13. Mungkinkah

692 116 3
                                    

"Di saat ku ingin melepaskanmu tapi mengapa kau seakan memberiku harapan untuk bertahan," -ap(njm)

_o0o_






Setelah pembicaraan kemarin malam, aku menjadi kepikiran. Apakah aku terlalu egois jika berharap kepadanya? Semalaman aku terus kepikiran.

Hari ini aku sudah boleh pulang, aku dijemput oleh Rendi dan Haikal. Kalian pasti tau apa yang terjadi jika Rendi dan Haikal bertemu. Ah sudahlah aku malas membahasnya.

"Na, kau serius tak mau pulang ke rumahku saja?"

Aku hanya mengangguk menanggapinya. Perlu kalian tau, Rendi sudah melontarkan pertanyaan yang sama sebanyak lima kali. Aku sampai jengah mendengarnya.

"Lagian dia sudah bilang ngga mau kau ini terlalu memaksa,"

"Gue gak maksa ya, gue tuh cuma khawatir sama Nana. Kalo dia kambuh lagi gimana? Di rumah mana ada yang peduli ama dia,"

"Aku bakal baik-baik aja, percaya sama aku Ren,"

"Pokoknya kalo ada apa-apa kau langsung telpon aku,"

"Iya-iya Ren,"

"Kalian seperti sepasang kekasih kalo begini,"

"Ya gembrot apa maksudmu hah!"

"Ya lagian lu kaya perhatian banget ama Nana, perhatiannya dah kaya ke pacar lu lagi,"

"Gue sama Nana masih normal ya,"

"Ya sante dong gak usah ngegas,"

"Lagian lu bikin emosi mulu,"

"Kalian ini mau nganterin aku pulang apa berantem sih?"

"Hehe maaf,"



Aku, Rendi dan Haikal sudah sampai di rumah. Hal pertama yang aku lihat adalah rumah yang begitu kosong. Kemana semua orang, pikirku dalam hati.

Ku buka pintu rumahku. Ngomong-ngomong Rendi dan Haikal sedang berantem di belakang.

"Biar gue aja yang bawa,"

"Lu tuh kecil gak bakal kuat biar gue aja,"

"Gini-gini gue cowo ya,"

"Lu tuh lebih cocok jadi cewe, mau gue semein ngga Ren?"

"Dih ngadi lu, kalaupun gue belok gue tuh milih-milih ya, mana mau gue ama lu,"

"Dih gue juga kali, mana mau gue ama manusia pendek kek lu,"

"Tinggi beda 4 senti doang bangga lu,"

"Oh ya tentu harus bangga dong,"

"Kalian gak mau masuk? Gak cape emang?"

Ku lihat mereka mendekat setelah mendengar ucapanku. Ku siapkan minum untuk mereka dan lagi-lagi mereka berantem cuma karna remot. Ingin rasanya memendam mereka dalam tanah kalau gak inget dosa.

Kadang-kadang aku lupa mereka sebenarnya umurnya berapa sampai kelakuannya kek gitu. Ingin tenggelam saja aku ini.

"Berantem terus, lama-lama aku nikahin nih kalian,"

"Gak boleh ngomong gitu na, pamali tau,"

"Jangan gitu dong na, masa kamu tega temenmu yang ganteng ini nikah ama kembarannya monyet,"

"Sekata-kata lu ngatain gue kembaran monyet,"

"Oh ya lupa gue, lu kan bukan kembaran monyet tapi induknya monyet,"

"Baku hantam ae dah kita Ren, cape gua ladenin lu mulu,"

"Ayo dah sapa takut,"

Aku biarin mereka yang lagi berantem itu. Atensiku beralih ke arah ponselku yang berdering. Saat melihat nama di ponselku aku langsung meraihnya dan menjauh dari Rendi dan Haikal.

"Halo"

"Halo, kenapa Zhe?"

"Kamu udah pulang dari rumah sakit ya?"

"Iya, kenapa?"

"Gak papa, aku mau jenguk kamu boleh?"

"Aku lagi sama Rendi, Haikal,"

"Oh gitu ya, ya udah deh lain kali aja, cepet sembuh ya Yan,"

"Makasih Zhe,"

Telfon dimatikan oleh Zhelva. Aku menghela nafas. Pikiranku kembali kepada Zhelva. Apa yang harus ku lakukan, melepaskan atau mempertahankan?

Aku kembali ke tempat Rendi dan Haikal. Ku lihat mereka sudah tak bertengkar lagi. Sekarang malah sedang asik tertawa bersama dengan kartu di depannya. Memang ajaib mereka.



Aku baru tau kalau Ayah, Ibu dan juga Fano pergi ke Singapura kemarin sore. Sudah biasa mereka pergi tanpaku. Ingin menangis rasanya juga percuma. Hatiku sudah terlalu kebal mendapatkan semua itu.

Ku raih buku yang biasa menemaniku. Ku tuliskan setiap kata di atas kertas kosong itu.

Adakah harapan untukku mendapatkanmu?
Adakah kesempatan untukku bisa bersamamu?
Sepahit-pahitnya hidupku, bolehkah aku merasakan manis pula?

Aiana Zhelvana Queen, kenapa kau membuat semua terasa sulit. Haruskah kau kembali dengan membawa semua itu?

Saudaraku Fano, maafkan aku karna mencintai kekasihmu. Maafkan aku karna tak bisa melepaskannya. Maafkan aku karna aku ingin egois terhadapnya. Kau bisa marah kepadaku.

Ku tutup kembali buku itu. Ku langkahkan kaki ke arah balkon kamarku. Ku lihat ke langit malam. Indah, begitulah kata yang pas untuk menggambarkan langit malam ini.

Bulan saja ditemani oleh banyak bintang tetapi mengapa aku hanya sendiri. Aku juga ingin seperti bulan, banyak yang menemani saat kesepian dan mendukungku saatku terpuruk. Bisakah aku mendapatkannya? Entahlah aku tak tau.



_o0o_

@tbc...

Makasii buat yang udah baca dan support cerita aku. Semoga kalian suka ya sama chapther kali ini.

Maaf kalo banyak typo. See you di next chapther. Jan lupa voment ya😂


09/02/2021
©choe_

Bayangan | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang