15. Insiden

948 113 3
                                    

"Mengapa semua begitu memberatkan, apakah sulit untukku membuat sebuah keputusan?" -ap(njm)

_o0o_





Setelah pembicaraanku dan Fano sore tadi. Aku benar-benar tak bisa fokus. Perkataan Fano selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Ngomong-ngomong tadi Fano sempat cerita bagaimana insiden kecelakaan itu terjadi.

Flashback on

Sudah dua hari aku di rawat di rumah sakit ini. Dengan harapan yang masih yaitu bertemu gadis pujaanku. Sudah lima tahun semenjak perpisahanku dan dia. Apa dia tak rindu denganku?

Saat aku tengah termenung, aku mendengar suara ribut di koridor rumah sakit. Yang ku dengar ada anak yang menjadi korban tabrakan. Ku langkahkan kakiku mengikuti kemana brankar itu di bawa karna aku melihat sosok familiar di sana. Ayah dan ibu yang mengawal brankar itu berhenti di depan ruang icu. Ibu yang menangis histeris dan ayah yang menenangkannya. Jangan bilang bila korban itu adalah Fano. Tanpa ijin, air mataku turun begitu saja. Sungguh aku tak suka suasana ini. Fano saudaraku sedang terbaring lemas di sana.

Aku mendekat ke arah ayah dan ibu. Sejujurnya aku belum pernah melihat ayah dn ibu menangis seperti ini. Sebegitu sayangkah mereka kepada Fano?

"Ayah, ibu,"

Mereka menoleh padaku. Namun detik selanjutnya fokus mereka kembali ke pintu di depannya. Aku hanya menghela nafas dan berdoa demi kebaikan Fano.

Tak selang lama dokter keluar dari ruangan itu. Ayah dan ibu langsung memberikan serentetan pertanyaan kepadanya. Aku hanya diam mendengar percakapan mereka. Setelah memberitahu kondisi Fano, dokter tadi pergi. Ayah dan ibu langsung masuk ke ruangan Fano, aku pun ikut masuk.

Aku melihat bagaimana ayah dan ibu khawatir dengan keadaan Fano. Lagi-lagi air mataku menetes. Aku tertawa miris melihat pemandangan di depanku. Bertahun-tahun aku sakit bahkan sekarat, baik ayah maupun ibu tak pernah sekhawatir ini. Dadaku benar-benar sesak. Aku memilih pergi meninggalkan ruangan tadi dan kembali ke ruanganku.

Berhari-hari aku hanya melamun. Entah apa saja yang aku lamunkan. Ngomong-ngomong Fano sudah baikan bahkan dia sudah diijinkan pulang sore ini. Aku? Tentu saja harus menjalani serangkaian pengobatan lagi. Aku sungguh bosan dengan semua ini.

Tentang kecelakaan Fano aku benar-benar tak tau kronologinya. Aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Yang terpenting sekarang Fano sudah kembali sehat. Walaupun dia harus tetap menjalani masa pemulihan.

Setelah dua minggu di rawat akhirnya aku sudah diijinkan untuk pulang. Sepi? Begitulah yang aku rasakan saat kakiku melangkah masuk ke kawan rumahku. Dari yang ku dengar, keluargaku pergi ke Singapura untuk pemulihan Fano.

Flashback off

Ternyata kecelakaan 10 tahun lalu yang membuat Zhelva melupakannya. Terbesit dalam hatiku untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Zhelva tapi aku juga ingat perkataan Fano. Sepertinya Fano benar-benar menyayangi Zhelva sampai-sampai dia memohon seperti tadi.

Ku ambil fotoku dengan nenek yang setia bertengger di meja belajarku.

"Apa yang harus ku lakukan nek?"

"Aku tak siap melepaskan Jeje tapi ku juga tak ingin menyakiti hati Fano. Dia adalah saudaraku satu-satunya. Aku tak sanggup jika harus berlaku egois padanya. Bukankah aku sudah pernah berjanji jika aku akan melakukan segala hal untuk Fano tapi mengapa untuk yang satu ini aku tak sanggup. Jeje adalah duniaku sama seperti nenek. Aku tak ingin kehilangan duniaku untuk kedua kalinya. Cukup aku kehilangan nenek. Egoiskah aku jika tak ingin melepaskannya?"



Hari ini aku benar-benar tidak fokus. Ucapan Rendi pun tak ada yang aku tanggapi sampai dia kesal padaku.

"Kau ini kenapa sih Na?"

"Aku? Aku tak apa Ren, memangnya aku kenapa?"

"Kau ini dari tadi kelihatan gak fokus. Ada masalah? Kali ini apa yang mereka perbuat kepadamu?"

"Tak ada, aku tak apa,"

"Kau pikir kau bisa berbohong padaku?"

"Aku serius Ren, aku tak apa,"

Rendi hanya menghela nafas pasrah. Aku tak mau membuat Rendi repot lagi. Biar aku yang memikirkan jalan keluar dari permasalahanku ini.

"Daripada kau memasang wajah jelek itu lebih baik kita pergi ke panti. Aku sangat rindu dengan anak-anak di sana,"

Selain ke perpusatakan kota, mengunjungi panti adalah salah satu favoritku dan Rendi. Aku senang bertemu dengan anak-anak di sana.

"Ayo, aku juga sngat merindukan mereka,"

Aku dan Rendi melangkahkan kaki menuju parkiran. Saat sampai di parkiran, tak sengaja kami bertemu dengan Haikal yang akan menaiki motornya.

"Kalian mau kemana?"

"Kepo lu,"

"Dih, gue tanya Nana ya,"

"Darimananya lu nyebut nana coba orang lu bilangnya kalian otomatis itu buat gue juga,"

"Oke gue ralat, mau kemana Na?"

"Mau ke panti Kal, mau ikut?"

"Ih kok ngajak kudanil sih,"

"Siapa yang lu bilang kudanil hah?!"

Oke siaga 1.

"Ya lu lah sapa lagi di sini manusia gembrot selain lu,"

"Ngajak tubir banget emang lu ye,"

"Dih gak takut gue,"

"Lama-lama Nana pergi sendiri nih,"

"Eh jangan, ya udah yok berangkat. Lu ikut deh ndut,"

"ndat ndut ndat ndut, gue gak gendut ya cuma berisi,"

"Sama aja bege,"

"Bedalah,"

"Bodo amat,"

Aku hanya diam mengamati perdebatan mereka.

"Gak jadi pergi kalo gini," pikirku.



_o0o_

@tbc...

Hai hai aku bek, gimana nih kali ini? Ngefeel gak? Ngga ya?😢
Maaf ya kalo ceritanya gini-gini aja. Aku udah berusaha buat cerita ini menarik tapi ya ini kemampuanku. Maaf kalo diluar ekspetasi kalian.

Maaf kalo banyak typo. Makasii buat yang udah dukung cerita aku.

Jan lupa voment ya, makasii😊

11/02/2021
©choe_

Bayangan | Na JaeminWhere stories live. Discover now