergi jadi biarkan aku pergi."

Cakka memejamkan mata masih berusaha untuk menjaga emosi. Dia takut akan melakukan kesalahan yang lebih besar jika da mengikuti emosinya. Yah Cakka tahu Cakka sudah sangat bersalah dan seharusnya Cakka mengucapkan kata maaf. Tapi... Tapi berat sekali rasanya untuk mengatakan kata yang terdiri dari empat huruf itu. Cakka tidak pernah melaukannya. Cakka tidak pernah meminta maaf secara serius selama ini. Ini pertama kalinya dan Cakka merasa gugup.

"Jika kau tidak ingin berkata apapun lagi, maka sekarang aku yang akan bicara. Cukup dengarkan dan setelah itu kau boleh memutuskan untuk tetap pergi atau tetap berada disini bersamaku."

Dengan mengumpulkan segala keberanikan yang Cakka punya, Cakka mencoba untuk mendekatkan diri dengan Agni. Mengambil tempat di lantai, bersandar pada pintu lemari yang tadi menjadi tempat menyimpan baju-baju Agni.

"Kau tahu betul bahwa aku, Diandra Cakkadinata, yang kau dan orang lain lihat setiap hari adalah orang yang selalu akan jadi yang pertama. Tidak pernah ingin kalah dan tidak akan pernah terkalahkan, dalam hal apapun, dalam bidang apapun. Tapi pernahkah kalian berpikir bahwa yang kalian lihat itu semuanya adalah kepura-puraan? Hanya sebuah pembuktian agar seorang Cakka juga patut diperhitungkan."

Cakka melihat gerakan tangan Agni yang terhenti. Tapi hanya sebentar sebelum akhirnya seperti tidak peduli dan kembali meyusun buku-buku ke dalam tas.

"Aku masih mengingatnya dengan jelas ketika secara tiba-tiba orangtuaku berkata akan menghadiri perayaan hari ulang tahunku dan akan memberikan sebuah hadiah kejutan yang sangat besar. Aku sangat senang karena itu adalah kali pertama mereka bisa datang dan menunda semua pekerjaan mereka. Dan sejujurnya aku bahkan tak peduli pada hadiah apa yang akan mereka berikan, mereka bisa datang saja itu sudah lebih dari cukup."

Cakka menghela nafas dan menatap langit-langit kamar. Menerawang jauh ke masa lalu. Agni mulai memperhatikan cerita Cakka.

"Dan kau tahu Ag? Ternyata kebahagiaan yang mereka berikan saat itu hanyalah semu. Hadiah kejutan yang mereka janjikan ternyata adalah hal yang paling menyebalkan dalam hidupku. Mereka datang bersama seorang laki-laki yang berumur lebih tua enam tahun dariku. Aku sangat bingung dengan situasi yang terjadi, sampai aku mendengar bagian terpenting dari kejutan itu. Laki-laki itu adalah Kiky, Diandra Rizky Utama, kakak laki-lakiku dari beda ibu yang tak pernah aku tahu. Seseorang yang tanpa sepengetahuanku adalah alasan mengapa dulu aku tidak tinggal di rumah utama bersama orang tuaku dan malah terasing di rumah Kakek, alasan mengapa selama ini aku tidak pernah mendapatkan perhatian sedikitpun dari orang tuaku, alasan mengapa seorang Diandra Cakkadinata, harus bekerja ekstra supaya dirinya tidak dibanding-bandingkan dengan kakak laki-lakinya. Aku membenci Kiky karena dia mendapatkan semuanya. Perhatian, kasih sayang, cinta dari orang tua kami. Yang lebih membuatku benci adalah karena dia selalu berusaha terlihat seperti seorang kakak yang baik, terlihat sok sayang padaku. Aku muak dengan kelakuannya. Dan yang paling membuatku benci adalah aku tidak pernah diutamakan dan hanya menjadi piguran. Dialah yang selalu jadi yang pertama dan paling utama, sesuai dengan namanya."

~ ~ ~

Brother In LoveOù les histoires vivent. Découvrez maintenant