4. Keluargaku

1.1K 162 13
                                    

"Sebegitu ngga berharganyakah aku sampe ayah sama ibu ngga merhatiin aku?" -ap(njm)

_o0o_




Keluarga adalah harta terindah yang kumiliki. Bagiku seberapa kejamnya mereka tetap merekalah tempatku kembali. Aku tak peduli mereka menganggapku apa, yang ku tau hanya aku yang menyayangi mereka. Apa pun akan ku lakukan untuk mereka.

Bolehkah aku menggantungkan hidupku kepada mereka?

Sejauh apa pun kau dan keluargamu terpisahkan percayalah bahwa kau akan bertemu kembali dengan mereka. Begitupun sebaliknya, sedekat apa pun kau dan keluargamu, akan ada saatnya kau dan mereka berkelahi. Itu sudah biasa bagi sebuah hubungan.

Aku selalu percaya kata-kata itu. Ragaku memang dekat dengan mereka tapi tidak dengan jiwa kami. Kami sangat terpaut jauh. Seberapa keras diriku mencoba mendekat maka mereka akan semakin jauh.

Menjadi lemah bukan pilihanku dan menjadi kuat juga bukan keahlianku. Lantas, bagaimana seharusnya diriku?



Sang surya telah menampakkan wajahnya. Menyapa siapa pun dengan senyum terindahnya. Burung berkicau merdu menyambut sang surya. Helaian bunga dan daun masih basah oleh embun. Udara segar di pagi hari menyambutku.

Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi. Ku basuh wajahku. Ku langkahkan kembali kakiku menuruni tangga demi tangga. Tepat di anak tangga terakhir aku melihat keluargaku sedang berkumpul bersama di ruang makan. Segala bentuk candaan terlempar dari mulut mereka. Mereka bahagia tanpa ada diriku. Haruskah aku pergi agar mereka tetap bahagia?

Tak kusangka kristal putih lolos dari pelupuk mataku. Aku tak kuasa membendungnya lagi. Dadaku terasa sesak melihat keadaan di depan mataku.

Menjadi bayangan memang menyakitkan dan akan selalu menyakitkan. Aku juga ingin bahagia tetapi kenapa semua itu sulit ku gapai. Senyum merekah mereka seakan menertawakan keadaanku saat ini.

Seandainya nenek masih ada mungkin aku juga bisa tertawa lepas seperti mereka. Hanya nenek lah orang selalu ada di sisiku. Menemaniku  dan mendukungku dalam kondisi apa pun. Hanya sebuah pengandaianku yang berharap beliau masih ada di sisiku.

Ku putar kembali langkahku untuk menaiki anak tangga sebelum suara mengintrupsiku dari belakang. Oh shit, apa lagi sekarang. Aku sudah lelah menangis tolong jangan lagi.

"Duduk!"

Kata mutlak yang keluar dari bibirnya membuatku harus menurutinya. Pelan-pelan ku langkahkan kakiku mendekati mereka. Tawa yang tadi ada kini berganti dengan raut dingin. Selalu, selalu saja begini.

Kududukkan diriku di sebelah Fano. Aku menunduk tak berani menatap mereka. Begitulah aku di hadapan keluargaku, akan tunduk dalam keadaan apa pun.

"Besok kita akan berkunjung ke kampung paman dan bibimu dan kau (tunjuknya padaku) jangan menyusahkan kami,"

Aku mengangguk, "Baik yah."

Setelah mengatakan itu ayah pergi yang disusul oleh ibu dan Fano. Sedih? Iya aku sedih. Begini lah aku setiap harinya. Jangankan untuk makan bersama, duduk sebentar bersama saja mereka engga.

Aku menghela nafas dan lanjut mengambil makanan di depanku. Ku suapkan sedikit demi sedikit makanan ke mulutku.

Cukup! Aku lelah untuk menangis. Bukankah ini sudah biasa jadi biarkan saja.



Seperti biasanya, aku dan Rendi pergi ke perpustakaan kota untuk mencari sumber referensi. Sebenarnya ini hal rutin yang harus kita lakukan entah di hari sekolah maupun weekend seperti ini. Alasan salah satunya sih karna aku ingin menghidar dari keluargaku. Rendi juga sudah paham dengan keadaanku sehingga aku tak perlu repot-repot menjelaskannya.

Aku dan Rendi memang memiliki masalah yang sama yaitu diacuhkan oleh keluarga kami. Bedanya aku yang dianggap orang asing sedangkan ia seorang pangeran yang hanya di lupakan oleh keluarganya. Dulu Rendi itu anak yang dunianya bebas. Suka keluar masuk klub. Semua itu karna kurangnya kasih sayang orang tua ah lebih tepatnya perhatian mereka. Orang tua Rendi benar-benar sibuk mereka hanya akan pulang satu bulan sekali. Oleh karena itu, Rendi sangat jarang bertemu dengan mereka.

Saat bertemu denganku, Rendi berubah banyak. Anak yang suka keluar masuk klub menjadi anak yang  suka keluar masuk perpustakaan. Hebat bukan aku? Haha sudahlah itu benar-benar tak perlu dibanggakan. Dia menjadi yang sekarang karna dirinya sendiri bukan karnaku.

Kakiku melangkah masuk ke perpustakaan kota. Di sana Rendi sudah menungguku.

"Kebiasaan sekali kau, selalu aku yang menunggumu di sini," Sungutnya padaku. Aku hanya tertawa mendengar ucapanya. Sudah biasa dia begitu.

"Maaf Ren, tadi aku ada urusan,"

"Kau menangis lagi?"

"Kau pasti tau Ren," ucapku dengan tangan sibuk memilih buku. Rendi menghela nafas mendengar penuturanku.

"Kenapa kau tak memilih hidup sendiri saja daripada tersiksa. Hidup lah bersamaku Nana,"

"Aku tak ingin jauh-jauh dari keluargaku Ren,"

"Sampai kapan Nana, sampai kapan? Kau tak lelah dengan sikap mereka? Aku saja muak melihat mereka, apalagi Fano. Kembaran macam apa dia huh,"

"Sudahlah Ren, aku tak papa. Aku sudah biasa dengan semua itu,"

"Baiklah-baiklah, bagaimana kondisimu kata dokter,"

"Semuanya baik kau tak perlu khawatir," ucapku dengan senyum merekah. Rendi hanya mengangguk.

"Semoga yang kau katakan benar na," gumam Rendi yang masih bisa ku dengar.

"Maafkan aku Ren, aku hanya tidak ingin kau khawatir, sudah cukup selama ini kau membantuku, kali ini biar aku berjuang sendiri," gumamku dalam hati.




_o0o_

@tbc...

Aku kembali, gimana nih chapter kali ini? Ngebosenin ya? Duh maap ya😩

Aku usahain deh chapter selanjutnya bakal lebih menarik😊

Maap kalo banyak typo ya, jangan lupa voment teman-teman karna dukungan kalian berarti banget buat aku😅

See you di next chapther ya😁

31/01/2021
©choe_

Bayangan | Na JaeminTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon