19. Waktu

1.1K 122 3
                                    

"Hanya waktu yang bisa menjawab semua ini," -ap(njm)

_o0o_





Semenjak aku tau kalau Fano juga menderita, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Beruntung ayah dan ibu sedang pergi keluar kota. Hari ini aku ingin dengar sendiri dari mulut Fano. Aku ingin dia mengatakan yang sebenarnya.

Kini aku dan Fano sedang sarapan berdua. Ini benar-benar pertama kalinya aku sarapan bersamanya. Aku dan Fano diam menikmati makanan di depan kami. Tak ada satu pun diantara kami yang mau angkat bicara.

Dering ponsel mengalihkan atensi kami. Ternyata hp Fano yang berbunyi.

"Halo,"

"Fano, aku ada di dekat rumahmu, aku mau mampir kau pasti belum makan kan, aku bawa sesuatu untukmu,"

Ku lihat Fano melirik ke arahku sebelum menjawab sosok disebrang sana.

"Aku sedang sarapan tapi kalau kau mau ke sini silahkan, aku tak mungkin menyuruhmu jauh-jauh pulang kan?"

"Haha, oke, aku sebentar lagi akan sampai,"

"Hati-hati,"

Telfon pun dimatikan. Aku bisa menebak siapa yang menelpon.

"Zhelva akan datang,"

"Heum, aku bisa mendengarnya, kalau begitu aku akan pergi lagi pula aku sudah ada janji bertemu dosen dengan Rendi,"

"Kau tak ingin bicara dulu dengan Zhelva?"

"Untuk apa?"

"Hanya-,"

Bunyi bel menghentikan percakapan kami. Fano segera berjalan ke arah pintu. Aku meraih tasku dan ikut mendekat ke pintu. Ku lihat dia sedang tersenyum manis di hadapan Fano. Namun, berubah datar saat melihatku. Aku sih bodo amat. Apa mungkin perasaanku sudah hilang padanya? Entahlah aku tak tau.

"Aku pergi dulu, nikmati waktu kalian,"

"Kami akan menikmati waktu kami jika kau tak mengganggu,"

Ku dengar suara ketusnya. Ada sedikit sakit di dalam dadaku tapi aku tak ambil pusing. Fano hanya diam saja tak berniat membuka mulutnya.

"Aku tak berminat mengganggu kalian,"

Aku melangkah pergi meninggalkan mereka. Aku naik ke taksi online yang sudah ku pesan tadi.



Tugasku sekarang adalah membuat semua orang bahagia. Jika dengan penderitaanku membuat semua orang bahagia maka akan aku lakukan. Aku benar-benar mengesampingkan perasaanku.

Sebenarnya aku bohong jika aku ada janji bersama dosen. Aku hanya ingin menjauh dari mereka. Kakiku melangkah ke arah taman.

Aku duduk di bawah pohon rindang. Ku keluarkan buku harianku dan kutuliskan bait demi bait kata diatasnya.

Aku tak tau ini keputusan benar atau salah. Ada sedikit kelegaan dalam hatiku saat melakukan semua itu.

Tuhan jika diriku memang sudah berbuat yang benar kumohon angkat aku. Aku sudah menyelesaikan tugasku. Aku sudah sangat merindukan nenek. Aku ingin bertemu dengan beliau.

Apa kau belum puas juga untuk memberiku tugas yang berat ini? Sayangnya aku sudah terlalu lelah. Aku tak sanggup lagi untuk mengemban tugasmu.

Semoga setelah kepergianku semua orang bahagia. Rendi, Haikal terima kasih karna sudah mau menjadi temanku. Ayah, ibu, Fano terima kasih sudah menjadi rumah untukku. Aku tak pernah dendam kepada kalian. Aku menyayangi kalian semua.

Untukmu Zhelva, terima kasih karna sudah menemani masa kanak-kanakku. Meskipun pertemuan kita yang singkat, semua itu cukuo membuatku bahagia. Bila kebahagianmu bersama Fano, maka aku ikhlas. Berbahagialah bersamanya dan aku juga akan bahagia melihat kalian bersama. Yang perlu kau tau hanya satu bahwa aku akan selalu mencintaimu. Sebenci apa pun dirimu padaku, aku akan tetap mencintaimu.

Ku tutup buku itu. Ku masukkan kembali ke dalam tas. Aku melirik ke sekitar taman. Pandanganku jatuh kepada sesosok anak yang duduk sendiri. Ku hampiri dia. Ku lihat dia tengah menangis.

"Hai, kau kenapa menangis?"

"Ibu meninggalkanku sendiri di sini,"

"Kemana ibumu pergi?"

"Aku tak tau, tadi ibu bilang mau beli eskrim di sebrang sana tapi sampai sekarang belum kembali,"

"Kalau begitu kakak akan membantumu untuk mencari ibumu, bagaimana?"

"Sungguh?"

"Heum, sebelumnya siapa namamu?"

"Sandi, kakak?"

"Kak Yana,"

Aku membantu anak tadi mencari ibunya. Dari arah belakang ada seseorang yang memanggil nama anak di sampingku ini.

"Ibu,"

"Ya ampun kau ini kemana saja hah, ibu mencarimu,"

"Anda ibunya Sandi?"

"Iya, terima kasih ya sudah menolong anakku. Maaf jadi merepotkanmu,"

"Tak apa, Sandi tidak merepotkan sama sekali. Lain kali ajak anak ibu jika ibu mau pergi kemana pun, tak baik anak sekecil dia ditinggal sendiri,"

"Ah iya,"

Sandi dan ibunya sudah pergi. Aku juga berniat untuk pulang karna cuaca tak bersahabat. Namun, tiba-tiba dadaku berdenyut keras. Aku meremas dadaku menahan sakit. Dengan kekuatanku yang seadanya aku mencoba untuk mencari taksi dan pergi ke rumah sakit. Akan tetapi, kesadaranku hilang bertepatan dengan rintikan hujan yang turun.



_o0o_

@tbc...

Hai semua, cuma mau ngasih tau nih kalo cerita ini bentar lagi bakal tamat. Makasii ya buat yang udah dukung aku di cerita ini. Nanti bakal ada book baru, semoga kalian lebih tertarik sama book baru aku.

Maaf kalo banyak typo

See you di next chapther. Jangan lupa voment ya😉

15/02/2021
©choe_

Bayangan | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang